Mohon tunggu...
Muhammad Baran Ata Labala
Muhammad Baran Ata Labala Mohon Tunggu... -

Petualang Nusantara-Indonesia Tercinta.... Menulis adalah bekerja untuk keabadian (Pramudia Ananta Toer) www.catatan-hambamoe.blogspot.com www.labala-leworaja.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dunia Ini Hanya Pasar Malam, Ternyata....

3 Desember 2015   19:17 Diperbarui: 3 Desember 2015   19:29 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Pernah ke pasar malam? Bagi mereka yang tinggal di kota atau paling tidak kota kecil, pasar malam tidaklah asing. Di pasar malam, kita menyaksikan aneka keramaian; orang lalu lalang, para pekerja mainan dan tentu saja para pedagang yang menjajakan dagangannya (mainan, pakaian, makanan, bahkan DVD dan CD bajakan). Mereka seperti rombongan orang gipsi yang berpindah dari satu lapangan ke lapangan lain, dari satu kota ke kota lain.

Di pasar malam pula, kita bisa menemukan banyak hal; orang-orang yang lalu lalang, menonton aneka permainan sirkus, dan tentu saja sekadar tawar menawar dengan pedagang untuk membeli beberapa mainan untuk anak atau keponakan kita, membeli jajanan makanan yang dijual di sana. Di pasar malam, seorang anak kecil bisa dengan mudah tergoda untuk menaiki bianglala atau komidi putar. Demikianlah sekelumit gambaran keramaian pasar malam.

Tapi sekali lagi tahukah kita, kerap tak kita sadari, kehidupan di dunia ini menyerupai pasar malam? Sebagai manusia, kita hidup di dunia ini seperti pengelana, seperti pengembara. Lebih dari pada itu, kita sejatinya adalah musafir. Dan kehidupan dunia ini tak ubahnya medan yang terus kita jejaki untuk mencari hakikat kehidupan dan sumber asal kehidupan itu sendiri.

Dalam sebuah novel yang berjudul, Bukan Pasar Malam, karya novelis legendaris Indonesia, Pramoedya Ananta Toer yang berkisah tentang hubungan ayah dan anak, dan terutama tentang hidup dan mati kita sebagai manusia. Pramoedya menjadikan pasar malam sebagai perumpamaan kehidupan dunia ini.

Tidak seperti pasar malam, kata Pramoedya, kita datang ke dunia ini satu-satu. Juga pergi satu-satu. Sebagai manusia, kita terlahir seorang diri ke dunia fana ini dengan tangisan. Dan dengan sedikit pertolongan dari orangtua, saudara dan sanak famili, kita berusaha untuk bertahan hidup dan belajar mandiri. Dan kelak akan mati seorang diri dengan penuh ratap dan tangis dari mereka.

Akan tetapi, di luar perkara kedatangan dan kepergian, hidup banyak menyerupai pasar malam. Orang datang untuk bersenang-senang, untuk dihibur oleh sesuatu yang mereka tahu palsu, dan tentu saja memiliki harapan pulang ke rumah dengan senyum lebar, ditambah perut kenyang.

Yah, bukankah seperti yang dikatakan dalam Kitab Suci, seperti pasar malam, “Kehidupan di dunia ini hanyalah senda-gurau dan main-main belaka?” Bahkan di tempat lain di dalam Kitab Suci, ada dikatakan juga, "Tiada lain kehidupan di dunia ini hanyalah angan-angan yang memperdayakan?"

Ah betapa kita terlena dan menyangka, dunia ini adalah segalanya. Bahwa tiada lain kehidupan dunia adalah kesenangan dan kepuasan yang harus dituntaskan sebelum mati. Bahwa di dunia inilah tempatnya kita melampiasakan apa saja yang memang bisa dilampiaskan semau-maunya sebelum raga menjadi tanah. Dan masih banyak prasangka keliru lainnya tentang kehidupan dunia yang sejatinya hanya sementara ini.

Kita terpedaya. Kita dibohong-bohongi. Lebih tepatnya kita ditipu angan-angan kita sendiri. Kita dikibuli oleh gemerlapnya kehidupan dunia yang sejatinya fatamorgana. Kita lupa, dunia adalah medan ujian. Dunia adalah gelanggang, arena dimana kita bertarung dengan aneka uji dan coba.

Dunia tiada lain adalah medan juang untuk menunjukkan mutu pribadi kita. Dari dunia ini pula kita berlomba, kita berpacu dengan waktu yang terus melesat untuk berbuat sesuatu yang bernilai, yang berharga, yang bermutu. Sekali lagi, dunia hanyalah tempat ujian dan cobaan.

Di dunia ini, kita menanam arti kesejatian hidup yang fana ini, hingga garis finis yang telah ditentukan. Kita menyemai benih hidup yang penuh arti di atas tanah garapan yang hanya sementara ini, hingga tiba waktu yang ditakdirkan untuk memanen hasilnya suatu hari kelak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun