Turki Usmani adalah salah satu dari beberapa imperium besar dan kuat yang pernah ada pada peradaban umat Islam. Kita mengenal Sultan Muhammad al-Fatih sebagai pemimpin yang dinubuatkan oleh Rasulullah untuk menaklukkan Konstantinopel, Sultan Suleiman al-Qanuni yang dijuluki sang penakluk tiga benua, Sultan Selim II yang memiliki hubungan sangat erat dengan kerajaan Aceh dan masih banyak lagi.
Hubungan dan keterikatan batin antara Turki Usmani dengan wilayah Nusantara tak hanya berhenti pada kisaran abad ke-15 atau ke-16 saja, namun terus terjalin hingga menjelang abad ke-20. Bahkan, hubungan tersebut tak hanya sampai di pulau Sumatra dan Pulau Jawa saja, namun juga sampai ke Pulau Kalimantan, tepatnya di Kesultanan Pontianak.
Pada 16 Juli 1898, Turki Usmani mengangkat Emin Bey sebagai Konsul Usmani di Batavia untuk menggantikan konsul sebelumnya, Mehmet Galip Bey. Pada awal-awal masa Jabatan Emin Bey sebagai Konsul Usmani di Batavia, ia kedatangn tamu seorang Sultan Pontianak dari pulau Kalimantan., Sultan Syarif Muhammad bin Yusuf al-Qadri, yang saat itu masih berusia 25 tahun.
Pada mulanya, kedatangan Sultan Muhammad al-Qadri ke Batavia tersebut untuk ikut merayakan penobatan Ratu Wilhelmia. Namun, saat mengetahui bahwa ada kantor konsul Usmani di Batavia, ia secara sembunyi-sembunyi mengunjungi kantor tersebut pada malam hari tanggal 19 September  1898. Bagi Emin Bey, Kunjungan tersebut begitu mendadak. Keduanya saling berbincang kurang lebih selama empat jam.
Sultan Muhammad al-Qadri, sebagai Sultan Pontianak, menyatakan kesetiaan dan keterikatannya terhadap Sultan Abdul Hamid II, Sultan Turki Usmani yang berkuasa pada masa itu. Hal ini juga sebagai simbol keterikatan batin dalam satu iman. Namun, ia juga sangat menyayangkan mengapa tidak ada lagi Ulama asal Turki Usmani yang ada di Kesutanan Pontianak.
Andai saja ada kapal berbendera Turki Usmani berlabuh di pelabuhan Pontianak, maka rakyat Pontianak akan sangat senang dan bahagia, karena hal tersebut adalah harapan yang sudah lama terpendam dalam lubuk hati mereka sebagaimana Sultan Muhammad al-Qadri yang mendalami ilmu Agama Islam di bawah bimbingan seorang Ulama dari Istanbul (Ibu Kota Turki Usmani), Syaikh Ahmad Affandi al-Daghestani, saat Sultan Muhammad al-Qadri sedang berhaji di Mekah.
Itulah yang menjadi harapan yang begitu besar dari rakyat Pontianak kepada Turki Usmani. Mereka menunjukkan sikap loyalitasnya dan kekuatan ikatan batin kepada Turki Usmani yang saat itu menjadi naungan umat Muslim. Seusai mengutarakan apa yang telah ia harapkan dalam perbincangan empat jam bersama konsul Turki Usmani, Sultan Muhammad al-Qadri secara tergesa-gesa segera berpamitan dan pulang dari kantor konsul Turki Usmani tersebut. Hal tersebut lakukan agar pertemuan rahasianya tersebut tidak diketahui oleh pemerintah penjajah Belanda.
Referensi :
Pandawa, Nicko. Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda: Riwayat Pan-Islamisme dari Istanbul sampai Batavia,1882-1928Â (Bogor: Komunitas Literasi Islam, 2021) cet. Ke-2.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H