Muhammad Azmi/212121140/HKI 4D
1. Pengertian Hukum Perdata Islam di Indonesia
Perkembangan hukum Islam di Indonesia tentu tidak terlepas dari sejarah masuknya agama Islam ke Indonesia. Sebagian sejarawan mengatakan masuknya agama Islam di Indonesia yaitu pada abad ke 7 masehi atau abad ke 1 hijriah. Kemudian seiring dengan berjalannya waktu, hukum-hukum Islam mulai diatur sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia, dan tidak terkecuali hukum perdata Islam.
Hukum Perdata Islam di Indonesia adalah sebagian atau salah satu dari hukum Islam yang ada atau berlaku di Indonesia dan telah berlaku secara yuridis (telah diatur dalam undang-undang), dengan kata lain dapat dikatakan hukum perdata Islam ini telah menjadi hukum positif dalam komponen-komponen hukum di Indonesia. Dapat juga diartikan, hukum perdata Islam di Indonesia merupakan salah satu dari hukum positif yang ada di Indonesia yang berasal dari hukum agama Islam (yang berasal dari al-Qur'an, Hadist, Ijma', dan sumber hukum islam lainya yang pada dasarnya merupakan ajaran Islam).
Oleh karena hukum perdata Islam ini merupakan salah satu dari hukum islam yang berlaku di Inonesia, tentu memiliki posisi yang sangat penting bagi umat Islam. Mengapa demikian? Karena selain agama Islam ini menjadi agama mayoritas di Indonesia, hukum perdata Islam ini menjadi penting karena cakupan atau pokok bahasanya yang dapat di katakan banyak, oleh karena itu sangat perlu jika hukum perdata Islam ini menjadi hukum positif yang berlaku di indonesia (yang diatur secara yuridis). Sesuai dengan namanya, hukum perdata khususnya perdata Islam maka cakupan bahasan nya meliputi; hukum perkawinan, hukum perceraian, hukum kewarisan, hukum wakaf, hukum jual beli, pinjam meminjam, hukum perikatan, hukum hibah, hukum wasiat, hukum ZIS (zakat, infak, dan shadaqah), dan lain sebagainya.
2. Prinsip Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Perkawinan memiliki tujuan yang mulia, oleh karena itu hal tersebut menjadi dianjurkan dan diatur dalam agama Islam. Secara umum dapat dikatakan, perkawinan antara laki-laki dan perempuan dimaksudkan agar atau untuk menjaga kehormatan diri tentunya agar tidak terjerumus kepada zina, dan untuk memelihara keberlangsungan hidup manusia dari keturunan yang dihasilkan. Syari'at Islam telah mengatur sedemikian rupa guna memperhatikan segala yang ada pada perkawinan ini, dikarenakan perkawinan tentu berbanding lurus dengan keluarga, yang mana keluarga ini merupakan pondasi awal yang penting dalam kehidupan masyarakat.
Perkawinan yang tercantum pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 2 yang berbunyi: "Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon gholidhon untuk menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah". Berkenaan dengan tujuan perkawinan disebutkan dalam pasal setelahnya yyaitu pasal 3 yang berbunyi: "Perkawinan bertujuab untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah (tenteram, cinta, dan kasih sayang).
Adapun asas atau prinsip perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah pertama, tujuan perkawinan, yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Kedua, sahnya sebuah perkawinan akan sangat tergantung kepada ketentuan hukum agama dan kepercayaan yang dianut oleh masing-masing warga negara. Ketiga, asas monogami, maksudnya adalah UU perkawinan pada dasarnya menganut asas monogami, namun apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena pada hukum dan agama seseorang tersebut diperbolehkanya beristri lebih dari satu maka hal tersebut boleh dilaksanakan. Keempat, kedua calon mempelai (calon suami dan calon isteri) harus telah dewasa jiwa raganya, hal tersebut bermakna pada undang-undang ini mengatur sedemikian rupa supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, jika suatu pasangan calon mempelai belum siap mental dan jiwa raganya maka tentu dikhawatirkan akan rawan atau timbul suatu hal yang berujuang pada sebuah percerian yang tentu hal tersebut sangat diupayakan untuk dihindari. Kelima, mempersulit terjadinya perceraian, artinya kembali ke tujuan awal pernikahan yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, jika suatu pasangan diterpa masalah dan ingin bercerai, alangkah lebih baik jikalau masih bisa berbaikan dan bersatu kembali maka hal tersebut diutamakan. Keenam, hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang, sehingga dengan demikian segala hal dalam keluarga dapat dimusyawarahkan atau diputuskan bersama oleh pasangan tersebut.
3. Pentingnya Pencatatan Perkawianan dan Dampak Secara Sosiologis, Religious, dan Yuridis
Secara SosiologisÂ