Banyak masyarakat, bahkan siswa sendiri, menganggap peraturan sekolah seperti memotong rambut, memotong kuku, memakai sepatu hitam, dan berseragam rapi hanyalah hal sepele yang tidak berpengaruh pada hasil belajar. Dalam artikelnya yang berjudul "Sudah Saatnya Kita Hapus Peraturan Sekolah yang Tidak Masuk Akal" di laman Vice.com (23 November 2021), Romano Santos menulis, "Akan tetapi, di mata saya, serangkaian peraturan ini sangat aneh. Murid laki-laki di sekolah saya tidak boleh gondrong. Setiap awal bulan, pengawas akan memerintahkan para siswa tetangga di depan kelas dan memeriksa ujung rambut kami. Mereka memasang penggaris atau pulpen di samping wajah dan belakang kepala untuk memastikan untaian rambut tidak menyentuh telinga atau bagian belakang kerah."
Pendapat serupa juga disampaikan Joshua Nathanaelle M. dalam artikelnya yang berjudul "Peraturan Sekolah tentang Rambut Harusnya Dihapuskan" pada laman Kompasiana (21 Desember 2024), Joshua berpendapat "Peraturan sekolah tentang rambut yang terlalu mengekang harus segera dihapuskan. Pendidikan seharusnya mengedepankan pengembangan karakter, keterampilan, dan pengetahuan siswa, bukan sekadar penampilan fisik yang bersifat sementara. Sudah saatnya kita menghargai keberagaman dan memberikan ruang bagi siswa untuk mengekspresikan diri mereka dengan cara yang positif dan konstruktif."Â
Sebagai pendidik, saya meyakini bahwa sekolah tidak hanya bertujuan menghasilkan siswa yang cerdas secara akademis, tetapi juga membentuk karakter yang disiplin. Peraturan sekolah, termasuk memotong rambut dan berpakaian rapi, bukan sekadar formalitas, melainkan bagian dari upaya membangun sikap yang baik untuk masa depan siswa. Hal ini sejalan dengan kebijakan SMP Negeri 1 Darma, Kuningan, Jawa Barat, yang menerapkan aturan rambut pendek untuk siswa laki-laki. Menurut Aditya Hauzan Pratama dalam laman sekolah tersebut (30 Agustus 2024), kebijakan ini bertujuan membangun "disiplin dan kerapian, konsistensi dan kesetaraan, serta menjaga kesehatan dan kebersihan." Rambut pendek dianggap lebih mudah dirawat dan mengurangi risiko masalah kebersihan seperti kutu rambut. Selain itu, aturan ini mencerminkan kesetaraan, di mana semua siswa mematuhi aturan yang sama tanpa diskriminasi.
Pengalaman saya sebagai guru menunjukkan bahwa siswa yang tidak mematuhi peraturan sering kali menunjukkan sikap pembangkang, seperti datang terlambat, tidur di kelas, atau bahkan pernyataan tidak sopan kepada guru. Akibatnya, mereka yang sebenarnya memiliki potensi akademis baik malah mendapat nilai buruk karena perilaku mereka. Penelitian Ulfah Rohmatun Nafiah dan Deswalantari di Ranah Research (November 2021) juga menunjukkan adanya hubungan signifikan antara kepatuhan siswa terhadap tata tertib dengan tingkat disiplin mereka. Dengan kata lain, siswa yang tertib cenderung memiliki disiplin tinggi dan mematuhi peraturan sekolah.
Selain itu, penelitian Indra Cahyani dalam Prosiding Seminar Nasional KSDP Prodi S1 PGSD FIP Universitas Malang menunjukkan bahwa disiplin sekolah berpengaruh langsung pada hasil belajar siswa. Indra menjelaskan bahwa kebiasaan disiplin, seperti mematuhi peraturan sekolah, menciptakan pola perilaku yang positif sehingga mendukung proses belajar. Namun kenyataannya, masih ada siswa yang melanggar aturan, seperti terlambat, tidak menyelesaikan tugas, atau gaduh saat pembelajaran, yang berdampak negatif pada prestasi mereka.
Pendekatan emosional juga memperkuat argumen ini. Kisah yang diedarkan oleh Imelda Tasya di Quora (2020) tentang temannya, Asri (bukan nama sebenarnya), seorang siswa yang disiplin, memberikan bukti nyata. Asri selalu datang pagi, membawa bekal sehat, membersihkan meja sebelum pelajaran, rajin menabung, dan menyelesaikan tugas tepat waktu. Imelda menulis, "Asri selalu membayar uang kas tepat waktu, tidak pernah nunggak SPP, dan disiplin piket tanpa disuruh. Kedengarannya sederhana, tapi kebiasaan ini membuatnya menjadi siswa yang dihormati dan pintar."
Hal serupa juga diungkapkan oleh Wahyu Pujiyono, alumni S2 Pendidikan Ilmu Komputer UI, yang terinspirasi oleh teman wanitanya untuk memulai hidup disiplin. "Dia datang ke kos saya jam 9, tepat detik di angka 12. Itu makna tepat waktu. Sejak saat itu, saya berlatih disiplin, termasuk memulai kuliah jam 07.00 tepat setiap hari," ujarnya di Quora (2022). Sebagai dosen, Wahyu percaya bahwa kedisiplinan kecil ini memberikan dampak besar dalam mencetak generasi penerus yang taat aturan.
Sebagai alumni SMP Kolese Kanisius dan SMAN 8 Jakarta, Budi Raharjo, produser musik dan gitaris Drive Band, juga berbagi di Quora (2025) tentang pentingnya aturan di sekolah. Menurutnya, "Sebanyak apapun aturan sekolah, nanti saat dewasa kita akan bertemu dengan aturan yang jauh lebih banyak dan kompleks. Kalau aturan yang kecil saja tidak bisa ditaati, bagaimana dengan aturan lalu lintas, pajak, atau tanggung jawab pekerjaan?"
Kesimpulannya, peraturan sekolah, meski tampak sederhana, memiliki peran penting dalam membentuk karakter disiplin siswa. Kepatuhan terhadap aturan adalah bekal yang tidak hanya relevan di masa sekolah, tetapi juga dalam kehidupan orang dewasa. Jadi, apa salahnya mematuhi aturan kecil seperti memotong rambut rapi, jika itu membantu menciptakan kebiasaan disiplin yang berguna sepanjang hidup?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H