Berbohong itu manis ternyata. Ini bukan kata saya, tapi kata orang. Meski saya pun mengamini itu. Tapi yang lebih miris, menjadi korban kebohongan itu, jauh lebih manis rasanya. Bahkan memabukkan. Ini juga kata orang, bukan kata saya. Tapi saya pun meng-iya-kan itu.
Ternyata, dalam hidup, kita tak hanya suka berbohong, tapi kita juga suka dibohongi. Bahkan betapa kita lebih suka dibohongi alias menjadi korban kebohongan. Jangan dulu protes. Saya tak bermaksud menjustifikasi. Cuma sekadar menyodorkan argumentasi. Anda mau menerima atau malah menolak, yah terserah.
Salah satu alasan yang jamak bahwa seseorang suka dibohongi alias rela menjadi korban kebohongn adalah, cinta. Yah cinta. Kata yang sakti mandra guna ini. Bila kita mencintai seseorang, maka kita cenderung untuk meng-iya-kan apa saja yang dikatakan oleh dia yang kita cintai itu. Tak peduli yang dikatakannya itu adalah kebohongan.
Ah ada benarnya ternyata. Jadi korban kebohongan memang manis dan memabukkan. Pantas saja kita lebih suka dibohongi. Jangan tertawa! Karena kalau tertawa, berarti kita sedang menertawakan ketololan diri sendiri alias merayakan kebodohan sendiri. Ini tak lucu. Meski mungkin kedengaran sepe rti sebuah lelucon.
Ada lagi? Yah. Adalah fanatisme buta. Betapa kerap kita bersikap fanatik terhadap seseorang yang kita anggap memiliki otoritas. Entah karena kesalehan agamanya, entah karena kecerdasan ilmunya, entah karena kemahiran retorikanya, dan entah-entah yang lainnya. Kita selalu tak peduli bahwa seseorang bisa saja melakukan kebohongan dengan menunggangi otoritas yang dimilikinya
Tapi sama saja.Toh penyebab fanatisme buta, juga adalah cinta. Dan mungkin juga cinta yang fanatik alias melampaui batas. Mungkinkah cinta yang buta akan menelurkan fanatisme yang juga buta? Saya tak punya otoritas untuk meng-iya-kannya. Dan selebihnya, juga selanjutnya, silahkan cari, temukan dan buktikan sendiri kalau kita memang suka bahkan lebih suka dibohongi oleh orang yang kita cintai, juga oleh mereka yang kita anggap memiliki otoritas tertentu.
Tapi tunggu dulu. Ngomong-ngomong tentang kebohongan, sebenarnya apa sih itu kebohongan? Ini pertanyaan sederhana, dan jawaban atas pertanyaan ini pun saya kira sederhana. Hanya saja konsekuensinya tak sesederhana pertanyaan dan jawabannya. Karena kenyataannya, meski kerap menjadi pelaku kebohongan dan barangkali sekaligus menjadi korban kebohongan, namun sepertinya kita hampir tak pernah berpikir untuk menghindarinya, bahkan berniat pun mungkin tidak.
Satu-satunya ciptaan manusia adalah kebohongan. Kebohongan adalah pengkondisian pikiran. Lagi-lagi ini kata orang. Seseorang melakukan kebohongan karena dia berusaha meyakinkan orang lain untuk mempercayai omong kosongnya. Tak peduli apa yang diomongkannya hanya sekadar kabar angin atau hanya sekadar rayuan gombal saja. Tapi sepertinya seseorang yang melakukan kebohongan memiliki ingatan yang sangat kuat. Karena dia harus mengingat detail alur cerita yang tak sebenarnya itu, cerita yang dikarang-karangnya itu.
Sampai di sini, saya harus berhenti sejenak dan meminta maaf. Saya memang selalu meminjam definisi dari orang lain. Meski saya tak ingat persis nama dan alamat orang yang saya pinjam definisinya. Terserah anda menganggap saya berbohong. Mungkin saya termasuk orang yang fanatik, yang menganggap orang lain lebih punya otoritas untuk memberikan definisi.
Selanjutnya, mungkin ada di antara kita yang masih tak sepenuhnya percaya dan bertanya-tanya, benarkah kebohongan adalah ciptaan manusia? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan pertanyaan pula. Kalau bukan manusia yang menciptakan kebohongan, lalu siapa? Apakah Tuhan yang menciptakan kebohongan? Atau binatang, atau jin, atau malaikat?
Tanyakan saja pada diri kita sendiri, pernahkah sekali waktu saja dalam hidup, kita tak pernah tak berbohong? Tapi tolong, jawablah dengan jujur. Selebihnya terserah, anda mau menganggap apa yang saya tulis ini fakta atau fiksi. Toh masing-masing kita tak menanggung dosa kebohongan orang lain. Karena dosa itu nafsi-nafsi. Ini juga kata orang.