Mohon tunggu...
muhammad ariana setiawan
muhammad ariana setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar

Bismilallhirrahmanirrahim ...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

KisahKu ....

29 September 2019   21:37 Diperbarui: 29 September 2019   21:50 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lukis senyum ku kala itu masih bersih dari kasat dan kusutnya hidup, beban pun tak dirasa sebagai kesulitan, tertawa sebahagia-bahagianya dan menangis sejadi-jadinya. Namun di umurku yang masih seumur jagung kala itu, aku sudah tak lagi bertatap muka dengan ayahku sendiri. Aku tak tau kenapa bisa seperti itu, dan aku pun tak pernah bertanya kenapa bisa seperti itu. Mungkin akalku kala itu masih terlalu suci untuk memikirkan dosa-dosa yang diperbuat insan manusia di dunia. Melihat keadaan seperti itu, orang-orang sering bertanya kepadaku "kemana ayahmu? Kenapa dia tak pernah pulang melihatmu? " tanya mereka seperti itu. Dan dengan kepolosan dan keluguan sikap yang kumiliki saat itu aku menjawab "tidak tahu". Aku tak pernah sedikit pun merasa malu ketika menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban tidak tahu, karena kala itu aku memang benar-benar tak tahu apa yang tengah ku alami.  Tak pernah terlintas dalam benak ku kala itu untuk mengingat seorang ayah, karena sedikit sekali kenangan yang bisa kuingat tentangnya. Sejak saat itu aku tumbuh dan berkembangan dalam kasih sayang seorang ibu, tanpa pernah mempermasalahkan keberadaan ayahku.

Masa kecilku berjalan sebagai mestinya, meski tak pernah ada sosok ayah menghiasi hari-hariku. Setiap hari ku terbangun oleh teriakan ibu yang tengah sibuk menyiapkan makanan untuk dijual di warungnya. Tanpa pernah ku menjawabnya, selepas adzan shubuh aku langsung bergegas menuju kamar mandi. Selepas mandi, sudah menjadi kebiasaan ku setiap hari untuk menghangatkan badan yang menggigil karena air di waktu shubuh yang begitu dingin, disamping ku ada seorang ibu yang sangat cekatan mnyiapkan segalnya, kadang ku merasa bersalah ketika melihatnya karena aku belum bisa membarikan apa-apa untuknya. Dengan tubuhnya yang seiring waktu terus melemah dan makin melemah, dia tak pernah menyerah unutk tetap menghidupi ku. Ingin rasa ku memeluknya, tapi tak pernah jua ku melakukannya, karena aku ingin terlihat kuat dihadapanya, ingin terlihat sebagai seorang laki-laki yang akan selalu ingin melindunginya, mencoba mengantikan peran seorang suami yang tealh lam hilang dalam hidupnya. "cepat ... waktu shubuh keburu habis hari sudah siang" kata ibu yang menyadarkan ku dari lamunan. Mendengar hal itu lalu ku bergegas melaksanakan perintahnya.

Masa kecilku penuh terisi dengan kenangan bermain, bercanda menghasilkan tawa bersama teman-teman ku kala itu. Bermain bola, bermain petak umpet dan sebagainya Yang semuanya hanya bisa berakhir ketika adzan maghrib mulai berkumandang, entah ibu entah ayah, mereka silih berganti memanggil-manggil anaknya. bergegas aku bersama teman-teman ku pergi pulang mengakhiri hari. Kadang ku dengar sedikit omelan keluar dari ayah dan ibu  dengan nada sedikit memarahi. Yang kata merkea kita kalo bermain tidak pernah ingat waktu dan kewajiban. Aku hanya bisa tersenyum mendengar hal tersebut, karena hanay aku satu-satunya yang tak pernah dimarahi jika ku pulang malam. Itulah hal yang belum pernah mengisi ruang kenangan dalam hidupku. Merasakan sensasi amarah oleh seorang ayah, yang sangat protect terhadap anaknya, selalu ingin yang terbaik untuk anaknya. Memang, kata kawanku, aku termasuk orang yang beruntung tak pernah kena marah seorang ayah, tapi saat itu aku hanya bisa tersenyum mendengar hal tersebut, karena yang terlintas dalam pikirku perpisahan antar ibu dan ayahku bukanlah sesuatu yang harus aku banggakan.
Waktu berlalu begitu cepat, dengan semua kenangan pahit dan manisnya. Kemudian tibalah masaku untuk bersekolah, aku duduk di kelas 1 B di sebuah Madrasah Ibtidaiyah dekat rumahku. Pukul 06.20 akus selalu berangkat bersama kakaku, berjalan menyusuri rel kereta yang di jam-jam tertentu masih beroprasi. 10 menit ku berjalan diatas batu rel kerta api. Kemudian sampailah aku ke sebuah sekolah yang tak terlalu besar dan tak terlalu kecil juga. Kemudian masuklah aku kedalam kelas baru yang akan ku gunakan sebagai tempat menimba ilmu selama di kelas satu. Begitu ramai orang dalam ruangan itu, dipenuhi oleh orang tua yang ingin mengantarkan anaknya belajar dihari pertama sekolahnya. "jangan banyak main, perhatikan kedepan jika gurumu sedang menerangkan pelajaran" ucap seorang ibu  emberi kan semangat, motivasi dan juga wejangan-wejangan agar anaknya belajar dengan sungguh-sungguh.  

Tapi lihatlah aku, duduk sendiri di kursi paling belakang dengan tas yang masih menempel di punggung kecilku ini, hanya bisa menatap dan merenung keaddan yang tengah aku alami. ketika kawan-kawan yang lain asik bercengkrama dengan orang-orang yang mengantar mereka, aku hanya bisa diam dan sesekali tersenyum bila ada yang menyapa. Suatu ketika salah seorang ibu yang mengantar anaknya bertanya padaku "kamu sendiri saja?" tanyanya. "iya" jawabku sambil tersenyum. aku pun kembali mengarahkan pandanganku kembali kedepan kelas, ibu-ibu yang bertanya kepadaku kemudian hanya menatap dan mengelus-elus kepala  anaknya. Kala itu aku tak tau apa maksud dari tatapan itu.

Yang seperti itu sudah menjadi hal biasa untukku, berjalan sendiri, duduk sendiri ketika ada acara apapun di sekolah atau di acara apapun itu. Tak pernah aku seperti yang lain, mengalami diantarkan menuju sekolah oleh orang tua, diberi kecupan di kening sebagai tanda cinta dan kasih sayang bahkan ketika aku berprestasi pun aku tak pernah menerima penghargaan apapun dari mereka. Sekedar ucapan selamat pun aku kira tak pernah terucap dari bibirnya.  

 Mungkin itu cara dia mendidik anaknya, dengan tidak pernah dimanja,tidak pernah dibangga-banggakan dengan harapan anaknya akan menjadi anak yang kuat dan mandiri dimasa depan, menjadi anak yang bisa mencari jati dirinya sendiri dan membuktikan bahwa ketidakadaan seorang ayah dalam hidup anaknya tidak membuat dia menjadi hancur tak tentu arah. karena ku percaya ketidak adaan nya seorang ayah dalam hidupku adalah cara allah agar ia terus mengingat anaknya ini dan senantiasa berkenanan mendoakan yang terbaik untuk anaknya.
TAMAT

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun