Mohon tunggu...
Muhammad Arif Setianto
Muhammad Arif Setianto Mohon Tunggu... lainnya -

Banker, Value-Growth Investor, Peneliti & Admin http://LaporanKeuangan.Info , Pemerhati masalah sosial, Suka Vespa, Motret, dan Rock m/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ternyata Tidak Korupsi Pun Belum Tentu Sudah Benar

4 April 2011   07:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:08 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ini bukan tulisan provokasi, agitasi, propaganda atau sesuatu yg mencoba mempengaruhi hidup anda dan cara pandang anda. Hanya catatn pribadi tentang yg aku lihat dari sekeliling.

Malam itu ketika aku ada di rumah ortu di Pati, sambil mengunci pintu depan aku melihat lagi orang itu menggendong satu dunak (bahasa jawa : semacam keranjang) penuh pisang melewati depan rumahku. Ini adalah kali kedua aku melihat pemandangan itu. Barisan petani sekitar 2-4 org  yang menggendong hasil buminya dengan membawa obor untuk dijual di pasar tradisonal di desaku pada jam dimana para kelas menengah seharusnya tidur. Sejenak aku terhenyak,ternyata di lingkungan yg kuanggap sudah maju ternyata masih kudapati pemandangan itu. Eksotik sekaligus menggugah nurani. Ah..ternyata aku jarang melihat sekelilingku.

Secara peradaban (halah), desaku yg merupakan desa kecamatan tdk termasuk terpencil. Namun di sekelilingnya masih terdapat desa-desa yang penduduknya masih mengandalkan hasil bumi sebagai mata pencaharian, sebagian lagi merantau sbg penambang emas di kalimantan, TKW di luar negeri dan buruh di kota besar dan sebagian kecil lagi sbg PNS. Dan jalan depan rumah orang tuaku adalah jalur utama dari desa-desa itu menuju pasar.

Mereka yg tersisa inilah yang tiap malam pasaran masih 'suka' berjalan berkilo-kilo meter untuk membawa dagangannya ke pasar. Mereka tidak naik kendaraan karena selain memang tidak ada kendaraan umum di malam hari, dan ini mengurangi biaya yang mereka keluarkan. Pernah juga aku melihat kakek tua sore-sore menggendong kayu bakar yg harganya kutafsir mungkin kurang dari 50rb. Dengan pengorbanan energi yang harus dikeluarkan untuk menggendong dan berjalan jauh, menurutku itu tidak sebanding dg harga yang diperoleh. Bahkan hanya cukup untuk menghargai ongkos jalan saja kayaknya kurang. Ini jelas beda dengan pengalaman ketika para mahasiwa naik gunung. Walaupun sama berjalan jauh dan membawa beban, tapi itu untuk kesenangan.

Aku mencoba membandingkan dengan pemandangan lain yang pernah kulihat, cuma beda dimensi. Ambil saja contoh pegawai perusahaan besar yang mendapatkan gaji dan bonus beratus ratus juta setiap tahunnya sampai bandar saham yg bisa mengeruk keuntungan hingga bermiliar-miliar hanya dalam satu hari dengan menaikkan dan menurunkan harga saham. Atau pemandangan keluarga berada yang lagi tertawa-tawa bahagia sambil makan di sebuah café mahal. Wanita metropolis yg menjajal pakaian mahal di butik/mall. Anak kota yg dengan mahirnya bermain dengan laptopnya utk surfing di internet. Itu juga bukan salah mereka. Selama itu bukan dari hasil korupsi, dengan penghasilan yg memadai mereka berhak utk mengatur gaya hidupnya. Mereka kerja dan mereka belanja.

Sebuah nilai yang dulu kuanut untuk dapat bersaing adalah bekerja keras, yang kemudian akhir-akhir ini kumodifikasi menjadi bekerja cerdas. Aku rasa sudah banyak yang faham dengan maksud paham “bekerja cerdas” ini. Namun akhir-akhir ini aku merasa kadang ini hanya menjadi sebuah pembenaran atas ketidakberdayaan sebagian masyarakat lainnya. Siapa unggul dia dapat.  Sampai dengan hal ini, saya masih bilang mereka tdk salah, karena itulah hidup, mereka berhak berusaha agar bisa unggul selama itu tdk merugikan org lain. Tentu aku juga tidak ingin terperosok secara ekonomi hanya karena tdk mau meng-upgrade diri.

Lalu apa yang salah? Toh..aku juga tidak pernah korupsi. Aku masih mencari jawaban, belum puas. Masih ada yang tidak beres. Hingga aku bertemu dengan Hartadi, (hampir saja aku lupa namanya) teman kecilku saat masih SD. Dia salah satu anak yang pintar waktu itu, yang sekarang "terpaksa" menjadi buruh bangunan. Ya.. ini bukan pembicaraan soal siapa yang lebih cerdas dan berdaya saing, tapi juga pembicaraan tentang siapa yang sudah menikmati kesempatan belajar.  Tidak ada perbaikan nasib dari generasi ke genarasi selanjutnya karena mungkin anak mereka juga belum tentu akan disekolahkan ke jenjang lebih lanjut, agar pandangan mereka terbuka seluas-luasnya hingga menjadi unggul.

Dengan berapi-api aku utarakan semua itu kepada istriku. Juga tentang gaya hidup orang-orang yang pernah kujumpai yang masih suka tidak menghabiskan makanannya. Dia mendengarkan saja seraya manggut-manggut. Dan setelah aku selesai berbicara baru dia menimpali. “Mas, kayaknya tahun ini kita belum menunaikan zakat deh”. Astaghfirullahaladziim.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun