Suatu petang selepas maghrib di tahun 1997. Waktu itu saya masih SMA, bersepuluh kami berangkat ke rumah salah satu kyai untuk melakukan “pengamanan”. Di usia yang masih remaja mudah bagi saya untuk diajak melakukan hal-hal yang belum saya pahami benar. Waktu itu saya diajak ronda untuk menangkap ninja. Istilah ninja saat itu memang lagi menjadi trending topic. Bukan ninja dengan ilmu jujitsu tapi ninja yang saat itu kami anggap sebagai oknum yang bertugas untuk melakukan provokasi massa guna menghabisi kyai yang mereka “fitnah” sebagai dukun santet .
Sedikit flashback, kejadian ini bermula dari Banyuwangi, jawa timur ketika banyak sekali orang yang dituduh menjadi dukun santet lalu kemudian dihakimi bersama-sama hingga meninggal. Kejadian ini kemudian merembet massive hingga jawa tengah. Situasi saat itu sangat kacau dan mencekam. Kacau, karena logika masyarakat saat itu dibolak balik oleh mungkin dari provokator atau secara tidak sengaja dari media massa. Seseorang yang semula dianggap salah sebagai dukun santet, kemudian dianggap benar karena ternyata kyai betulan (sayangnya setelah kyai itu sudah menjadi mayat). Begitu pula sebaliknya, oknum yang pada awalnya dianggap benar, pada akhirnya terbuka kedoknya bahwa merekalah sang provokator atau oleh media saat itu digambarkan sebagai ninja.
Entah benar entah tidak, tapi jika itu sudah pendapat orang banyak maka yang benar bisa menjadi salah dan sebalinya. Hingga puluhan orang menyemut menjadi ratusan orang untuk menjemput seseorang yang dicap dukun santet itu untuk diarak keluar rumah. Sumpah serapah dan segala caci maki ditujukan kepadanya. Tubuhnya menjadi bulan bulanan, sementara itu yang tidak ikut memukul terus mengumandangkan cacian kepadanya. Tanpa ampun, orang-orang terus menderanya dengan pukulan dan juga batu. Hingga akhirnya tubuh orang yang belum terbukti bersalah itu tersungkur ke tanah dan mati. Untuk sementara, semua puas. Banyak korban berjatuhan di berbagai wilayah, kebanyakan adalah salah sasaran.
Banyak orang dibunuh tanpa pengadilan. Benar ataupun salah urusan belakang, yang penting warga puas bisa mencaci maki. Anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak semua mencaci dan mengutuk. Wajar saja, perbuatan santet bukanlah perbuatan terpuji di mata masyarakat.
Mirip-mirip dengan pelaku santet, pelaku kejahatan di era 16 tahun setelah reformasi juga layak untuk dicaci maki. Mereka adalah para koruptor. Seiring dengan berhasilnya edukasi kepada masyarakat ttg jahatnya tindakan korupsi terhadap kemanusiaan, masyarakat sangat membenci tindakan korupsi hingga tiap ada berita koruptor tertangkap KPK, para masyarakat terdidik akan semangat untuk mencaci makinya , baik lewat media social maupun melalui kolom komentar pada artikel. Sampai dengan hal ini menurut saya ini bagus, karena bisa menjadi hukuman moral bagi pelaku.
Satu kasus yang menarik perhatian saya sehingga saya kembali bergairah menulis kembali di kompasiana, adalah tentang Anas Urbaningrum. Saya amati, khususnya di media online, dimana ada pemberitaan tentangnya, maka traffic articlenya menjadi naik dan komentarnya bejibun. Pada satu kesempatan Johan Budi Juru bicara KPK sampai bilang bahwa sekali lagi Anas Urbaningrum tidak ada yang istimewa sama seperti tersangka lain. Pak Johan benar tidak ada yang perlu diistimewakan dalam kasus ini, jika terbukti bersalah, koruptor harus dihukum dan jika tidak bersalah maka harus dibebaskan, yang membuat kasus ini istimewa bukan kubu pro anas atau kubu kontra anas melainkan media massa sendiri yang memberi porsi pemberitaan lebih banyak.
Beda dengan era media kertas, pada era online, berita yang diturunkan bisa menjadi lebih dinamis karena adanya kolom komentar pada artikel. Tentang komentar itu sendiri, walau sifatnya hanya komentar, namun bagi pembaca awam hal ini bisa menjadi alat pembenaran. Mereka biasanya cenderung butuh arahan dari second opinion, dan kebutuhan itu bisa mereka dapat dari komentar. Peran komentator menjadi bagian penting juga untuk penggiringan opini public, jika ada maksud kesana. Jika anda mengenal konsep impulse buying pada midnignt sale yang digunakan oleh para pemilik mall, kurang lebih para komentator ini memakai konsep yang sama untuk memanfaatkan psikologi awam. Sama halnya juga dengan para Bandar di Pasar modal untuk mengangkat/menerjunkan harga saham, sama juga dengan para penerobos lampu merah yang memancing pemakai jalan lainnya untuk ikut menerobos, sama juga dengan para “ninja” di era 1998 yang memancing awam untuk melakukan tindakan anarki dengan hanya berteriak “bakar!”.
Belajar dari kejadian 16 tahun silam, saya tidak mau dan tidak ingin terlibat sebagai hakim yang berhak memvonis seseorang sebelum terbukti di pengadilan. Setidaknya karena alasan bahwa ketika logikamu mulai mudah berbolak balik maka langkah yang terbaik adalah duduk diam dulu, diakui atau tidak, bukankah kita sering merevisi keyakinan kita tentang suatu hal yang kita anggap benar/salah. Dan alasan berikutnya adalah karena saya tidak benar-benar tahu apakah di antara barisan penulis artikel dan komentator itu ada seorang “ninja” atau tidak. Sehingga saya memilih untuk mengamati dari pinggir lapangan. *Ditulis sambil ronda di depan komputer, siapa tahu ada ninja lewat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H