Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Selain dampak fisiknya, TB juga memiliki konsekuensi psikologis, sosial, dan ekonomi yang signifikan. Pasien TB sering kali mengalami stigma dari lingkungan sekitar, yang berdampak pada penurunan kualitas hidup mereka. Dalam konteks ini, pemahaman tentang kualitas hidup pasien menjadi sangat penting, terutama bagi tenaga kesehatan seperti perawat yang terlibat langsung dalam perawatan mereka. Penelitian yang dilakukan oleh Henny Dwi Susanti, dosen Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), hadir sebagai salah satu solusi inovatif untuk menjawab kebutuhan ini. "Melalui penelitian ini, saya berharap dapat memberikan kontribusi nyata dalam meningkatkan kualitas hidup pasien TB," ujar Ibu Henny dengan penuh semangat.
Penelitian Henny berfokus pada pengembangan versi Indonesia dari instrumen WHOQOL-100. WHOQOL-100 adalah alat ukur yang dirancang oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menilai kualitas hidup seseorang secara menyeluruh. Alat ini mencakup berbagai dimensi, seperti kesehatan fisik, kesejahteraan psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan. Namun, versi asli alat ini memerlukan adaptasi agar relevan dan sesuai dengan konteks budaya serta bahasa di Indonesia, khususnya untuk pasien TB.
Tuberkulosis tidak hanya menyerang tubuh secara fisik tetapi juga memengaruhi aspek psikologis dan sosial pasien. Stigma yang melekat pada penyakit ini sering kali membuat pasien merasa terisolasi dari masyarakat. Hal ini dapat memicu tekanan mental, seperti kecemasan, depresi, hingga kehilangan motivasi untuk melanjutkan pengobatan. Selain itu, dampak ekonomi dari pengobatan jangka panjang dan hilangnya produktivitas kerja juga menjadi tantangan besar bagi pasien TB. "Kita harus melihat pasien TB bukan hanya dari sisi penyakitnya, tetapi juga dari kualitas hidupnya secara keseluruhan," jelas Ibu Henny, menekankan pentingnya pendekatan yang lebih holistik. Dalam hal ini, pemahaman tentang kualitas hidup pasien menjadi sangat krusial. Tenaga kesehatan, terutama perawat, perlu memiliki alat ukur yang valid dan andal untuk menilai kualitas hidup pasien. Informasi ini tidak hanya membantu dalam memahami beban penyakit yang dirasakan pasien tetapi juga menjadi dasar dalam merancang intervensi yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Penelitian Henny bertujuan untuk menghasilkan versi Indonesia dari instrumen WHOQOL-100 yang valid dan andal bagi pasien TB. Dengan adanya instrumen ini, tenaga kesehatan dapat mengukur kualitas hidup pasien TB secara lebih komprehensif dan efisien. Selain itu, instrumen ini diharapkan dapat digunakan secara luas di berbagai fasilitas kesehatan di Indonesia untuk mendukung perencanaan intervensi yang lebih baik. "Saya percaya, alat ukur yang tepat dapat menjadi kunci untuk memahami kebutuhan pasien secara mendalam," kata Ibu Henny, menjelaskan motivasi di balik penelitiannya.
Penelitian ini merupakan studi psikometrik yang dirancang sesuai dengan pedoman WHO. Proses adaptasi instrumen melibatkan beberapa tahapan penting, yaitu terjemahan maju dan mundur, partisipasi pasien, serta pengujian validitas dan reliabilitas. Instrumen asli WHOQOL-100 diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh tim ahli yang memahami konteks budaya dan bahasa lokal. Kemudian, hasil terjemahan ini diterjemahkan kembali ke Bahasa Inggris untuk memastikan konsistensi dan kesesuaian makna dari setiap item. "Kami memastikan setiap kata dalam instrumen ini benar-benar relevan dan sesuai dengan budaya Indonesia," ungkap Ibu Henny. Sebanyak 274 pasien TB yang menjalani perawatan di RS PMI Bogor dilibatkan sebagai partisipan. Para pasien ini diminta untuk mengisi kuesioner yang telah diterjemahkan. Pemilihan jumlah partisipan ini sesuai dengan kebutuhan analisis faktor, sehingga hasilnya dapat mewakili populasi pasien TB di Indonesia. Validitas konstruk diuji menggunakan metode analisis faktor eksploratori dengan pendekatan principal component analysis dan rotasi varimax. Sementara itu, reliabilitas instrumen diuji dengan uji Cronbach's alpha, yang digunakan untuk mengukur konsistensi internal dari setiap item dalam instrumen. "Tahapan pengujian ini sangat penting untuk memastikan bahwa alat ukur ini benar-benar dapat dipercaya," kata Ibu Henny, menjelaskan proses penelitian.
Penelitian ini berhasil menghasilkan versi Indonesia dari WHOQOL-100 dengan enam domain utama dan 17 aspek. Domain-domain ini meliputi kebebasan, keamanan fisik dan keselamatan, kesehatan dan perawatan sosial, partisipasi dan kesempatan untuk aktivitas relaksasi, lingkungan fisik, serta transportasi. Dari 100 pertanyaan asli dalam instrumen, sebanyak 31 pertanyaan berhasil diekstraksi dan disesuaikan dengan konteks Indonesia. Sebagian besar pertanyaan menunjukkan faktor muatan 0,4, yang mengindikasikan validitas yang tinggi. Selain itu, uji reliabilitas menghasilkan nilai Cronbach's alpha sebesar 0,816, yang menunjukkan tingkat keandalan instrumen ini sangat baik. "Penyederhanaan ini membuat alat ukur lebih mudah digunakan tanpa mengorbankan akurasi," tambah Ibu Henny, menyoroti manfaat praktis dari hasil penelitiannya.
Penyederhanaan instrumen dari 100 item menjadi 31 item adalah salah satu pencapaian penting dalam penelitian ini. Penyederhanaan ini tidak hanya membuat instrumen lebih mudah digunakan oleh pasien dan tenaga kesehatan, tetapi juga tetap mempertahankan akurasi dan validitas pengukuran. Dalam praktiknya, alat ukur yang terlalu panjang sering kali menimbulkan kelelahan pada pasien saat pengisian kuesioner, sehingga dapat memengaruhi keakuratan data. "Dengan instrumen yang lebih singkat ini, pasien dapat mengisi kuesioner dengan lebih nyaman, dan hasilnya tetap akurat," ujar Ibu Henny.
Penelitian ini membuka peluang baru untuk peningkatan layanan kesehatan bagi pasien TB di Indonesia. Dengan adanya instrumen ini, tenaga kesehatan dapat lebih memahami kebutuhan pasien secara holistik, mulai dari aspek fisik hingga sosial. Informasi ini sangat penting dalam merancang program intervensi yang tidak hanya fokus pada penyembuhan fisik tetapi juga pada peningkatan kualitas hidup pasien secara menyeluruh. "Saya berharap instrumen ini bisa digunakan di seluruh Indonesia, bahkan di daerah-daerah terpencil," kata Ibu Henny dengan penuh harapan. Selain itu, keberadaan instrumen ini memungkinkan tenaga kesehatan untuk memantau perubahan kualitas hidup pasien selama proses pengobatan. Data yang diperoleh dapat digunakan sebagai evaluasi efektivitas program intervensi yang telah diterapkan, sehingga perbaikan dapat dilakukan secara berkelanjutan.
Meskipun penelitian ini telah mencapai hasil yang signifikan, masih ada tantangan yang perlu diatasi untuk implementasi lebih luas. Salah satu tantangan utama adalah memastikan bahwa instrumen ini dapat diterapkan di berbagai daerah dengan karakteristik budaya dan sosial yang berbeda. "Kami akan terus melakukan penelitian lanjutan agar alat ini benar-benar bermanfaat untuk semua lapisan masyarakat," ungkap Ibu Henny.
Penelitian yang dilakukan oleh Henny Dwi Susanti merupakan langkah maju dalam upaya meningkatkan kualitas layanan kesehatan bagi pasien TB di Indonesia. Dengan menghasilkan versi Indonesia dari instrumen WHOQOL-100 yang valid dan andal, penelitian ini tidak hanya memberikan kontribusi ilmiah tetapi juga dampak praktis yang nyata bagi dunia kesehatan. "Penelitian ini bukan hanya untuk angka dan data, tetapi untuk membantu pasien TB hidup dengan kualitas yang lebih baik," tutup Ibu Henny dengan penuh keyakinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H