Akulah teman setiamu di siang, saat kau berhias embun yang menanti pinangan mentari dari balik punggung Wutun Atadei. Akulah juga teman setia di malam. Saat kau bersolek, bintang menanti lamaran rembulan dari puncak Lelangit labala.
Percayala! Aku adalah teman setia, Arike...
*** *** ***
Bersisik ombak merindu biru. Pantai hatiku berteluk labala. Terukir kasih jejak jejak canda, tercetak pada pantai wailolon membuih, berbaris rapi laksana ritme sajak Laut Sawu bergelombang. Bersama dengan ombak meliuk mengeja rindu pada pantai Wato Tena Tanjung Leworaja. Berbatu jejak-jejak sejarah lewotanah. Tercetak pada karang yang bergemuruh, nyanyian senja kala Ile Labalekang.
Tarian gemulai ombak pantai Wailolon mengeja puisi yang kugubah. Seketika sejuta kalimat rindu menggelegar di hamparan pasir putih wutun Leworaja. Menyatukan nyanyian ombak di pantai Wato Nama. Dan buih buihnya masih tertinggal di hamparan rerumput Tanjung Lusitobo. Rindu pun masih tak surut.
Tapi sepi ini sudah lama tidak terusik. Dan tiba tiba sore ini wangi harummu datang terbawa angin dari bukit Lewohajon. Aku mencari senyummu yang dulu, di sela-sela tempias arus sungai wai tewwo, di antara serpihan batu-batu karang Tanjung Wato Keletta Atakera.
Sebenarnya, aku mencintaimu, Arike...
Kerana itu gelisah hujan yang resah-rindu pada ladang jambu mete di bukit Lewonepa, juga angin laut selatan tidak pernah henti hadirkan tanya. Aku berdiri di garis pantai teluk labala ini menantimu. Akan datangkah lagi setelah pagi berlalu pergi tanpa mengurai silang kata yang ditinggalkan arus sungai Wailei yang tak bisa kuselesaikan?
*** *** ***
Laut sawu yang mendadak ombak. Terseret angin Watobua ke pangkal kakiku dan entah beribu kali sudah membasahi tanpa henti. Sedang di bibir pantai lukiono ini aku harus menunggu lagi. Sendirian tanpa kepastian, malahan terlilit dedalu pilu karenamu.
Iya karena kau, arike...