Kenapa pembiaran terus berlangsung?. Tanya ini membersit kala menyaksikan sinetron yang mempertontonkan ABG yang sedang berseteru dalam perebutan cinta. Mereka saling menjebak dengan ragam trik demi memenangkan persaingan, Tak jarang ragam umpatan pun diperdengarkan. Mempertontonkan kemewahan, rivalitas kekayaan, pakaian seragam sekolah yang seksi adalah sisi-sisi lain yang hampir selalu ada. Bahkan juga sering dipertontonkan bagaimana murid berani melawan gurunya.
Adakah sinetron-sinetron semacam ini dimaksudkan untuk menyajikan realitas kekinian dan sekaligus mendorong remaja Indonesia untuk menyesuaikan bila ingin dikatakan gaul atau modern?. Ataukah sinetron ini berpesan bahwa telah terjadi degradasi kesantunan remaja sehingga pemerhati pendidikan dan budaya terdorong melakukan koreksi?. Tak sampai disitu saja sebenarnya, banyak acara televisi yang sangat jauh dari semangat edukatif dan bahkan tidak memenuhi syarat untuk dikatakan bermutu. Kalau joke-joke yang jauh dari kualitas itu hanya sebatas menggerakkan rahang agar tertawa, mungkin selesai sebatas fungsi menghibur diri saja. Tetapi, kalau joke-joke yang disertai tindakan-tindakan anarkis dan permisif terhadap pergaulan bebas semacam itu kemudian menjadi tuntunan bagi penonton dikeseharian hidupnya??. Bukankah hal ini akan menimbulkan persoalan serius?.
Adakah semua ini tentang kepentingan ekonomi rumah produksi?. Ataukah stasiun televisi berkepentingan dengan rating sehingga memiliki pemasukan iklan tinggi?. Dimana para mahasiswa/i yang biasa kritis dan memiliki idealisme yang kuat terhadap persoalan kebangsaan?. Ataukah mahasiswa/i juga menjadi bagian dari barisan yang meniru mentah-mentah sehingga mereka sudah kehilangan apa yang disebut empati sosial ?. Dimana pula para kritikus budaya?. Apakah mereka sudah kehilangan mimbar karena mereka dipersepsikan sebagai penghambat modernisasi?. Ataukah kondisi semacam ini sebagai pertanda melemahnya pengaruh para alim ulama dan pemuka agama dalam mengedukasikan pentingnya agama sebagai filter modernisasi?.Dimana Badan Sensor atau komisi penyiaran?. Apakah mereka telah mengendorkan indikator-indikator kelayakan sebuah acara TV di pertontonkan kepada segenap pemirsa?. Ataukah Badan Sensor juga telah larut dalam permakluman-permakluman yang terbentuk perlahan bersamaan dengan tahapan kegilaan yang masuk dengan lembut dalam skenario sebuah materi yang akan dipertontonkan?. Ataukah atas nama seni telah membuat segala sesuatunya menjadi sah dan para kreator acara pun boleh abai dengan segala akibat yang ditimbulkan?.
Ini persoalan serius dan menyangkut persoalan karakter sebuah generasi. Ini juga menyangkut tanggungjawab sosial para pekerja seni, sinetron dan infotainmen. Yang jelas, setiap orang tua harus mengambil inisiatif, inisiatif yang memberikan filter dan membantu memberikan pemahaman dan pemaknaan yang tepat terhadap putera/i mereka yang sebagian besar menjadi pemirsa setia saat sinetron atau acara semacam itu tersajikan.Persoalannya adalah adakah orang tua punya waktu mendampingi anak remajanya saat sinetron itu berlangsung?.
Dengarlah celetukan anak kecil yang tak jarang meniru apa yang mereka tonton di televisi. Lihatlah perilaku anak-anak ABG yang banyak meniru apa yang tersaji dalam sinetron atau infotainment. Adakah para kreator  merasa bersalah saat menyaksikan kenakalan remaja yang terinspirasi dari apa yang telah mereka pertontonkan?. Tidak khawatirkah mereka kalau kemudian bukan tidak mungkin korban atau pelakunya adalah anak mereka sendiri?. Ataukah industri kreatif memang tak perlu memikirkan dampak semacam ini karena segala akibat dari karya mereka sudah ada bagian yang ngurusin?.
Tampaknya, dinamika realitas sosial dan budaya sesungguhnya tidak terjadi begitu saja tanpa adanya pemantik baik dalam bentuk mendorong,menstimulan dan atau membenarkan sehingga orang lebih percaya diri untuk melakukan hal-hal aneh dan cenderung menyimpang dari kebiasaan.
Terbersit 2 (dua) tanya dipenghujung kegundahan sebagai orang tua yang masih memiliki anak-anak yang masih duduk di SD; (i) sebesar apakah Kontribusi TV dengan segenap agenda acaranya telah menyumbang perilaku kebarat-baratan dari generasi muda atau para remaja Indonesia? ; (ii) adakah ini bagian dari setting oleh pihak-pihak yang tidak terlihat (invisible) tetapi bekerja begitu sistematis untuk kepentingan besar mereka?. Kedua pertanyaan ini tak berjawab atau lebih tepat hanya bisa dijadikan sebagai sebagai bahan renungan.
Tulisan sederhana berangkat dari kepedulian dan keinginan kuat untuk bisa melahirkan generasi mendatang yang lebih berkualitas, lebih baik dan lebih siap membentuk keadaan yang lebih bijaksana sesuai dengan karakter asli bangsa Indonesia. Dinamika kehidupan adalah sesuatu yang pasti, tetapi filter adalah sesuatu yang sangat diperlukan.KAH?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H