Tahun 2025 menjadi symbol kemajuan dari tatanan tradisional menuju kepada rasional. Tradisional awal mulanya hanya berkutat terhadap budaya budaya konvensional namun di tahun 2025 sekarang sudah berkembang dengan begitu cepat kreatifitas inovasi tanpa batas apalagi dengan adanya teknologi yang berkembang begitu pesat seakan akan mempercepat siklus kehidupan manusia, namun tanpa kita sadari ada fenomena lain yang tak kalah kita renungkan (Kontemplasi) yaitu hilangnya Rasa, baik secara harfiah ataupun metaforis di tahun ini " Mati Rasa" menjadi metafora besar yang terjebak dalam Pragmatisme tanpa kepekaan, kehilangan koneksi dengan nilai nilai esensial yang seharusnya menjadi dasar kehidupan. Dan yang selebih fenomenal dari tahun 2025 adalah manusia mulai terjebak dalam kehidupan Simulakra yang menghilangkan Kultur Sosial (Jean Baudrillard).
Mati rasa dalam kehidupan Sosial salah satunya ketika Masyarakat sudah kehilangan jati dirinya seperti sudah tidak mengenal dan memahami kultur sosial yang seharusnya di kembangkan dan di perbaiki, seperti membangun hubungan harmonisasi sosial dan menghilangkan domistikme dan estetika hipotesis sederhana merepresentasikan kehidupan sosial manusia di tahun 2024-2025 terjebak kepada domistikme dan estetika Dimana manusia secara mayoritas sudah tidak mengenal persatuan Indonesia ( Pancasila Ke 3) di karenakan kehidupan sosial yang terjadi lebih mengedepankan Pragmatisme dan materialistik dari pada bercengkrama dengan orang orang di pinggir jalan yang sedang kelaparan. Sehingga dari hal sederhana itu kultur yang memaksakan kita harus membangun keharmonisan kini suda mulai terkikis dan hampir hilang.
Ironinya ditengah Tengah tahun manusia sudah mulai mati datanglah benda yang terkenal juru selamat yaitu : Teknologi atau Digital yang seolah olah datang membawa pancaran sinar Cahaya yang terang ketika gelap datang, tanpa kita sadari bahwa kita terotomatisasi, empati kita mulai terkikis oleh media sosial tersebut (Teknologi) yang awal dalilnya menjadi sarana untuk mempererat hubungan, kini berubah menjadi panggung narsisme dan ajang kompetisi pencitraan seperti orang peduli terhadap jumlah "Like" dan " Komen" serta " Share, di balik makna komunikasi yang di bangun.Â
Dari pelbagai hal demikian tidak salah jikalau lingkungan sosial refresif kepada kehidupan kita karena kultur yang dulu dibangun oleh nenek moyang kita suda mulai terkikis dan hilang secara perlahan dengan adanya narsisme dan pencitraan oleh media sosial.Â
Sedangkan mati rasa terhadap lingkungan sosial tidak melulu persoalan digitalisasi dan teknologi namun itu disebabkan oleh modernisasi yang terus berlari cepat sehingga menciptakan jarak antara manusia dan alam, di tahun 2025, krisis lingkungan menjadi sebab mati rasa manusia terhadap lingkungan, Dimana modernisasi seolah olah memiliki hak prerogatif untuk melakukan hal hal yang sewarna wena yaitu seperti nebang Pohon, lautan di cemari sehingga berdampak kepada udara yang awalnya menciptakan ke asrian dan kesejukan sekarang di tahun 2025 udara sudah mulai tercemar dengan polusi yang di buat oleh orang orang modernisasi.
Tidak kalah fenomenal lagi adalah selain mati rasa terhadap lingkungan sosial yaitu kehilangan rasa terhadap hal hala kecil, seperti tawa Bersama keluarga, waktu tenang Bersama diri sendiri atau menikmati ke indahan alam, dari hilangnya hal hal kecil ini kita suda dapat menyimpulkan bahwa kehidupan manusia di tahun 2025 sudah terobsesi dengan kesempurnaan buatan, hidup menjadi serba instan tetapi kehilangan esensi kehidupan.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H