Perkembangan teknologi yang masif terjadi serta di ikut sertaka perkembangan pengetahuan dalam peradaban manusia, tidak terlepas dari konfilik individu dan kelompok dalam struktur sosial sehingga dinamika publik di warnai dengan prespektif yang berbedah dalam menelaah tema-tema yang berkaitan dengan politik kekuasaan, serta cara main kekuasaan dalam memanipulasi gerakan lewat media. Hal ini yang dapat mendominasi bagian penting dari interaksi manusia dalam negara.
Filsafat pemberontakan merupakan sistem pemikiran yang di ambil penulis untuk membaca arah kekuasaan dan konstelasi politik internasional dan kebijakan negara bahkan dalam melihat pola kebijakan daerah  sebagai piramida terbalik dari relasi kuasa. Penulis terinspirasi dari pemikir-pemikir besar seperti Michel Foucault, Antonio Gramsci, Ibnu Khaldun, dan Pierre Bourdieu, Edwar W Said, Albert Camus. Sehingga dengan begitu tema filsafat pemberontakan menjadi alternatif baru bagi penulis untuk melacak dan membaca bagaimana peran oligarki dan elite dalam mengatur siasat juga memanipulasi publik lewat wacana dan kebijakan. Sudah tentunya  keterlibatan berbagai kelompok dalam permainan penguasa menjadi kunci utama yang harus di analisi dengan bukti-bukti yang kuat.Â
Pemikir terkenal Italia yakni Antonio Gramsci (1891-1937),  memperkenalkan  gagasan hegemoni, untuk memahami gerakan pemberontakan. Gramsci percaya bahwa kekuasaan tidak hanya dijalankan melalui paksaan fisik, tetapi juga melalui persetujuan masyarakat. Gramsci berpendapat dalam tulisan-tulisan pentingnya, "Prison Not Books," bahwa pemberontakan harus mencakup "perang posisi" - sebuah proses yang berkepanjangan di mana kekuatan ideologis dan budaya ditantang. Banyak gerakan sosial dapat diamati berusaha untuk melawan hegemoni budaya dan intelektual yang menguasai masyarakat. Sebagai contoh, gerakan feminis dan anti-rasis berusaha untuk meruntuhkan hegemoni patriarkal dan supremasi kulit putih. Pemberontakan ini terjadi tidak hanya pada tingkat fisik, tetapi juga dalam ranah ucapan, di mana ide-ide tandingan dibangun untuk menantang narasi yang dominan.
Filsafat pemberontakan sebagai satu bentuk konsep perlawanan terhadap otoritas yang di anggap tidak adil, gerakan perlawanan tidak hadir secara tiba-tiba melainkan berkembang seiring dinamika sosial, politik, dan ekonomi, sepanjang peradaban manusia. Hal ini mencerminkan pandangan Albert Camus dalam The Rebel, di mana pemberontakan menjadi jalan untuk menegakkan keadilan dan mengatasi absurditas situasi (Camus, 1951). Michel Foucault (1926–1984), seorang filsuf Prancis, menekankan bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang statis atau berpusat, melainkan tersebar di seluruh jaringan sosial. Menurut Foucault dalam karyanya "Discipline and Punish" (1975), pemberontakan bukan hanya perlawanan terhadap kekuasaan yang dominan tetapi juga pembebasan dari "disiplin" yang dikendalikan oleh kekuasaan
Foucault menyoroti bahwa kekuasaan bekerja melalui pengawasan dan normalisasi, di mana individu-individu menjadi objek kontrol. Dalam konteks saat ini, pemberontakan dapat dilihat dalam bentuk penolakan terhadap norma-norma yang diberlakukan oleh teknologi, media, dan pemerintah yang memantau perilaku kita. Gerakan digital seperti hacktivism adalah contoh pemberontakan terhadap kekuatan pengawasan ini, yang berupaya mengganggu sistem kendali yang diterapkan oleh negara atau perusahaan besar.
      Dekonstruksi sejarah filsafat pemberontakan melibatkan pembongkaran narasi dominan tentang perlawanan dan menggali asumsi-asumsi yang tersembunyi. Alih-alih melihat sejarah pemberontakan sebagai perkembangan linear menuju kebebasan dan keadilan, dekonstruksi mengungkap kompleksitas, kontradiksi, dan perspektif yang terpinggirkan. Pemberontakan sering kali di anggap sebagai gerakan yang negatif padahal sejarah telah lebih dulu meperkenalkan kepada kita bahwa berbagai bentuk gerakan pemberontakan, perlawanan, yang bisa dijadikan nilai dan spirit perjuangan  bersama tanpa ada kekerasan atau justru sebaliknya. Akan tetapi semua memiliki konsekuensi. Tulisan ini bertujuan untuk merangsang kita semua agar lebih kritis menganalisis dinamika politik negara saat ini dari berbagai aspek dan tidak bermaksud untuk membuat narasi yang kontroversi.
      Dalam sejarah perlawanan mengungkapkan evolusi pemberontakan. Pada dasarnya, gagasan tentang perlawanan terhadap tirani telah ada sejak Yunani kuno. Dalam bukunya "Republik," Plato mengkaji keadilan versus ketidakadilan, yang secara tidak langsung mencakup kemungkinan untuk menentang penguasa yang menindas. Sementara itu, Aristoteles memeriksa berbagai jenis pemerintahan dan mengakui hak rakyat untuk melawan tirani.
Bisa kita lihat tentang pemberontakan Spartacus adalah contoh pemberontakan budak melawan sistem perbudakan Romawi. Kejadian ini mengungkapkan kesadaran akan ketidakadilan dan penindasan, meskipun tidak ada dasar filosofis yang spesifik. Pemberontakan petani di beberapa bagian Eropa  terjadi pemberontakan petani yang dipicu oleh keadaan ekonomi yang keras dan penindasan feodal. Terlihat juga pada masa Martin Luther King yang melawan dan melakukan pemberontakan pada Gereja Katolik sehingga dia menulis 95 Theses dengan kritikannya secara tidak langsung menginspirasi perlawanan terhadap otoritas yang dianggap salah.
Pada abad 18 dan 19 gagasan-gagasan para filsuf seperti Jhon Locke dalam karyanya Two Treatises of. Jean Jacques Rousseau, dalam bukunya  The Social Contract dan Immanuel Kant, esainya What is Enlightenment, mengembangkan sebuah  konsep tentang hak asasi manusia, kedaulatan rakyat dan hak untuk  melawan tirani. Pemikiran mereka juga menjadi landasan gerakan revolusi. Studi kasus serupa banyak kita jumpai dalam perkembangan zaman. Perbandingan dan perspektif kritis juga dapat dilihat bagaimana konsep jihad yang di tawarkan Islam.