Mohon tunggu...
Muhammad Arif Hidayat
Muhammad Arif Hidayat Mohon Tunggu... Guru - Belajar, Berkarya, Bermanfaat

Santri TBM Panggon Sinau

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menuju Madrasah Inklusi

11 Juli 2019   20:02 Diperbarui: 11 Juli 2019   20:06 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan adalah hak bagi setiap warga negara. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi Pemerintah untuk memberikan layanan pendidikan bagi setiap orang tanpa terkecuali. Sebagaimana diamanahkan dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa Indonesia berusaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ini harus dilakukan secara merata dan memberikan fasilitas secara terbuka bagi siapapun agar dapat mengakses dan memperoleh layanan pendidikan. Penerimaan tanpa syarat semua anak dalam sistem pendidikan inilah yang disebut sebagai pendidikan inklusif. Namun dewasa ini pendidikan inklusif sering diartikan sebatas pemberian akses pendidikan yang layak bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Pendidikan Indonesia saat ini memang belum benar-benar memberikan kenyamanan bagi anak-anak difabel, seringkali sekolah menolak untuk menerima anak difabel hanya karena mereka dianggap belum siap untuk mengikuti program pembelajaran dan kurikulum yang sudah dirancang sekolah. Kalaupun mereka diterima, tidak sedikit ketika di sekolah mereka akan mendapatkan bullying dari para teman sekolahnya, atau bahkan gurunya,  hal ini diperparah dengan fasilitas dan lingkungan sekolah yang tidak ramah terhadap keberadaan anak difabel. Hal-hal demikianlah yang akan membuat perkembangan belajar anak-anak difabel terhambat, akibatnya hak anak-anak difabel untuk mengembangkan bakat dan potensi mereka yang lain dan terpendam (difabel : different abilitiy) akan terkubur semakin dalam.

Perjuangan anak-anak difabel untuk mengenyam pendidikan tergambarkan dengan baik dalam tulisan Fikar, "Aku, Sekolah dan Difabel", Fikar adalah seorang difabel yang karena tekad kerasnya mampu menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi bahkan ia menyelesaikan SMAnya di Negara Qatar. Ia mengisahkan bahwa ketika kecil ia menderita gangguan saraf motorik. Sehingga ia tidak mampu bergerak secara normal. Bahkan untuk menulispun ia tidak mampu. Namun keterbatasan itu tidak membuat orang tua Fikar berkecil hati, dengan beragam usaha orang tua Fikar menemui banyak orang penting dari beberapa lembaga hanya agar Fikar mampu mengenyam pendidikan di sekolah umum. Usaha itu tidak sia-sia, Fikar kecil dapat diterima sebagai siswa sekolah dasar di sebuah sekolah umum. Namun persoalan belum selesai, ketika berada di sekolah ia mengisahkan bahwa seringkali ia dipandang sebelah mata oleh teman-temannya. Hinaan dan cacian adalah makanan sehari-hari Fikar di sekolah. Bahkan karena seringnya ia dihina ia selalu berusaha datang selambat mungkin ke sekolah dan ketika jam pulang tiba ia akan pulang dengan sesegara mungkin,hanya agar ia tidak menghabiskan waktu terlalu lama di sekolah. Suatu hari ia juga pernah didorong temannya hingga kepalanya penuh dengan jahitan, dikucilkan oleh teman-temannya hingga tak jarang iapun harus pulang dalam kondisi menangis.

Suatu ketika Fikar pernah ditanya,"apa cita-citamu?", pertanyaan yang memang sering dilontarkan kepada anak-anak seusia Fikar. Maka dengan yakin dan bangga Fikar menjawab bahwa dirinya ingin menjadi seorang guru. Sebuah cita-cita yang memang senantiasa ditanamkan oleh ayah Fikar agar dirinya menjadi seorang yang bermanfaat. Dan bagi Fikar salah satu jalan untuk menebar kebermanfaatan adalah dengan menjadi guru. Namun jawaban Fikar yang jujur dan tulus tersebut justru ditertawakan oleh teman-temannya, beberapa dari mereka meragukan kemampuan Fikar untuk menjadi seorang guru, bahkan ada yang menghinanya dengan mengatakan bagaimana mungkin dirinya bisa menjadi seorang guru, hanya untuk menulis di papan tulis saja ia tidak mampu. Peristiwa menyakitkan tersebut terus menghantui Fikar dan sulit dilupakan, namun ia berharap apa yang dialaminya tidak terjadi pada anak-anak difabel lainnya. Sekolah yang seharusnya memberikan kenyamanan bagi setiap anak untuk belajar dan mempersiapkan masa depan serta tempat untuk saling berbagi mimpi dan cita-cita untuk kemudian mewujudkannya bersama-sama, tidak berlaku bagi Fikar, sebab hari-hari di sekolah justru merupakan hari yang kelam dan penuh luka yang menyakitkan. 

Selepas menamatkan pendidikan di tingkat SMP, kisah sedih Fikar berubah menjadi kisah-kisah yang membahagiakan. Fikar mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan SMAnya di luar negeri, tepatnya di Qatar. Selama sekolah di Qatar, Fikar merasa mendapat perlakuan yang baik dari teman dan gurunya. Tidak ada lagi hinaan dan cacian dari temannya, bahkan banyak temannya yang memberikan dukungan mental bagi Fikar. Sekolahpun menyediakan fasilitas yang memadai bagi siswanya yang difabel. Fikar tidak lagi dipandang sebelah mata, siswa-siswa difabel dinilai berdasarkan apa yang mampu mereka lakukan, bukan apa yang tidak mampu mereka lakukan. Selain itu Fikar juga merasa guru-gurunya ketika SMA mampu menjelaskan dengan baik arti perbedaan bagi siswa-siswinya, bahwa dibalik kekurangan yang dimiliki kaum difabel, mereka memiliki potensi besar dalam diri mereka, dan kepercayaan dirilah yang membuat kaum difabel mampu untuk terus  mengasah potensi mereka. Tak sedikit guru memberikan catatan tertulis bagi siswa difabel yang tidak bisa menulis dan memberikan kelas tambahan bagi mereka yang kesulitan untuk memahami materi pada jam sekolah. Berbagai fasilitas dan pelayanan yang baik inilah yang mampu membuat Fikar menjadi seorang siswa berprestasi. Ia pun melanjutkan pendidikan tingginya juga di Qatar dan mampu lulus dengan predikat lulusan terbaik dan salah satu yang tercepat. Saat ini Fikar menempuh program master di salah satu perguruan tinggi di eropa.

 Pendidikan yang menggembirakan dan desain sekolah yang menyenangkan seharusnya menjadi prinsip utama dalam perancangan kurikulum. Sebab dengan menciptakan suasana sekolah yang menyenangkan terbukti hambatan belajar yang berat sekalipun, seperti yang dialami Fikar akan dapat teratasi dengan baik. Hal yang tidak jauh berbeda juga tampak dalam buku gubahan Munif Chatib "Bella, Sekolah Tak Perlu Air Mata", buku tersebut menceritakan tentang perjuangan sepasang orang tua yang dikaruniai anak dengan hambatan diseleksia (kesulitan untuk membaca dan menulis aksara) sejak lahir dan ditambah dengan hambatan  (gangguan kemampuan berhitung) karena trauma psikologis ketika kelas 1 SD. Alwan dan Salma adalah pasangan suami istri yang mendamba kemampuan putrinya, Bella begitu ia biasa disapa, agar dapat segera berbicara seperti anak-anak seusianya. Namun momen tersebut tak kunjung datang, sampai akhirnya dari seorang psikolog, Alwan dan Salma paham bahwa putri semata wayangnya mengalami gangguan diseleksia. Pesimisme dan kekhawatiran akan masa depan Bellapun terus terbayang dalam benak Alwan dan Salma, akankah putri mereka kelak dapat menjadi perempuan yang sukses dan mandiri.

Kisah pahit Bella serta orangtuanya dengan instansi pendidikan dimulai ketika Bella akan mendaftar di sebuah Taman Kanak-Kanak (TK). Saat itu TK yang mereka kunjungi dikenal sebagai TK favorit dan unggulan. Tiba giliran Bella untuk tes, guru TK yang bertugas  pada kesempatan tersebut memberikan serangkaian pertanyaan kepada Bella. Karena Bella pada saat itu belum bisa berkomunikasi, Bella hanya diam dan sesekali melempar senyum manis kepada guru dan kedua orang tuanya. Pertanyaan-pertanyaan tes terus meluncur dan Bella tetap diam saja tidak menjawab pertannyaan tersebut, sampai akhirnya Bellapun menangis karena merasa tertekan dengan soal-soal yang diberikan. Guru itupun mengatakan " Maaf, anak anda tidak bisa sekolah disini. Hambatannya terlalu parah. Seperti anak bisu saja, tidak bisa ngomong. Maaf sekolah di tempat lain saja." Sebuah peristiwa yang sebenarnya sudah diprediksi oleh Alwan benar-benar terjadi, Bella pasti ditolak untuk masuk TK. Namun Alwan tidak menyerah ia akhirnya memukan TK yang bersedia menerima anaknya yang belum mampu berkomunikasi secara lancar. TK tersebut memiliki prinsip bahwa anak-anak seusia Bella tidak seharusnya dibebani dengan tugas-tugas perkembangan yang memang belum pada tahapnya. Usia anak-anak TK merupakan masa-masa bermain bagi mereka.

Selepas dari TK, Bella melanjutkan pendidikannya ke jenjang Sekolah Dasar (SD), ia dapat diterima karena Alwan memiliki rekan di SD tersebut. Ketika berada di SD inilah Bella mengalami trauma psikologis hingga membuatnya mengalami ganguan diskalkulia (kesulitan dalam hal angka). Saat itu Pak Hadi guru matematika kelas 1 meminta siswa-siswinya untuk mengerjakan soal-soal matematika. Bella mendapatkan nilai terendah dibandingkan dengan teman-temannya sekelas. Hardikan keras dari Pak Hadilah yang membuat Bella menjadi trauma. Saat itu Pak Hadi mengatakan " Bella, kamu in belum waktunya masuk SD, mestinya masih sekolah TK. Soal semudah ini, kamu tidak isi semua...Bapak tidak mau di kelas ini ada anak bodoh, kelas ini tempatnya anak pandai." Tidak cukup disitu Pak Hadipun menuliskan dengan tinta merah kalimat "Bodoh" di kertas milik Bella. Sejak saat itulah Bella selalu ketakutan ketika pelajaran matematika, bahkan ia benar-benar kehilangan kemampuan dalam mengerjakan soal-soal matematika.

 Permasalahan lain muncul ketika akan kenaikan kelas. Seluruh nilai ujian Bella berada di bawah standar minimal kelulusan, karena memang Bella pada saat itu masih belum bisa membaca dan menulis dengan baik. Dengan berat hati, sekolah memutuskan bahwa Bella tidak bisa naik ke kelas 2. Perjuangan Alwan dan Salma berlanjut, berbekal perkenalan dengan seorang kepala sekolah sebuah SD, Alwan memperoleh informasi bahwa SD tersebut menerapkan konsep yang unik. Dalam hal penerimaan siswa baru, sekolah tersebut tidak ada model tes-tes yang akan menyeleksi anak-anak yang mendaftar, sehingga siapapun yang mendaftar di sekolah tersebut akan diterima. Sekolah baru akan menolak jika kuota kelas sudah terpenuhi. Selain itu di sekolah tersebut juga tidak mengenal ada siswa yang tinggal kelas, sehingga semua siswa akan naik kelas dan menjadi juara sesuai dengan kemampuan dan bakat yang mereka miliki. Tanpa berpikir panjang Alwanpun mendaftarkan Bella di sekolah tersebut. Hari-hari Bella di sekolah menjadi hari yang membahagiakan bagi Bella, dan dari sekolah itu pula banyak bakat Bella muncul serta difasilitasi sekolah dengan baik.

Fikar dan Bella adalah dua anak dengan keterbatasan tertentu tapi memiliki kecerdasan dan bakat luar biasa pada hal-hal lainnya (different abbility). Di indonsesia tentu masih banyak anak-anak yang mengalami hal yang sama dengan Fikar dan Bella. Namun sayangnya pendidikan indonesia belum sepenuhnya mampu mengelola dan memberikan kesempatan yang setara bagi mereka. Masih banyak sekolah yang menutup rapat pintunya agar tidak dimasuki anak-anak dengan kebutuhan khusus. Beberapa lainnya menerima mereka namun tidak mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan dengan sungguh-sungguh. Padahal seharusnya pendidikan tidak  boleh membedakan siswa berdasarkan apa latar belakang mereka. Pendidikan harus bersifat terbuka bagi siapapun. Seperti puisi yang ditulis oleh Pak Halim seorang guru revolusioner dalam novel Bella, ia menyatakan "sekolah inklusi itu bukan impian, bagaimanapun kondisi anak kita tetap berhak sekolah dan hanya ada satu tes masuk sebuah sekolah yaitu tes denyut nadi. Mestinya semua sekolah menuju sekolah inklusi yaitu sekolah untuk semua."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun