Amerika Serikat mengambil keputusan besar, getarannya terasa ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Kemenangan Donald Trump sebagai presiden AS memicu pertanyaan besar: bagaimana kebijakan "America First" dan proteksionisme ekonomi yang ia usung akan memengaruhi negara-negara berkembang, seperti Indonesia? Berbeda dari pendekatan presiden-presiden sebelumnya, Trump memperkenalkan strategi ekonomi yang berfokus pada keuntungan domestik AS. Kebijakan perdagangan yang lebih ketat, pembatasan investasi asing, serta aturan imigrasi yang diperketat membawa dampak luas yang tidak dapat diabaikan. Meskipun tampaknya dirancang untuk memperkuat ekonomi AS, kebijakan-kebijakan ini juga berpotensi mempengaruhi stabilitas dan daya saing ekonomi Indonesia.
Setiap kaliSalah satu langkah utama yang diambil Trump adalah menaikkan tarif impor untuk memperkuat industri dalam negeri AS. Kebijakan ini, meskipun tidak langsung menargetkan Indonesia, tetap berdampak pada beberapa sektor penting dalam perekonomian kita. Data dari Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa ekspor Indonesia ke AS didominasi oleh tekstil, alas kaki, elektronik, dan produk agrikultur—komoditas yang terdampak langsung oleh kebijakan proteksionisme AS. Pada 2018, nilai ekspor Indonesia ke AS mencapai USD 18,5 miliar, namun kebijakan tarif AS membuat produk-produk ini menjadi kurang kompetitif di pasar AS. Jika tidak segera disiasati, penurunan daya saing ini dapat mempengaruhi sektor tenaga kerja, terutama di industri yang sangat bergantung pada ekspor ke AS.
Selain tarif impor, Trump berjanji untuk mengembalikan investasi asing langsung (FDI) ke AS agar dapat menciptakan lapangan kerja baru. Kebijakan ini berdampak signifikan pada aliran modal yang sebelumnya dialokasikan ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Amerika Serikat termasuk dalam sepuluh besar sumber investasi asing di Indonesia. Namun, dorongan Trump untuk membawa FDI kembali ke dalam negeri membuat sektor-sektor di Indonesia, seperti teknologi, manufaktur, dan pertambangan, menghadapi penurunan investasi. Hal ini tak hanya memperlambat pertumbuhan sektor-sektor tersebut, tetapi juga menambah tantangan dalam pembiayaan infrastruktur, yang sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing ekonomi kita.
Kebijakan imigrasi Trump yang semakin ketat juga memiliki dampak langsung terhadap pekerja migran Indonesia di AS. Remitansi atau kiriman uang dari pekerja migran ini merupakan salah satu sumber devisa penting bagi Indonesia. Data dari Bank Dunia mencatat bahwa Indonesia menerima remitansi dari berbagai negara, termasuk AS. Ketatnya pembatasan imigrasi membuat jumlah pekerja Indonesia yang diizinkan bekerja di AS menurun, yang secara langsung mengurangi aliran dana ke tanah air. Bagi banyak keluarga di Indonesia, terutama di daerah yang bergantung pada remitansi, dana ini menjadi sumber penghasilan utama untuk kebutuhan sehari-hari. Penurunan aliran remitansi ini berdampak langsung pada daya beli masyarakat di daerah-daerah tersebut, sehingga mempengaruhi ekonomi mikro secara keseluruhan.
Salah satu kebijakan yang berdampak signifikan terhadap stabilitas pasar keuangan global adalah kenaikan suku bunga oleh The Federal Reserve di bawah kepemimpinan Trump. Kenaikan ini membuat aset-aset di negara berkembang, termasuk Indonesia, kurang menarik bagi investor asing, sehingga mendorong aliran modal keluar. Aliran keluar modal ini memberikan tekanan pada nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, yang berdampak pada peningkatan biaya impor barang-barang pokok di Indonesia. Depresiasi rupiah juga meningkatkan beban pinjaman internasional yang harus ditanggung pemerintah untuk pembiayaan proyek pembangunan. Efek domino ini berdampak pada inflasi domestik dan stabilitas ekonomi nasional, mengingat banyak barang impor menjadi lebih mahal bagi masyarakat.
Kebijakan ekonomi di bawah pemerintahan Donald Trump jelas menghadirkan tantangan yang kompleks bagi Indonesia. Namun, dalam setiap tantangan juga terdapat peluang. Pemerintah Indonesia dapat memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat ketahanan ekonomi dalam negeri melalui diversifikasi pasar dan kerjasama regional yang lebih dalam, serta mempercepat pembangunan sektor-sektor strategis untuk mengurangi ketergantungan pada AS. Salah satu langkah penting yang bisa diambil adalah memperluas pasar ekspor ke negara-negara Asia dan Eropa serta mengoptimalkan pasar domestik untuk produk-produk yang sebelumnya bergantung pada pasar AS. Selain itu, stabilitas nilai rupiah juga menjadi prioritas utama yang memerlukan dukungan dari kebijakan moneter yang tepat agar perekonomian tetap stabil.
Di tengah ketidakpastian global, adaptasi dan fleksibilitas menjadi kunci keberhasilan. Dengan memperkuat pilar ekonomi domestik dan menjalin hubungan dagang yang berkelanjutan, Indonesia dapat mempertahankan pertumbuhan ekonominya di tengah tantangan yang ditimbulkan oleh kebijakan AS. Masa depan ekonomi Indonesia bergantung pada kemampuan negara ini untuk merespons perubahan global dengan cermat, memanfaatkan peluang, dan menjaga stabilitas demi kesejahteraan seluruh masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H