Perjalanan menuju Purworejo awalnya biasa saja. Kami bertujuh di dalam mobil, niatnya menjenguk teman yang sedang sakit. Tapi siapa sangka, diskusi sederhana soal lampu lalu lintas bisa bikin perjalanan jadi penuh tawa.
Saat melewati sebuah pertigaan, Pak Dwi yang sedang menyetir bertanya, "Ini lurus apa belok, Bu?"
Dari belakang, Bu Septi menjawab dengan cepat, "Lurus aja, Pak. Ikutin lampu bangjo, ke arah alun-alun Purworejo."
Aku langsung nyeletuk, "Eh, lampunya ada tiga lho. Kenapa cuma disebut bangjo? Yang kuning nggak kebagian, kasihan banget."
Pak Dwi menimpali sambil tertawa, "Iya nih, diskriminatif. Padahal lampu kuning itu paling sabar, cuma disuruh nyala kedip-kedip aja, tapi nggak pernah dianggap."
Bu Septi mencoba menjelaskan sambil cekikikan, "Tapi istilah bangjo itu dari abang dan ijo , Pak. Bukan nama orang!"
Tiba-tiba, temanku yang lain, Mas Lukman, ikut bersuara, "Kalau lampu kuningnya marah dan berkedip-kedip, kita gimana dong? Bisa-bisa macet total! Lampu kuning itu underrated banget!"
Suasana mobil makin ramai. Kami mulai membayangkan lampu kuning yang merasa melengkung, mengetik kerja, lalu viral di media sosial dengan tagar #JusticeForLampuKuning .
Tapi puncak tawanya terjadi saat Pak Dwi berkata, "Lain kali kita kasih nama lengkap aja: Bang Kun Jo. Supaya lampu kuning nggak sakit hati. Yang penting semua lampu bahagia, ya!"
Perjalanan yang tadinya terasa biasa saja, berubah menjadi penuh warna... merah, kuning, hijau, dan tentu saja, penuh tawa!