Mohon tunggu...
Muhammad Aziz Rizaldi
Muhammad Aziz Rizaldi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pengangguran

Berusaha dan terus bergerak untuk berdampak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kambing Kemiskinan

3 Maret 2022   21:11 Diperbarui: 3 Maret 2022   21:20 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ee, njenengan, Mas, monggo pinarak?" tawaran itu terasa lembut tak seperti kedua orang yang main dobrak pintu rumah orang seramah ini.

"Wis wareg aku, orasah kakean basa-basi. Sampean kie nunggak 5 dina sembarang wingi ditagih jere ngesuk-ngesuk bae. Kie nek arep kaya kie terus bungane jelas mundak. Makane siki bayar!" Paksa dari seorang yang berhelm tak jelas kegagahan mukanya yang terus menggentak perempuan renta itu. Dalam adab perilaku seperti itu jelas disalahkan mentah-mentah.Apakah dia tak berpikiran bahwa Yu Jum punya penyakit jantung. Jika mereka tetap seperti itu fatal jelas akibat tindakannya.

"Aku ora ndue duit blas, Mas, bojoku ora bisa nderes gara-gara udan terus." Jawab Yu Jum mengiba dengan suara terbata-bata karena tak mampu menjelaskan keadaan keluarga mereka kali ini.

"Ora, Mbok. Kudu siki langka ngesuk-ngesuk!" Jawab kedua rentenir itu memaksa dengan nada yang sangat tinggi.

Yu Jum hanya terdiam meratapi perkataan rentenir tadi. Di sisi lain ia tengah memikiri nasib lelaki yang sudah dipilihnya selama 20 tahun ke belakang. Dia tak bisa menderes. Mau bagaimana lagi dia harus bayar hutang? Apakah harus membayar dengan dirinya. Kebingungan dan kepusingan Yu Jum semakin semerbak seprti bunga tembelek yang baunya tidak bisa tertahankan. sementara suaminya hanya duduk sembari ngelinthing mbako dan menyan, baunya semerbak jeleh sampai ke luar. Bapa Suradi hanya diam. Situasi seperti yang sangat menjengkelkan Yu Jum, suaminya tidak ada usahanya dan hanya main perintah pinjam hutang padahal dirinya masih sehat.

"Loh, kae ana wong lanang. Ora kerja apa kepriwe?" gentak salah seorang rentenir itu.

"Ora, Mas, agi ora wani nderes." Dengan memelas Bapa Suradi menimpalinya.

"Lanang apahan kue, Yu? Geleme mbojo karo kue wong." Saut mulut tak sopan itu membuat Bapa Suradi mematikan linthinganya dan pergi ke dapur dengan muka yang memerah. Merah kesetanan yang membuat Bapa Suradi tidak sadar diri dan gelap mata ke dua orang tersebut.

Tak disangka, sungguh di luar kendali ternyata Bapa Suradi yang selama ini pendiam ke luar dengan membawa celurit dan mengamang-amang kedua tukang tagih hutang itu. Tanpa basa-basi kedua tukang tarik hutang itu pergi dan menjauh dari rumah gubuk itu.

"Kae conto wong ora rumangsa! Genah pedangan be ora urip maksani bae setoran. Uteke didelah ngendi jane!" cericau Bapa Suradi diikuti oleh tekukuran perkututnya yang sudah lama dirawatnya.

Beberapa hari kedua tukang tarik itu tidak datang dan membuat hati mereka berdua merasa nyaman, damai, dan tenteram lagi. Namun, mereka masih belum bisa makan sesuai dengan kebutuhan. Yang paling disayangkannya lagi anak kesayangan mereka pergi menjadi TKW pada sepuluh tahun yang lalu dan sampai saat ini telah hilang kabarnya. Sebenarnya Yu Jum dan Bapa Suradi sangat berharap saat-saat seperti ini selalu didampingi Mirah, anak satu-satunya yang di luar negeri. Tapi, itu hanya angan yang tak bakal kesampaian. Mungkin sampai mereka matipun Mirah tak bakal pulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun