MENELUSURI KRITIK TAJAM IMAM GHAZALI TERHADAP FILSAFAT
Imam Ghazali adalah salah satu tokoh besar dalam sejarah intelektual Islam yang pemikirannya sangat berpengaruh hingga saat ini. Dalam salah satu karyanya yang paling terkenal, Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof), ia secara tajam mengkritik gagasan-gagasan filosofis yang berkembang di masanya, terutama yang diajukan oleh filosof Muslim seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina. Kritik ini muncul dari keyakinan Imam Ghazali bahwa beberapa pandangan filosofis, khususnya dalam ranah metafisika, kosmologi, dan konsep ketuhanan, bertentangan dengan ajaran Islam.
Bagi Imam Ghazali, filsafat sering kali menggunakan akal secara berlebihan hingga melampaui batas yang seharusnya. Ia melihat bahwa upaya para filosof untuk menjelaskan segala sesuatu secara rasional terkadang malah merusak inti keimanan. Salah satu kritiknya yang paling terkenal adalah pandangannya bahwa akal manusia tidak cukup untuk memahami segala aspek kebenaran, terutama dalam hal yang bersifat ghaib atau transendental, yang hanya dapat dijelaskan melalui wahyu.
Melalui kritiknya, Imam Ghazali ingin menegaskan bahwa teologi Islam (ilmu kalam) memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan filsafat dalam menjelaskan kebenaran. Pendekatannya ini menjadi landasan bagi banyak pemikir Islam setelahnya, sekaligus memicu diskusi panjang antara pendukung filsafat dan teologi. Artikel ini akan membahas secara lebih mendalam latar belakang kritik Imam Ghazali, poin-poin utama yang ia ajukan, serta bagaimana kritik tersebut memengaruhi perkembangan pemikiran Islam hingga hari ini.
Menurut al-Ghazali, para filsuf masa itu telah menyingkirkan ajaran-ajaran agama, terutama prinsip dasar agama. Al-Ghazali berkata "Setelah itu, sungguh saya telah melihat sekelompok orang yang merasa diri lebih terhormat dari orang lain karena kecerdasannya, tidak mengakui ibadah-ibadah yang ditetapkan Islam, melecahkan syi'ar-syi'ar agama seperti shalat dan menjauhi segala larangan dan juga menghina ketentuan-ketentun yang ditetapkan syari'at. Tidak hanya sampai di situ, mereka juga membuang seluruh dasar-dasar ajaran agama dan menggantinya degan pengetahuan-pengetahuan. Yang didasarkan pada praduga semata serta mengikuti orang-orang yang menyimpang dari jalan Allah.
Dalam karya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf), Al-Ghazali mengkritik berbagai gagasan filsafat, khususnya yang dipengaruhi oleh filsuf Yunani kuno seperti Aristoteles. Buku ini merupakan respons terhadap tradisi Aristotelian yang berkembang di dunia Islam, dengan beberapa poin utama yang menjadi fokus kritiknya.
 1. Hubungan Sebab-Akibat dan Kehendak Tuhan
Al-Ghazali menolak pandangan Aristoteles tentang hubungan sebab-akibat yang bersifat niscaya. Menurutnya, hubungan sebab-akibat tidak terjadi secara otomatis atau inheren dalam objek, tetapi sepenuhnya bergantung pada kehendak Allah. Ia menegaskan bahwa Tuhan adalah penyebab utama segala sesuatu, sehingga hukum alam yang teramati hanyalah manifestasi dari kehendak-Nya, bukan sesuatu yang bersifat independen. Dalam pandangan ini, Tuhan memiliki kebebasan mutlak untuk menghasilkan efek apa pun tanpa memerlukan sebab tertentu, menentang gagasan deterministik yang dikemukakan oleh para filsuf.
 2. Penolakan atas Pengingkaran Kebangkitan Jasmani
Al-Ghazali juga mengkritik filsuf-filsuf yang menolak konsep kebangkitan jasmani. Baginya, pandangan ini tidak sesuai dengan ajaran Islam yang meyakini bahwa tubuh dan jiwa akan dibangkitkan pada hari kiamat. Ia menuduh para filsuf salah memahami hakikat jiwa, dengan menggambarkan jiwa sebagai entitas yang sepenuhnya spiritual, tanpa mempertimbangkan hubungannya dengan tubuh. Menurut Al-Ghazali, kepercayaan pada kebangkitan jasmani merupakan elemen penting dari keyakinan agama.