Tulisan ini adalah catatan pascadiskusi. Silakan dinikmati dan dikomentari!
*
Narasumber: Muhammad Ramdan Andri Gunawan Wibisana, S.H., L.L.M, Ph.D. [Dosen Hukum Lingkungan, Universitas Indonesia]; Penyusun: Bening Tirta Muhammad, B.Sc.(Hons.) [Peneliti di Universitas Ma Chung, Malang]
Grup Diskusi FIM Club Energi dan Lingkungan, Forum Indonesia Muda
Hukuman mati di sini bukan hukum gantung atau tembak mati, tapi tindakan keras bagi perusahaan yang operasionalnya mencemari lingkungan. Penegakan hukum atas pencemaran ini bisa dilakukan secara administrasi, perdata, dan pidana.
Secara administrasi, ada berbagai sanksi yang bisa dikenakan. Mulai dari peringatan tertulis, paksaan pemerintah, hingga pencabutan izin beroperasi. Pencabutan izin inilah yang lebih pas disebut hukuman mati bagi perusahaan. Pencabutan izin sebagai sanksi administrasi juga bisa melalui pencabutan izin lingkungan. Efeknya tetap akan mematikan perusahaan, karena dengan dicabutnya izin lingkungan, izin usahanya otomatis menjadi batal.
Di sisi perdata, pertanggungjawaban perdata juga memungkinkan permintaan kompensasi atau ganti rugi sampai kepada perintah pengadilan untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan. Sanksi perdata yang keras juga bisa membuat pailit.
Sedangkan dalam kategori pidana, ada sanksi berupa denda dan perintah pengadilan menghukum perusahaan pencemar. Efeknyapun bisa mematikan perusahaan. Selain pidana untuk perusahaan, tentu ada sanksi yang juga diberikan pada persona yang terlibat seperti pemimpin perusahaan dan pegawai berupa kurungan penjara, denda, dan tindakan lainnya. Maksimum kurungan 15 tahun, plus denda beberapa milyar.
Dari paparan di atas, sebenarnya sanksi termudah adalah dari segi administrasi karena diberikan sepihak oleh pemerintah tanpa melalui pengadilan. Sanksi pencabutan izin baru diberikan jika perusahaan gagal mengindahkan paksaan pemerintah. Artinya, sebelum hukuman mati secara administrasi diberikan pun, ada tahapan yang harus dilalui.
Dewasa ini, perusahaan pencemar sangat nyaman beroperasi di Indonesia, bahkan pemiliknya petantang-petenteng masuk TV, berlagak pahlawan pendapatan negara. Ternyata, politik kepentingan masih mewarnai perancangan dan penetapan hukum pencemaran sehingga para pengusaha sulit disentuh hukum. Sebenarnya, pembuktian pertanggungjawaban pencemaran itu mudah, yaitu cukup dengan adanya indikasi pembiaran terjadinya sebuah pencemaran dimana pembiaran itu menguntungkan perusahaan.
Contoh Kasus dan Upaya Hukumnya
Khusus kerusakan lingkungan di sektor kehutanan, berdasarkan kajian KPK tahun 2013 lalu, kerusakan hutan sebagian besar terjadi akibat proses izin yang bermasalah. Meskipun sanksi administrasi paling mudah untuk dijatuhkan, pemerintahnya sendiri kurang agresif. UU sebenarnya telah memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk menjatuhkan sanksi administrasi, jika pemerintah pusat menilai bahwa pemerintah daerah tidak mau menjatuhkan sanksi tersebut. Persoalannya memang pemerintah pusat sendiri sepertinya ragu-ragu untuk menjalankan kewenangan ini. Di sisi lain, masih terdapat tumpang tindih pada acuan hukum beberapa kementerian dan lembaga negara terkait. [4]
Upaya jalur hukum bisa dimulai dari gugatan masyarakat. Diberitakan dua gugatan masyarakat/class action atas pencemaran/kerusakan lingkungan yang ternyata dimenangkan oleh masyarakat. Pertama, kasus longsor Mandalawangi [2] yang kedua kasus pencemaran di Tanjung Pinang. Ini adalah perkembangan positif dari praktik hukum oleh masyarakat. FYI, Hakim di Indonesia masih susah untuk memenangkan gugatan LSM. Mungkin karena LSM masih dianggap tidak punya kepentingan karena mereka bukanlah korban. Tapi, LSM bisa jadi agen pemercepat proses hokum lewat edukasi masyarakat dan advokasi. Contoh kasus lain gugatan masyarakat yang baru-baru ini "sukses" adalah PT Kalista yang terbukti membakar hutan, mereka diharuskan membayar denda 3 miliyar rupiah dan tindakan pemulihan.[1]
Pernah dengar kasus Teluk Buyat? Kasus ini sudah diselesaikan secara pidana dan perdata (gugatan pemerintah). Untuk pidana, terdakwanya bebas karena tidak terbukti bahwa pencemaran Teluk Buyat itu karena terdakwa. Jalur perdatanya diselesaikan dengan perdamaian di pengadilan dan ada kesepakatan Newmont untuk membayar sekian milyar bagi pemulihan. Kasus ini menjadi bahan pertimbangan untuk mengubah pasal pidana dan perdata dalam UU No. 32 tahun 2009 yang sedang disusun waktu itu.
Penilaian Proper yang Galau
Ada setidaknya tiga persoalan dari penilaian proper (emas, hijau, biru, merah, atau hitam).[3] Pertama ketidakjelasan soal tindak lanjut. Misalnya perusahaan berwarna merah dan hitam itu tidak jelas mau ditindak apa. Ini kan aneh, karena perusahan dengan warna merah dan hitam sudah jelas melanggar hukum dan sudah bisa dijatuhi sanksi.
"Kalau di kelas saya selalu bilang kalau proper itu seperti polisi menangkap basah maling, tapi terus bingung harus diapain ini malingnya."
Persoalan kedua adalah soal kredibilitas penilaian. Mengherankan, Freeport atau Newmont memperoleh warna hijau atau emas yang artinya bagus dan sangat bagus. Sementara Lapindo memperoleh warna biru yang artinya sesuai dengan perundang-undangan. Nyatanya?
Persoalan ketiga adalah persoalan informasi dan pengaruhnya bagi konsumen. Misalnya, sedikit sekali di antara kita yang tahu bahwa mayoritas hotel berbintang 4 atau 5 di jakarta dan mayoritas rumah sakit itu berwarna merah bahkan hitam. Kalaupun tahu, apakah ada pengaruhnya buat kita?
Perkembangan Hukum Lingkungan di Lapangan
1.Baku mutu emisi tidak bisa mengukur pencemaran, karena pada dasarnya baku mutu seperti ini tugasnya adalah mengukur performance dan kualitas limbah, dan bukan untuk mengukur kualitas lingkungan. Tidak mungkin sebuah pelampauan baku mutu emisi oleh satu knalpot mobil bisa langsung digugat sebagai penyebab pencemaran suatu lingkungan.
2.Banyak kasus di mana hakimnya menjatuhkan sanksi yang minimal hanya karena si pencemar "sedikit saja" melampaui baku mutu. Menurut saya, pola pikir hakim seperti ini agak keliru. Karena pelampauan yang sedikit itu, tapi dilakukan berulang-ulang dan untuk waktu yang lama, juga akan menimbulkan akibat yang cukup parah juga.
3.Memang ada banyak kasus yang susah penegakan hukumnya karena pelakunya banyak. Ini menjadi kelemahan dari ketiga jenis penegakan hukum yang saya sebut tadi. Bagaimana mungkin kita menggugat pencemar udara ketika kita sendiri adalah pencemar itu sendiri. Demikian juga dengan pidananya. Pembuktiannya akan sangat sulit.
4.Pengusaha yang dicabut izinnya pun sebenarnya bisa dengan mudah membuat perusahaan serupa dengan nama lain. Tapi, untuk mem-black list si pengusaha belum ada ketentuannya. Hukum kita memang tidak mengantisipasi hal tersebut. Namun demikian, apabila terjadi kasus seperti itu, maka masyarakat bisa mengajukan keberatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang mengatus pemberian izin usaha.
Kita Bisa Apa?
Persoalan terbesar yang dihadapi dalam penegakan hukum lingkungan adalah aspek politik ekonomi dimana dari ketiga jenis penegakan hukum yang di sebutkan di atas, dua jenis penegakan hukum, administrasi dan pidana, sepenuhnya tergantung pada kemauan pemerintah. Dalam banyak kasus pemerintah justru “enggan” untuk menggunakan kewenangannya ini. Akibatnya, dari sekian banyak kasus pencemaran, sedikit perusahan yang sampai dicabut izinnya, meskipun sebenarnya sanksi tersebut sudah layak dilayangkan, dan nyatanya hanya sebagian kecil yang sampai dipidana. Kemudian, masyarakat masih sangat jarang menggunakan kebisaannya menggugat lewat jalur perdata.
"Menurut saya sih ini bukan karena hukum tertulis kita jelek. Tapi, lebih pada faktor politik dan ekonomi di belakangnya."
Mengetahui permasalah dan perkembangan penegakan hukum lingkungan di atas, ada beberapa upaya bisa kita perbuat:
a)Mendesak (advokasi) saat pemerintah terlihat enggan untuk melakukan penegakan hokum.
b)Penguatan masyarkat lewat edukasi hukum perdata dan mengupayakan gugatan perdata secara paralel.
Kini, sudah saatnya kita menuntut agar pemerintah hadir dan dengan tegas menunjukkan keberpihakannya pada rakyat karena tidak dapat dipungkiri faktor politik ekonomi dari pemerintah dan pemilik kepentingan itu masih kental dalam proses perancangan dan penegakan hukum di Indonesia. Karena itu, jangan salah pilih tanggal 9 Juli nanti ya!
*
Referensi dan catatan kaki:
[2] http://news.liputan6.com/read/53098/gugatan-warga-mandalawangi-diamini-pn-bandung
[3] http://www.pdpersi.co.id/content/news.php?mid=5&catid=8&nid=654
[4] Syahrul Fitra [Mahasiswa S-2, FHUI]: “Terkait pencegahan kejahatan lingkungan terutama yang berhubungan dengan pengelolaan SDA berbasis hutan, salah satu kendala penegakan hukumnya adalah adanya tumpang tindih regulasi atau kebijakan, antar kementerian sektor terkait. Contoh, tumpang tindih antara Kemenhut, BPN, atau ESDM. Nah, tumpang tindih kebijakan itu juga menimbulkan ketidakpastian bagi penanam modal. Contoh, ketika hendak membuka kawasan tambang. Perusahaan mulai dari mengurus izin lokasi, pelepasan kawasan hutan, hingga mendapat HGU, penanam modal dihadapkan dengan segudang kebijakan yang tidak sinkron. Seperti batas wilayah dan status kawasan antara ESDM dan Kemenhut beda. Tumpang tindih kebijakan itu akhirnya menimbulkan ekonomi biaya tinggi.