Musim kemarau yang sedang berlangsung telah memberikan berbagai dampak terhadap lingkungan di Indonesia, termasuk peningkatan polusi udara di Ibu Kota Jakarta. Untuk dapat melihat fenomena ini dalam kerangka yang lebih luas, mari kita bahas melalui pendekatan ekologi politik guna menganalisis tentang bagaimana dinamika politik dan ekonomi dapat memengaruhi kualitas lingkungan.
Secara sederhana, pendekatan ekologi politik merupakan alat analisa yang mempelajari kompleksitas hubungan antara politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam konteks pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Pendekatan ini dapat membantu menggali akar permasalahan dari banyak perspektif, hingga merancang solusi yang lebih berkelanjutan terhadap permasalahan lingkungan yang kompleks.
 Analisis ekologi politik dalam kasus pencemaran udara di Jakarta, dapat diawali dengan melihat lemahnya kebijakan politik yang diterapkan pemerintah Indonesia terhadap regulasi ambang batas baku mutu udara nasional. PP NO. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara  yang digunakan saat ini, menetapkan standar yang jauh dibawah ketetapan Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Sebagai contoh, Indonesia menetapkan ambang batas untuk PM 2.5 adalah 65 mikrogram/m3, sementara ambang batas PM 2.5 yang digunakan oleh WHO berada pada angka 25 mikrogram/m3. Kondisi ini harus menjadi perhatian utama apabila pemerintah memiliki komitmen serius dalam menyelesaikan permasalahan polusi udara. Alasan sederhananya, bagaimana mungkin persoalan pencemaran udara dapat diatasi bila tidak ada urgensi pemerintah terhadap hal tersebut.
Pendekatan ekologi politik juga dapat membantu kita menemukan bahwa ekonomi sering kali menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan; sehingga konflik kepentingan dapat terjadi antara perlindungan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi. Jika bercermin dari apa yang terjadi hari ini, ambisi pemerintah untuk membangun PLTU di sekitar Jakarta beberapa tahun terakhir, tentu memiliki implikasi seperti itu.
Upaya pengembangan PLTU-PLTU dalam konteks ekonomi memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhan listrik negara, namun harus diakui bahwa dampak lingkungan yang dihasilkan dari pembangunan ini dapat memperparah kondisi udara, kondisi kesehatan masyarakat, hingga membengkaknya alokasi anggaran BPJS karena penyakit-penyakit katastropik yang berkaitan erat dengan kebersihan lingkungan dan kualitas udara yang sehat.
Tentu masih banyak perspektif lain yang dapat digunakan untuk melihat fenomena polusi udara di Jakarta melalui lensa ekologi politik. Namun demikian, rasanya penjelasan diatas cukup mewakili perspektif lain dari narasi yang hanya berkutat pada persoalan kendaraan bermotor. Salam hangat, Arthur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H