Kartu kredit, yang awalnya dianggap sebagai alat pembayaran praktis, kini berubah menjadi jebakan finansial bagi banyak keluarga kelas menengah. Dengan bunga yang tinggi dan cicilan yang menumpuk, utang kartu kredit bisa berkembang dengan sangat cepat. Banyak yang terjebak dalam pola pembayaran minimum, yang hanya menutupi bunga dan tidak mengurangi pokok utang secara signifikan, sehingga utang tersebut terus berkembang.
Selain kartu kredit, pinjaman online juga menjadi pilihan populer di kalangan keluarga kelas menengah yang membutuhkan dana darurat. Namun, meskipun proses peminjaman sangat mudah dan cepat, bunga yang dikenakan pada pinjaman ini sering kali sangat tinggi, dengan denda keterlambatan yang bisa semakin memperburuk kondisi finansial peminjam. Akibatnya, banyak yang merasa terperangkap dalam siklus utang yang semakin sulit untuk keluar.
Utang-utang ini, meskipun bisa memberikan bantuan dalam jangka pendek, justru memperburuk kondisi keuangan dalam jangka panjang. Keluarga yang terjebak dalam utang sering kali harus mengorbankan kebutuhan lainnya, seperti pendidikan anak atau dana darurat, untuk membayar cicilan. Bahkan, beberapa di antaranya terpaksa meminjam lagi untuk membayar utang sebelumnya, yang memperburuk situasi mereka.
Hal ini menciptakan sebuah lingkaran setan, di mana beban utang semakin menambah stres dan kecemasan finansial, membuat keluarga kelas menengah merasa semakin tertekan. Di sisi lain, kesulitan dalam melunasi utang juga dapat mempengaruhi skor kredit mereka, yang pada akhirnya membuat mereka kesulitan untuk mendapatkan pinjaman di masa depan jika benar-benar membutuhkan dana.
Dampak Psikologis yang Mengkhawatirkan
Tidak hanya berdampak secara finansial, tekanan ekonomi juga membawa dampak psikologis yang signifikan. Banyak keluarga kelas menengah yang merasa tertekan dan cemas akibat ketidakpastian ekonomi yang terus menerus. Kenaikan biaya hidup yang tidak diimbangi dengan pendapatan yang sebanding, ditambah dengan tumpukan utang, menciptakan stres yang berkepanjangan. Dampaknya, kesehatan mental semakin terganggu, dan tingkat kecemasan pun meningkat.
Menurut survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga riset, stres finansial menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan gangguan mental di kalangan warga kelas menengah. Rasa khawatir tentang masa depan, ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan ketakutan akan kehilangan pekerjaan atau sumber pendapatan membuat banyak individu merasa cemas, tertekan, dan bahkan depresi. Psikolog mengungkapkan bahwa ketidakpastian mengenai keuangan dapat memicu gangguan tidur, penurunan konsentrasi, dan berkurangnya motivasi dalam bekerja atau beraktivitas.
Kondisi ini juga berpotensi memperburuk hubungan dalam keluarga. Ketika tekanan ekonomi semakin berat, pasangan suami istri sering kali terlibat dalam perdebatan mengenai pengeluaran dan pengelolaan keuangan. Stres yang berkepanjangan bisa menyebabkan perasaan frustrasi dan ketidakbahagiaan, yang pada gilirannya mempengaruhi keharmonisan rumah tangga. Anak-anak yang menyaksikan ketegangan ini juga bisa merasakan dampaknya, baik secara emosional maupun psikologis.
Selain itu, bagi banyak individu, ketidakmampuan untuk memenuhi gaya hidup yang dulu mereka anggap normal dapat menyebabkan perasaan gagal atau malu. Ketika mereka tidak mampu memberikan kenyamanan atau kemewahan seperti sebelumnya, perasaan harga diri mereka bisa terpengaruh. Banyak yang merasa terisolasi atau enggan membicarakan masalah keuangan mereka, karena takut dianggap tidak mampu atau gagal.
Kondisi ini mengarah pada meningkatnya angka kasus gangguan kesehatan mental, seperti kecemasan, depresi, dan bahkan gangguan stres pasca-trauma (PTSD), yang semuanya berakar dari tekanan ekonomi yang semakin berat. Tidak jarang, individu yang merasa tertekan juga mulai mencari pelarian dalam bentuk perilaku yang merugikan, seperti konsumsi alkohol yang berlebihan atau kebiasaan belanja impulsif, yang justru memperburuk kondisi keuangan mereka.
Bagaimana Kelas Menengah Bertahan?