Setelah 2 tahun tidak terdengar kabar rencana terbentuknya lembaga baru otoritas perpajakan, kini kabar restrukturisasi intitusi pajak kembali menguat. Pasalnya pembentukan Badan Penerimaan Perpajakan (BPP) telah masuk dalam nawacita pemerintahan (Jokowi). Badan penerimaan perpajakan merupakan transformasi dari Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu yang bertanggung jawab langsung terhadap presiden. Itu artinya, Badan Penerimaan Perpajakan sudah diluar kendali Kemenkeu. Ketika Badan Penerimaan Perpajakan dibentuk (setara Kemenkeu) maka hubungan antara BPP dengan Kemenkeu hanya sebatas koordinasi penerimaan perpajakan.Â
Hal ini dapat mengakibatkan beberapa pemangkasan kewenangan yang sebelumnya dimiliki Kemenkeu. Rencana pembentukan badan penerimaan perpajakan ini, juga telah masuk dalam prolegnas tahun 2016 yang masih dalam pembahasan di DPR bersamaan dengan revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang merupakan perubahan kelima atas UU nomor 6 tahun 1983 tentang KUP. Awalnya, pemerintah menargetkan terbentuknya BPP per 1 januari 2017. Namun, karena kompleksitas tugas dan juga program tax amnesty yang belum selesai saat itu, Kemenkeu enggan melepaskan intitusi pajak begitu saja di tahun 2017 melainkan menjadi per 1 januari 2018 sebagaimana dinyatakan dalam revisi UU KUP yang telah diajukan ke DPR.Â
Perlu adanya persiapan matang untuk melepas institusi yang mempunyai peran penting dalam menghimpun penerimaan negara tersebut. Diantaranya landasan hukum yang jelas, perbaikan sistem administrasi, peningkatan pelayanan, perbaikan validitas data base wajib pajak, hingga sanksi yang tegas. Sehingga, nantinya diharapkan sistem penerimaan pajak menjadi lebih fleksibel.Â
Terlebih pemerintah telah menerapkan kebijakan treasury single account dan juga adanya kartin1 yang saling terintegrasi terhadap data base wajib pajak. Lalu siapkah Indonesia memiliki badan otonom penerimaan perpajakan di tahun 2018?.
Reformasi sistem perpajakan yang masih terlalu dini justru dapat mengakibatkan berbagai masalah yang dapat berdampak pada ketidakseimbangan fiskal Indonesia. Sebagai penguasa pengelola fiskal tentunya Kemenkeu membutuhkan banyak pertimbangan. Koordinasi antar lembaga penerimaan negara yang selama ini dibangun Kemenkeu tentu akan berbeda jika salah satu lembaga tersebut membentuk badan otonom tersendiri. Demikian pula dengan struktur oganisasi yang dibentuk, pastinya lebih kompleks seperti halnya struktur organisasi yang ada di kementerian negara.Â
Jika itu terjadi tanpa di dukung dengan kuatnya koordinasi antar lembaga penerimaan negara, maka masalah fiskal yang timbul menjadi hal yang serius untuk diselesaikan. Misalnya baru-baru ini pemerintah akan merencanakan pemotongan tarif pajak penghasilan badan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa mengganggu iklim investasi, di sisi lain pemerintah sedang membutuhkan banyak pengeluaran untuk membiayai belanja negara, terutama di sektor-sektor produktif (pembangunan infrastruktur, pelayanan kesehatan, pendidikan dan transportasi umum dll).Â
Sehingga apabila terjadi perbedaan target penerimaan negara antara Kemenkeu dengan Badan Penerimaan Perpajakan dikhawatirkan akan mengakibatkan defisit APBN yang melebar jika target penerimaan tersebut tidak dapat menutup belanja negara. Sehingga perbaikan sistem koordinasi antar lembaga penerimaan sangatlah penting.
Tak kalah pentingnya, perlu pertimbangan kondisi perlambatan pertumbuhan ekonomi secara global yang masih dalam tahap pemulihan akibat kebijakan proteksionis perdagangan Amerika yang berdampak pada perdagangan china sebagai negara eksportir dan negara berkembang lainnya serta ketidakpastian ekonomi Eropa pasca ultimatum brexit justru akan menambah beban Kemenkeu jika harus berkoordinasi dengan BPP dalam pembentukan RAPBN guna menjaga ruang fiskal agar tetap seimbang.Â
Belum lagi masalah relisasi penerimaan perpajakan Indonesia yang sering mengalami shortfall hampir terjadi tiap tahun, perlu adanya pengkajian ulang mengenai kebijakan penerimaan perpajakan baik dari sisi internal maupun ekternal yang berhubungan dengan wajib pajak, konsultan pajak dan juga mitra otoritas pajak lainnya. Meskipun Kemenkeu telah membentuk Tim Reformasi Perpajakan (TRP) yang merupakan cikal bakal terbentuknya Badan Penerimaan Perpajakan, perlu kita ketahui bahwa karakteristik kebijakan fiskal yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan kurang efektif di terapkan dalam jangka pendek terutama untuk mengatasi gejolak ekonomi yang tidak pasti.Â
Sehingga diperlukan waktu yang cukup untuk membentuk badan otonom yang terikat dengan urusan kebijakan fiskal termasuk Badan Penerimaan Perpajakan. Kematangan struktur organisasi yang mencakup penguatan internal control dan juga standar pemeriksaan pasca program tax amnesty di lingkungan Badan Penerimaan Perpajakan seharusnya sudah mulai disiapkan dari awal perencanaan pembentukan badan otonom tersebut. sehingga dapat menjamin sistem operasional dan juga mengatasi sengketa perpajakan sejak dini.Â
Peningkatan kesadaran wajib pajak/pembayar pajak nantinya, dapat dilakukan melalui pemberian reward bagi mereka yang patuh membayar pajak sebagai bentuk apresiasi. Pegawai otoritas pajak juga dapat memberikan kesan positif terhadap wajib pajak bahwa peneriman perpajakan sepenuhnya digunakan untuk belanja yang bersifat produktif.