Mohon tunggu...
Aqib Muhammad Kh
Aqib Muhammad Kh Mohon Tunggu... Penulis - Santri Pesantren Kreatif Baitul Kilmah

Nafasku adalah bara api yang memacu semangat untuk tidak sekarat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kulluna 'ibadun (Kita Semua Adalah Hamba)

17 September 2022   00:26 Diperbarui: 17 September 2022   00:29 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menyadari kemanusiaan adalah sadar paling esensial dari setiap manusia. Itulah sebabnya adagium mengatakan: "Man 'arafa nafasahu faqod 'arofa rabbahu." (Siapa yang mengetahui dirinya, maka mengetahui Tuhannya). Salah satu jalan menuju pengetahuan diri adalah menyadari kemanusiaan; bagaimana perasaan kita sebagai manusia bila orang lain memerlakukan kita. Jadi, misalnya, bila didamprat dan dipisuhi oleh salah seorang teman kita marah, hal paling fundamental adalah kita tidak marah agar kita tidak dimarahi orang lain. Itu sekadar contoh. Contoh-contoh yang lain bisa anda jabarkan jenterakan sendiri.

Maka awwalul makrifah alfikrah wal ibrah, permulaan makrifat adalah (mengunakan) pikiran dan mengambil pelajaran (dari segala yang dirasa, baik mendengar maupun melihat). Tetapi -pepatah- ini tidak bisa diimplementasikan pada nikmat. Misalnya, saya selalu melihat nikmat orang lain untuk saya bandingkan dengan nikmat saya. Itu fatal. Membuat hati kita semakin tidak terima dan sulit mensyukuri nikmat kita.

Saya juga tidak tahu bagaimana kapasitas diri saya ketika diberi nikmat seperti nikmat orang yang saya bandingkan dengan saya. Hidup ini tentang syukur. Ketika anda menaiki sepeda motor memandang orang mengemudi mobil bahwa orang itu pastilah lebih enak dan nyaman hidupnya melebihi anda, maka mungkin saja, dan boeh jadi, pengemudi mobil memandang anda sebagai orang yang lebih nikmat hidupnya dengan alasan kesibukan, misalnya. Si pengemudi mobil memandang anda adalah orang yang tidak seberapa sibuk terpekur dengan dokumen-dokumen, deadline-deadline, sementara dia sibuk amat.

Jadi keparadoksikalan itulah yang harus kita pelajari dan sadari, Kawan. Saya juga adalah orang yang masih sangat tertaih-tatih dan ngesot-ngesot untuk menyadari itu. Dan yang menggaung di kepala saya hingga saat ini adalah: Takdir terus berjalan sebagaimana waktu, tanpa jeda dan cuti. Tinggal hati kita yang mengatur nikmat tidaknya ia (takdir) dalam hidup. Saya juga menyadari bagaimana ia kadang-kadang menjengkelkan dan sangat tidak menyenangkan. Tetapi bagaimanapun takdir menghadapimu, Kawan, apakah ia akan berkata kepadamu tentang nikmat dan tidaknya? 

Untuk merasakan takdir adalah keputusan dan ketetapan Tuhan untuk kita adalah mencari hikmahnya. Semoga senantiasa kita merasakan bahwa takdir selalu yang terbaik. Semoga senantiasa hati kita legawa dan neriman. Perihal sedih, sumpek, galau, adalah bumbu untuk menuju sukses, Kawan. Mana ada cita-cita tanpa kepedihan dan penderitaan? Semua butuh perjuangan. Ingatkah kalian kata-kata bahwa semua yang hidup pasti merasakan susah. 

Tergantung bagaimana hati kita menyikapi semuanya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun