Di benakku, acap kali berharap, seolah-olah merayu semesta, agar terik secepatnya meminang hujan. Bukan keluh, tapi jika menengok situasi, sesekali kita butuh kehangatan.
Namun berkompromi bukanlah milik musim, hujan tidak lelah bertingkah konyol, hingga suatu ketika aku terbangun dari tidur, hujan sedang menyemai rindu dimanapun sudut bumi. Tentu menunggu bukanlah cara yang amat manis, tak mau lama, aku langsung segera beberes.
Sekitar pukul 12:00. Pada tepian jalan, terlihat seorang pedagang paruh baya sedang berjibaku untuk kebutuhan hidupnya, gerobak yang telah usang didorong keliling jalan, berharap semua jualannya laris. Jerih payahnya tertampak jelas, Ia seakan merengut sembari merayu langit agar hujan mulai reda.
Sebelum kupercepat perjalanan ke padepokan hijau, diam-diam kuhampiri pedagang tua itu dan berjalan di belakangnya. Hujan tak mau berhenti mengguyur, pakaianku berangsur basah dan transparan.
Sepanjang jalan tiada dugaan, namun karena itu, sesuatu yang tak terduga datang. Teriakan aneh tetiba berdengung ditelinga, tak seperti biasanya. Para pedagang kaki lima sering berkoar atas nama jualannya. Semisal "sate-sate" atau "bakso-bakso" seraya menguras alat penghasil bunyi agar di ketahui orang-orang.
Kali ini berbeda, entah karena hujan atau apa? Namun sungguh, hujan memang tak bisa diajak bersekongkol. Aku sempat terkekeh dan menunjukkan keheranan, kondisi seperti ini bisa-bisanya di dramatiskan. Saat menoleh pedagang tua itu, kepalaku tak habis pikir dan menggeleng, kini hujan yang dipermainkan.
Kalau hujan adalah barang berharga dan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan pribadi, tentu seluruh makhluk akan berlomba membelinya. Mengapa demikian? Pedagang tua itu menjual hujan.
Sepanjang perjalanan dipenuhi teriakan;
"Hujan-hujan-hujan"
"Hujan-hujan-hujan"
"Hujan-hujan-hujan"
"Hujan-hujan-hujan"
Saat matanya menangkapku, beban pedagang itu seakan sirna, tawa tulus mulai terangkat penuh girang, wajahnya terbahak-bahak saat kita saling tahu.