Siapa tidak tahu Freeport. Tak perlu lagi dijelaskan apa itu Freeport, bagaimana posisinya bagi Indonesia, termasuk kerumitan memposisikan diri terhadap Freeport baik secara politik maupun secara ekonomi. Siapapun presidennya pasti akan “kesulitan” menghadapi perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) itu. Dalam konteks menanggapi desakan lama agar publik agar Freeport bisa dinasionalisasi karena dianggap mengeruk kekayaan dari bumi Nusantara dengan sedikit keuntungan yang didapat bangsa ini.
Presiden Jokowi pun pasti tak lepas dari “kesulitan” itu. Namun setidaknya Jokowi secara perlahan meningkatkan posisi Indonesia terhadap Freeport. Intinya, keuntungan Indonesia dari eksplorasi Freeport di Timika, Papua harus meningkat secara drastis dulu. Hal itu terungkap dari pertemuan Jokowi dengan bos Freeport di Istana Presiden hari ini.
Permintaan khusus Jokowi
Jokowi hari ini menerima kunjungan Chairman of Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, Jim Bob Moffet. Dalam pertemuan yang berlangsung tertutup tersebut, Jokowi meminta agar Freeport mempercepat pembangunan ekonomi di Papua. Menteri ESDM Sudirman Said yang ikut mendampingi Jokowi mengungkapkan 3 arahan dan satu pesan khusus Jokowi untuk Freeport.
Pertama, keberadaan Freeport di Papua harus lebih mempercepat pembangunan dan perekonomian di Papua. Kedua, Jokowi meminta peningkatan penggunaan barang dalam negeri di Freeport, baik peralatan hingga tenaga kerja. Pihak Freeport merespon langsung dengan rencana membeli alat-alat berat dari Pindad dan juga membeli bahan peledak dari Pindad dan Dahana.
Arahan ketiga, Freeport diminta meningkatkan partisipasinya untuk membangun infrastruktur wilayah di wilayah operasi penambangannya. Secara spesifik Jokowi meminta Freeport agar PLTA Uru Muka di Kabupaten Mimika segera dimulai. PLTA tersebut kapasitasnya 1.000 megawatt. 400 MW di antaranya akan dimanfaatkan Freeport dan sisanya akan digunakan untuk masyarakat setempat.
Mengevaluasi Freeport di Papua
Pada kesempatan yang sama, bos Freeport juga menyatakan akan melanjutkan investasi sebesar Rp 234 Triliun di Indonesia. Kunjungan dan janji bos Freeport itu nampaknya sebagai bentuk “rayuan” di mana di sisi lain mereka sampai sekarang mengulur desakan untuk membangun smelter di Papua. Mereka bersikeras membangun smelter di Gresik, Jawa Timur.
Selain itu, sejak tahun 2014, di era Presiden SBY, telah dibuat peraturan pemerintah (PP) yang mendesak Freeport menyerahkan sebagian kepemilikannya terhadap pemerintah. Untuk diketahui, saat ini komposisi saham Freeport sebanyak 90,64 persen dikuasai oleh Freeport McMoran. Sementara itu, 9,36 persen merupakan saham milik pemerintah Indonesia.
Sesuai PP Nomor 77/2014 terkait perubahan ketiga PP 23/2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Freeport diwajibkan melepaskan saham dengan total 30 persen kepada kepemilikan nasional. Jadi, masih ada 20,64 persen saham yang harus didivestasikan Freeport ke kepemilikan nasional.
Pemerintahan Jokowi harus mewujudkan amanah PP tersebut. Sementara itu, menunggu waktu proses negosiasi, setidaknya Jokowi harus meningkatkan posisi Indonesia terhadap Freeport, dan itu sudah sedikit banyak dilakukan Jokowi.