Mohon tunggu...
Muhammad Ali Junaidi
Muhammad Ali Junaidi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang Mahasiswa S1 Ekonomi Syariah di Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris

Oi! Saya Muhammad Ali Junaidi, sehari-hari saya sibuk bermain musik, membaca buku, dan menulis. Musik biar hati senang, baca biar otak nggak kosong, dan menulis? Biar kelihatan pintar (meski kadang lebih pintar gaya daripada isi). Kepribadian saya? Ya, biasa-biasa saja, tidak serumit persamaan diferensial. Tapi kalau soal topik favorit, saya suka yang berat-berat boskuu. Ekonomi, hukum, filsafat, teknologi, dan tentu saja, musik. Katanya, hidup jangan terlalu serius, tapi buat saya diskusi-diskusi berat ini lebih seru daripada drama sinetron. Terima kasih sudah mampir! Jangan sungkan kalau mau diskusi serius, atau sekadar ketawa-ketiwi baca tulisan saya. Mari berbagi inspirasi dan (sedikit) pusing bersama.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Islam dalam Kerangka Nihilisme Kapitalis: Kritik Ontologis terhadap Kebebasan Ekonomi dan Ketidakterbatasan Hasrat

9 November 2024   01:27 Diperbarui: 9 November 2024   01:27 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di tengah derasnya arus kapitalisme modern, kita melihat nilai kebebasan ekonomi diupayakan hingga ke titik ekstrim yang mengarah pada nihilisme, di mana kepuasan hasrat material menjadi tujuan utama kehidupan. Kapitalisme kontemporer mendorong manusia untuk memaksimalkan kebebasan ekonominya tanpa batas, sering kali tanpa memperhitungkan dampak sosial, ekologis, maupun moral. 

Namun, dalam pandangan Islam, kebebasan semacam ini justru dapat menciptakan kekosongan makna, merusak tatanan sosial, dan mengancam kesejahteraan yang sebenarnya. Islam hadir menawarkan nilai-nilai ekonomi yang mampu melawan bentuk nihilisme kapitalis ini, dengan sebuah kritik ontologis yang mempertanyakan akar dari kebebasan ekonomi dan ketidakterbatasan hasrat.

Kapitalisme dan Nihilisme: Mencari Makna di Balik Kebebasan Ekonomi

Kapitalisme menjunjung tinggi kebebasan individu dalam memperoleh dan mengalokasikan sumber daya ekonomi. Dalam kapitalisme, manusia didorong untuk mengejar keuntungan dan memenuhi hasrat konsumtif tanpa henti, sebuah pendekatan yang dapat menimbulkan kekosongan makna. 

Ketika kebebasan ini dijalankan tanpa batas, nilai-nilai moral dan sosial cenderung memudar, dan yang tersisa adalah pengejaran hedonistik akan kepuasan pribadi. Inilah yang sering disebut sebagai "nihilisme kapitalis", di mana tujuan ekonomi tidak lagi mengacu pada kesejahteraan kolektif atau keberlanjutan, melainkan pada akumulasi kekayaan tanpa akhir.

Konsep ini secara ontologis bertentangan dengan prinsip Islam, yang memandang kehidupan manusia sebagai jalan menuju keberkahan, keadilan, dan keseimbangan. Dalam nihilisme kapitalis, kebebasan dan akumulasi menjadi nilai tertinggi, sementara Islam memandang kebebasan ekonomi sebagai sarana, bukan tujuan, untuk mencapai keridhaan Allah dan kesejahteraan sosial. 

Kapitalisme yang tidak terkendali pada akhirnya berujung pada krisis lingkungan, kesenjangan sosial yang akut, dan dehumanisasi ekonomi, mengikis nilai kemanusiaan demi nilai materi.

Islam sebagai Kritik Ontologis terhadap Kapitalisme

Islam mengajarkan keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan material dan spiritual manusia. Dalam pandangan Islam, manusia adalah wakil (khalifah) di muka bumi yang memiliki tanggung jawab sosial dan moral untuk menjaga keseimbangan hidup, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk masyarakat dan alam semesta. 

Dalam konsep ekonomi Islam, terdapat prinsip-prinsip dasar seperti keadilan ('adl), keseimbangan (mizan), dan penghindaran terhadap eksploitasi berlebihan (zulm). Ini adalah bentuk kritik ontologis terhadap kapitalisme yang nihilistik, yang mengabaikan keseimbangan dan batas moral.

Ekonomi Islam mendorong praktik seperti zakat, sedekah, dan larangan riba untuk menjaga agar sumber daya ekonomi terdistribusi dengan adil. Berbeda dengan kapitalisme yang cenderung individualistis, ekonomi Islam menekankan aspek kolektif yang mengedepankan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. 

Zakat, misalnya, adalah instrumen untuk menyalurkan sebagian kekayaan kepada mereka yang membutuhkan, menghindari akumulasi kekayaan pada segelintir individu, dan memastikan bahwa kekayaan berputar dalam perekonomian.

Hasrat dan Pengendalian Diri dalam Perspektif Ekonomi Islam

Dalam kapitalisme, hasrat individu untuk mengonsumsi dan menumpuk kekayaan sering kali dianggap sah-sah saja, bahkan didorong sebagai bagian dari kebebasan ekonomi. Namun, dalam Islam, hasrat yang tak terbatas dianggap sebagai salah satu ancaman bagi keberlanjutan hidup yang seimbang. 

Manusia, dalam pandangan Islam, memiliki naluri dan kebutuhan, tetapi juga diwajibkan untuk mengendalikan diri agar tidak terjerumus pada eksploitasi tanpa batas. Islam mengajarkan konsep qana'ah (kepuasan diri) dan zuhud (sikap menahan diri dari kemewahan duniawi) sebagai bentuk pengendalian diri untuk tidak terjebak dalam hasrat material yang berlebihan.

Nilai ini bertolak belakang dengan kapitalisme, di mana hasrat dianggap sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Kapitalisme memfasilitasi pemenuhan hasrat secara maksimal tanpa mempertimbangkan dampak moral atau sosialnya. Dalam konteks ini, Islam memberikan kritik ontologis terhadap eksploitasi hasrat yang tak terkendali, mengingatkan bahwa kesejahteraan sejati tidak ditemukan dalam kepemilikan materi, melainkan dalam kedekatan dengan Tuhan dan keseimbangan hidup.

Menyongsong Ekonomi dengan Nilai Ketuhanan

Menggagas sistem ekonomi yang tidak terjebak dalam nihilisme kapitalis memerlukan pendekatan baru yang mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dan moral dalam kehidupan ekonomi. Ekonomi Islam menempatkan nilai-nilai ketuhanan sebagai landasan utama yang mengarahkan aktivitas ekonomi untuk mencapai kesejahteraan yang berkelanjutan. 

Sebagai sistem yang menyelaraskan antara tujuan ekonomi dengan nilai-nilai ketuhanan, Islam menuntut agar setiap bentuk usaha atau keuntungan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip moral.

Islam tidak menolak kebebasan ekonomi, tetapi membatasinya agar tetap berada dalam koridor yang sesuai dengan tujuan kehidupan manusia sebagai makhluk Tuhan. Dengan adanya batasan ini, Islam mengharapkan bahwa aktivitas ekonomi dapat menjadi sarana untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki, bukan sekadar pencapaian materi yang tak bermakna. Ekonomi yang berlandaskan nilai ketuhanan ini menjadi jawaban atas nihilisme kapitalis yang hanya menjadikan manusia sebagai alat bagi kepuasan hasrat tanpa akhir.

Penutup: Membangun Kembali Arsitektur Ekonomi yang Berkeadilan

Nihilisme kapitalis telah membawa manusia pada kesenjangan yang parah, perusakan alam yang tak terkendali, dan kekosongan makna hidup. Dengan menawarkan kritik ontologis, Islam berusaha merombak arsitektur ekonomi ini untuk menjadi lebih adil, manusiawi, dan seimbang. 

Islam tidak hanya menawarkan aturan ekonomi yang kaku, tetapi menanamkan nilai-nilai yang menuntun manusia pada kesejahteraan sejati. Ekonomi Islam memberikan batasan dan arah yang jelas agar kebebasan ekonomi dapat dijalankan tanpa kehilangan makna hidup yang sebenarnya.

Dalam dunia yang semakin materialistis, ekonomi Islam adalah bentuk perlawanan ontologis yang mendalam terhadap kapitalisme nihilistik, mengingatkan bahwa kesejahteraan tidak hanya diukur dari materi, tetapi juga dari kedekatan kita pada nilai-nilai ilahi yang abadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun