Topik berikutnya membahas mengenai penafsiran yang dapat berbeda-beda. Seperti pada pasal 1464 KUHPerdata yang mengatakan harga pada jual beli yang harus pasti, tetapi pada kenyataannya yang terjadi pada masyarakat modern perihal harga cenderung fleksibel atau tergantung kepada kondisi pasar. Hal ini sering menimbulkan konflik interprestasi, adapun dalam pasal 1370 KUHPerdata mengatakan tentang ganti rugi kematian seseorang, yang hanya mencakup kerugian materiil saja seperti kerusakan barang pribadi milik korban, biaya pengobatan, biaya pemakaman, dan biaya transportasi. Kelamahan dalam pasal tersebut adalah tidak menyebutkan kerugian immateriil yang sulit apabila diukur secara matematika ataupun finansial, seperti penggantian rasa sakit, penderitaan emosional, yang saat ini diakui dalam kasus-kasus modern.[6]
Belum ada kejelasan terkait terjemahan KUHPerdata yang diakui pemerintah secara resmi. Hingga saat ini, terjemahan yang beredar dan dipakai masyarakat Indonesia sebagai acuan hukum keperdataan adalah terjemahan dari ahli hukum, salah satunya terjemahan KUHPerdata karya Prof. Soebekti S.H. dan R. Tjitrosubidio. Tetapi terdapat kesulitan dalam menerjemahkan KUHPerdata sehingga untuk menentukan makna terjemahan yang sesuai tanpa menghilangkan makna aslinya, perlu perbandingan antara Burgerlijk Wetboek (BW) dalam bahasa Belanda dengan terjemahannya KUHPerdata Bahasa Indonesia secara satu-persatu kata atau beberapa pasal.[7]Â
Pada hakikatnya, pembentukan dan pemberlakuan KUHPerdata adalah untuk mengisi kekosongan hukum (recht vacuum). Mengingat KUHPerdata merupakan produk yang dilahirkan oleh kolonial Belanda, tak dapat dipungkiri jika sedikit banyaknya pembentukan Burgerlijk Wetboek (BW) adalah memenuhi kepentingan serta tujuan negara Belanda saja. Sebagai negara yang telah menyatakan kemerdekaanya dengan proklamasi kala itu, sudah sepantasnya Indonesia dapat menentukan tatanan hukum sesuai dengan karakteristik, kebutuhan, kebiasaan, dan jati diri bangsa Indonesia.
Â
- PENUTUPÂ
Beberapa uraian diatas mengungkapkan beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia yang dianggap kontroversial, dari aspek penggunaan bahasanya yang masih kuno, tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern, dualisme sistem hukum, dan menimbukan tafsiran yang berbeda-beda. Menunjukkan bahwa terdapat pasal yang kontroversial dan sudah tidak relevan dengan kebutuhan ataupun kebiasaan masyarakat modern di Indonesia. Sehingga diperlukan adanya perbaikan terhadap beberapa pasal KUHPerdata seperti menyesuaikan dan memasukkan hal-hal baru yang berkembang pada ranah hukum privat sesuai dengan perkembangan yang terjadi pada masyarakat modern di Indonesia agar relevan dengan perkembangan zaman.
Â
DAFTAR PUSTAKA
Djaga Mesa, Grendhard, and Mardian Putra Frans. "Konflik Antara Hukum Adat Dan Hukum Nasional: Kasus Kawin Tangkap Di Sumba." UNES Law Review 6, no. 3 (2024): 8307--14. https://review-unes.com/https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/.Â
Engel. Pengertian Perjanjian. Paper Knowledge . Toward a Media History of Documents, 2018. https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/2017/05.2 bab 2.pdf?sequence=8&isAllowed=y.Â
Mangara, Gerhard, and Tazqia Aulia Al-Djufri. "Urgensi Pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Di Indonesia." Jurnal Hukum Lex Generalis 3, no. 4 (2022): 269--90. https://doi.org/10.56370/jhlg.v3i4.248.
Surama, Nyoman, Adiksa Pramana, Gusti Ayu Arya, and Prima Dewi. "Kedudukan Anak Perempuan Terhadap Pembagian Harta Waris Di Bali." Jurnal Kertha Desa 11, no. 5 (2023): 2415--26.