Mohon tunggu...
Muhammad Arif Maulana
Muhammad Arif Maulana Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar di SMK Dokter Soetomo Surabaya

Hobi tidak jelas. Bercita-cita masuk fakultas Filsafat UGM dan memajukan Indonesia dengan mempermudah akses pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kerancuan Konsep Banyak Anak Banyak Rejeki, Salah Satu Penyebab si Miskin Makin Miskin

29 Juni 2023   16:30 Diperbarui: 29 Juni 2023   16:35 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam buku Rich Dad Poor Dad, Robert Kiyosaki menjelaskan sesuatu yang menjadi garis besar dalam buku tersebut. Garis besar itu adalah pembagian atas aset dan liabilitas. Singkatnya, aset adalah apa yang memasukkan uang ke dalam saku kita, sementara liabilitas adalah apa yang mengeluarkan uang dari saku kita. Dengan dapat membedakan mana aset dan liabilitas maka akan semakin dekat kita dengan kekayaan. Setidaknya begitulah menurut investor asal Amerika Serikat itu.

Pada kehidupan sehari-hari, banyak kita temui orang yang mengamini bahwa semakin banyak anak, maka semakin banyak rezeki. Dengan kata lain, menurut mereka, anak adalah aset. Hal tersebut biasanya diamini oleh orang konservatif yang karena fikirannya itu, mereka hidup dalam garis kemiskinan. Dan, ketidakmampuan membedakan aset dan liabilitas semakin membuat mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan.

Robert Kiyosaki, dalam suatu video YouTube, mematahkan gagasan "anak adalah aset" tersebut. Ia, dalam video itu, memberi pelajaran pada seorang perempuan dengan mengatakan kurang lebih "anak adalah liabilitas, bukan aset, karena anak memerlukan uang kita untuk hidup dan berkembang." Aku pikir-pikir, pesan yang disampaikan Kiyosaki itu ada benarnya. Karena, semakin banyak anak, semakin memperbanyak benda untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan anggota keluarga. Semakin banyak benda, semakin banyak pula uang yang dikeluarkan untuk membuat benda itu tetap ada. Pakaian, misalnya, kita memerlukan uang untuk membeli mesin cuci, deterjen, membayar tagihan air dan listrik, hanya agar pakaian itu tetap bisa dikenakan lagi. Itulah liabilitas. Hal yang sama berlaku pada benda lain seperti: handphone, motor, mobil, rumah, dan juga ANAK. 

Dengan semakin banyak anak, semakin besar pula uang yang akan dikeluarkan karena kebutuhan semakin banyak. Dan, hal yang membuat keluarga beranak banyak susah keluar dari kemiskinan ialah karena mengira anak merupakan aset dan akhirnya berlomba-lomba memperbanyak anak. Benarlah bahwa ketidakmampuan membedakan aset dan liabilitas membuat individu menderita secara finansial.

Selain ketidakmampuan membedakan aset dan liabilitas, ketidakmampuan membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan juga membawa pengaruh atas derita finansial keluarga. Data dari kementrian keuangan menjelaskan, rokok adalah konsumsi terbesar kedua setelah beras. Ya, kebanyakan dari lingkungan kita malah membeli rokok, bukan membeli aset seperti reksadana, saham, atau obligasi. Bukan membeli ayam atau daging untuk optimalisasi gizi. Kita membelanjakan uang kita untuk benda yang akan merenggut kesehatan pernafasan kita dan keluarga. Benda yang merenggut semua aset ketika kita di masa tua. Benda yang hanya membawa kenikmatan sementara.

Dalam keadaan keluarga beranak banyak itu, kedatangan "anak yang tak diinginkan" seperti anak jenius turut membuat luka keuangan keluarga. Andrea Hirata, melalui tokoh fiksi Lintang pada novel Laskar Pelangi, berhasil memberikan simulasi atas apa yang dirasakan anak cerdas miskin bersaudara banyak itu. Bahwa anak gifted itu, anak supergenius yang malang itu, tak bisa mewujudkan cita-citanya menjadi matematikawan pertama di pulau kecilnya. Hal itu dikarenakan ayahnya, yang selama ini menjadi satu-satunya sumber kehidupan atas LIMA BELAS anggota keluarganya, meninggal dunia saat Lintang duduk di bangku SMP. Lintang, sebagai satu-satunya yang unggul dari semua anggota keluarganya, terpaksa melepaskan semua mimpi-mimpinya, berhenti sekolah, dan bekerja menggantikan Ayahnya.

Seandainya, jika kita berlomba-lomba beranak-pinak berdasarkan anggapan "banyak anak, banyak rezeki", dan ternyata terdapat anak bermimpi besar seperti Lintang, apakah kita tega membunuh mimpi-mimpinya? Apakah kita tega membunuh kecerdasan yang dianugrahkan Tuhan itu dengan tak memberikannya fasilitas belajar seperti buku, sekolah yang baik, dana untuk kuliah anak, dan sebagainya hanya karena dia memiliki banyak saudara?

Maka, pemahaman anak adalah aset semakin memperdalam jurang antara si miskin dan si kaya. Dengan melihat hal ini, maka, anak bukanlah aset. Anak adalah liabilitas. Anak bukanlah instrumen investasi yang membuat kita mendadak mendapatkan uang sewaktu-waktu. Anak adalah beban. Anak adalah tanggungjawab. Maka, satu langkah untuk keluar dari kemiskinan adalah sedikitkan anak dan optimalkan tumbuh kembangnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun