Mohon tunggu...
Alvian Firdaus
Alvian Firdaus Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Malang

Membaca Adalah Melawan dan Menulis Adalah Menciptakan Perubahan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Meninjau Kembali Kebebasan Pers di Indonesia

21 Juni 2021   19:15 Diperbarui: 21 Juni 2021   19:18 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di era modern seperti saat ini keterbukaan informasi adalah sebuah keniscayaan, setiap orang bahkan mampu mengakses berita ataupun informasi kapan pun, di mana pun, dan melalui media apa pun secara real time bahkan melalui gadget yang mereka miliki, banyak sekali informasi yang berserakan dan mudah dicari baik di media-media konvensional seperti koran, majalah, televisi maupun radio dan bahkan melalui media sosial terlepas dari kualitas berita ataupun informasi yang ada. Pers dan media sendiri selain memiliki peran sebagai media informasi, media pendidikan, dan media hiburan juga memiliki peran yang cukup krusial yaitu perannya sebagai kontrol sosial, peran-peran pers atau media ini juga tercantum pada Undang Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Dalam pasal 2 butir 1 dan 2 disebutkan bahwa: “(1) Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. (2) Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.”

Fungsi pers sebagai kontrol sosial sendiri memiliki makna pers menjadi pengawas terhadap apa pun yang dilakukan oleh pemerintah dengan kata lain di sini pers menjadi perpanjangan tangan rakyat atau masyarakat untuk mengkontrol langkah atau tindakan apa pun yang dilakukan oleh pemerintah sehingga fungsi Check and balancies disini dapat terjadi. Pemerintah menjadi lebih terkontrol dengan adanya pers atau media, dan rakyat sebagai pemberi kekuasaan dan sekaligus sebagai pengawas atas kekuasaan tersebut juga dapat menjalankan perannya melalui pers. Dalam iklim kehidupan demokrasi sendiri kebebasan berpendapat juga dilindungi, hal ini bermakna pula bahwa pers ataupun media dalam kehidupan demokrasi juga mendapatkan ruang dan kebebasan, PBB atau Perserikatan Bangsa Bangsa sendiri melalui Universal Declaration of Human Rights dalam Pasal 19 tertulis “Bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah)”. 

 

Selain jaminan yang diberikan oleh PBB melalui deklarasi UNHCR, di Indonesia sendiri juga terdapat jaminan dan perlindungan hukum mengenai kebebasan berkumpul dan berpendapat, hal ini tertuang dalam UUD 1945 (Setelah Amandemen Tahun 1999) Pasal 28-E ayat 3 yang menegaskan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Selain itu Pasal 4 ayat 1 dan 2 dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjelaskan “bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara dan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran”.

Melalui berbagai macam ketentuan perundang-undangan di atas negara mencoba semaksimal mungkin melakukan perlindungan terhadap kebebasan berpendapat, namun pertanyaannya saat ini sudahkah niat mulia negara untuk melindungi pers dan media sebagai kontrol sosial dan juga sekaligus sebagai pilar ke empat dari demokrasi dengan berbagai macam upaya yang dilakukannya sudah tercapai?

Kebebasan pers menjadi salah satu pilar penting demi tegaknya demokrasi, di Indonesia sendiri kebebasan pers sudah diatur dan pers, media, dan jurnalis juga mendapatkan perlindungan dari Undang-undang, namun tampaknya kebebasan pers masih jauh panggang dari api masih banyak ditemukan di lapangan kasus-kasus pelanggaran terhadap pers dan juga kekerasan terhadap jurnalis menurut laporan dari Aliansi Jurnalis Independen atau AJI sepanjang Mei 2020 hingga Mei 2021 setidaknya ada sembilan puluh kasus pelanggaran terhadap kebebasan pers dan juga ancaman terhadap jurnalis, belum lagi kasus-kasus yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Pelaku kekerasan pun beragam, mulai dari advokat, jaksa, pejabat, polisi, satpol PP, aparat pemda, dan juga masih banyak lagi pelaku dari oknum-oknum yang tidak dikenal, hal ini tentu sangat disayangkan di mana negara sudah berusaha untuk menjamin kemerdekaan atau kebebasan terhadap pers, media, dan juga jurnalis namun implementasinya di lapangan masih sangat minim sekali. Oknum pelaku yang terbanyak menurut laporan dari organisasi profesi jurnalis ini adalah dari pihak kepolisian di mana tujuh puluh persen dari pelaku kekerasan dan pelanggaran terhadap kebebasan pers dan jurnalis ini adalah polisi, hal ini tentu sangat disayangkan sekali di mana mestinya polisi sebagai aparat penegak hukum harusnya memberikan perlindungan kepada para jurnalis sesuai dengan amanat dari undang-undang, tetapi mereka juga adalah pelaku kekerasan yang terbanyak bahkan, sangat miris sekali.

Salah satu kasus pelanggaran terhadap kebebasan pers dan juga kekerasan terhadap jurnalis yang masih baru adalah kasus kekerasan terhadap jurnalis Tempo pada 28 Maret 2021, Nurhadi seorang jurnalis Tempo mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan ketika sedang melakukan tugas jurnalistik di Surabaya, kekerasan terjadi saat Nurhadi hendak meminta konfirmasi kepada mantan Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Angin Prayitno Aji. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya sudah menyatakan Angin sebagai tersangka dalam kasus suap pajak. Nurhadi dituduh masuk ke acara pernikahan Angin dengan tanpa izin, walaupun dia sudah menjelaskan bahwa dia adalah seorang jurnalis Tempo dan sedang menjalankan tugas jurnalistik, tetapi walaupun sudah memberikan penjelasan pengawal dari Angin tetap merampas telepon genggam dari Nurhadi dan mengecek isi dari telepon genggamnya, selain dilanggar privasinya, Nurhadi juga mendapatkan kekerasan fisik seperti ditampar, dipukul, dan juga ditendang di beberapa bagian tubuhnya, selain itu untuk mencegah Nurhadi menyiarkan hasil liputannya dia juga disekap selama dua jam. Terjadinya hal ini tentu sangat disayangkan dan menambah rentetan panjang catatan kelam tentang buruknya kebebasan pers dan perlindungan terhadap jurnalis di Indonesia.

Selain Nurhadi pelanggaran terhadap kebebasan pers dan juga kekerasan terhadap jurnalis juga menimpa Yasmin Balli jurnalis dari malukunews.com, Yionli jurnalis dari terasmaluku.com, serta Mosses Rutumalesi jurnalis dari nusaleaksnews.com pelanggaran kebebasan pers dan kekerasan terhadap jurnalis kali ini dilakukan oleh Moh. Yasin Payopo Bupati Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Yassin bahkan melarang kegiatan jurnalistik dilakukan di lingkungan kantornya dan tidak lama setelah kejadian tersebut seorang jurnalis dari liputan6.com bernama Akbar Fua yang bertugas di Kota Kendari juga mendapatkan kekerasan yaitu berupa doxxing atau penyebaran data pribadinya kepada publik oleh oknum yang tidak dikenal, hal ini dia dapatkan setelah menulis sebuah berita yang berjudul Mencari Keadilan Ratusan Orang Duduki Polres Konawe Sambil Pamer Parang. 

Kasus-kasus pelanggaran kebebasan pers dan juga kekerasan terhadap jurnalis tentu sangat disayangkan dan juga sangat memalukan. Tak ayal bahwa hal ini mempengaruhi turunnya Indeks Demokrasi Indonesia, pada tahun 2020 menurut laporan dari The Economist Intellegence Unit (EIU) Indeks Demokrasi Indonesia menurun dari 6,48 menjadi 6,3 walaupun masih di peringkat yang sama dengan tahun sebelumnya yaitu di peringkat ke-64 tetapi penurunan skor tersebut tetap patut menjadi sorotan tentang bagaimana implementasi dan pelaksanaan demokrasi di Indonesia, Indeks Demokrasi Indonesia di kawasan Asia Tenggara bahkan berada di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina miris tentunya. Disadari maupun tidak kebebasan sipil yang di dalamnya terdapat kebebasan pers juga menjadi indikator tentang implementasi dan pelaksanaan demokrasi di Indonesia, kebebasan pers dan juga perlindungan terhadap jurnalis pasti juga akan memberikan dampak positif terhadap jalannya demokrasi di Indonesia dan dampaknya Indeks Demokrasi kita juga akan meningkat, harapan kami tentunya ke depan hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi dan negara kita menjadi negara yang lebih demokratis juga lebih ramah terhadap pers juga jurnalis.

Banyaknya kasus pelanggaran terhadap kebebasan pers dan juga ancaman kekerasan terhadap jurnalis tentu menimbulkan pertanyaan, mengapa hal itu bisa terjadi, padahal negara dengan segala instrumen aturan yang ada sudah mencoba untuk melindungi kebebasan pers dan juga jurnalis. Menurut kami pemahaman terhadap aturan perundang-undangan dan kesadaran hukum khususnya mengenai kebebasan pers oleh masyarakat dan aparat masih sangat rendah sehingga memunculkan persekusi dan ancaman kekerasan terhadap pers dan juga jurnalis, kesadaran hukum juga pemahaman terhadap aturan perundang-undangan khususnya mengenai kebebasan pers menjadi sangat penting baik itu untuk masyarakat, aparat penegak hukum, hingga pejabat pemerintah sehingga iklim demokrasi di negara kita semakin akan baik ke depannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun