Mohon tunggu...
Muhammad Arif Maulana
Muhammad Arif Maulana Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar di SMK Dokter Soetomo Surabaya

Hobi tidak jelas. Bercita-cita masuk fakultas Filsafat UGM dan memajukan Indonesia dengan mempermudah akses pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Antara Rambut dan Bully

18 Juni 2023   22:19 Diperbarui: 18 Juni 2023   22:53 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebenarnya, sudah banyak postingan meme bertebaran di media sosial yang menyindir kontradiksi reaksi sekolah terhadap jaket dan bullying. Di mana sekolah lebih memberikan atensi terhadap jaket dan rambut ketimbang bullying. Tapi, meme semacam itu biasanya hanya dihadapi sebagai reaksi pula. Sebagai bahan untuk tertawa. Bukan sebagai refleksi atas sekolahan dan keabsurdannya. Maka, melalui tulisan ini, biarkan saya berkontribusi atas kesadaran bersama atas salah satu absurdnya sekolah.

Sekolah bereaksi lebih preventif atas siswa yang mengenakan jaket ke sekolahan, meskipun padahal udara sedang dingin-dinginnya, dan juga kepada siswa berambut gondrong ketimbang bullying. Hal itu tak bisa dipungkiri. Saya sendiri kurang lebih dua kali menjadi korban atas peraturan aneh pelarangan rambut panjang ini.

Sekolah berdalih, bahwa rambut gondrong itu mempengaruhi intelejensi. Sehingga alasan ngawur itu menjadi legitimasi atas razia rambut yang mereka lakukan. Entah dari ilmuwan mana pernyataan ngawur itu diambil. Kenyataan bahwa pemikir dan ilmuwan kebanyakan berambut panjang itu justru ditepis oleh sekolah dengan alasan dulu tidak ada barbershop (berani taruhan?). Padahal bukan masalah dulu ada barbershop atau bukan, tapi mereka, ilmuwan dan pemikir itu, memberi contoh betapa tidak ada pengaruhnya rambut panjang dengan intelejensi.

Di sisi lain, sekolah tidak ada yang menanggapi secara serius bullying di dalam lingkungannya. Padahal, itu yang benar-benar secara nyata mengikis intelejensi, mematikan empati, dan membunuh kemampuan sosialisasi dan komunikasi siswa. Bahkan yang terbaru, siswa kelas LIMA SD gantung diri karena dihina yatim. Mana peran sekolah dalam hal ini?! Dengan kata lain, bullying adalah jalan sekolah menuju kegagalan dirinya. Sekolah gagal menerapkan fungsinya yang di mana seharusnya sekolah berfungsi "mengubah orang yang tak paham jadi paham, yang tak bisa jadi bisa, yang tak pandai jadi pandai, yang tak mampu berempati jadi memiliki rasa empati, dan bahkan yang tak berspritual jadi berspritual"

Reaksi sekolah dalam menghadapi bullying ini sungguh menggelikan. Tak jarang reaksinya adalah skeptis atau bahkan menormalisasi perundangan tersebut.  Sebagai contoh, biasanya guru yang diberi laporan akan mengatakan "Ah, mungkin cuma bercanda," atau "Namanya juga anak-anak," atau "Itu karena kamu kurang bergaul," atau yang paling dungu adalah (bukan dari pihak sekolah, tapi pemerintah) "Ya, wajar mereka menyuruh anak itu menyetubuhi kucing. Itu guyonan. Guyonan seperti itu juga ada kok di zaman saya." Perkataan dungu yang terakhir itu diucapkan oleh wakil gubernur jawa barat dalam reaksinya terhadap kasus siswa dipaksa menyetubuhi kucing hingga akhirnya sang siswa meninggal dunia.

Di tengah kondisi siswa terintimidasi seperti itu, mereka masih sempat skeptis dan menormalisasi bullying. Cukup lucu sekaligus ironi.

Reaksi lainnya adalah dengan menyelesaikannya melalui "jalan damai". Intimidasi, pemalakan, muka bonyok, trauma, dan depresi yang dialami korban dari bullying tak dianggap. Dan bullying-nya terselesaikan dengan biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa dengan melalui solusi "jalan damai" yang disepakati oleh sekolah atau keluarga korban dan keluarga tersangka.

Mungkinkah kita kekurangan literasi tentang bullying? Sehingga bullying seakan menjadi suatu hal yang banal terjadi. Atau apakah itu hanya dianggap guyon karena memang mereka penggemar komedi slapstick? Entahlah. Yang jelas jalan damai bukan solusi atas bullying dalam sekolahan.

Menurut saya sendiri, yang sudah gemas dengan bullying yang berakhir dengan "jalan damai" tanpa dibawa ke meja hijau, seharusnya, pelaku dikeluarkan dari sekolah dan namanya diblacklist dari sekolah atau universitas mana pun. Adapun korban, seharusnya menjalani perawatan psikis dan fisik dan kembali merasakan manisnya ilmu pengetahuan tanpa distraksi perundungan. Itu adalah usulanku dalam memberantas perundungan di lingkungan pendidikan. Dan dengan begitu pula, sekolah menjadi berfungsi sebagaimana fungsinya.

Maka, alasan sekolah dalam melakukan razia rambut dengan sok memperhatikan intelejensi tadi patut dipertanyakan. Apakah mereka benar-benar memperhatikan intelejensi atau ada kepentingan pribadi di balik alasan itu?

Maka,
sekolah,
tentukan pilihanmu, rambut dan bullying
mana yang kamu anggap masalah?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun