Menurut Ibnu Taimiyah menyebutkan tauhidnya merupakan tauhid ibadah. Maksudnya, tauhid Uluhiyah menjadi pondasi awal bertauhid. Karena daripadanya mengandung makna tauhid rububiyah sebagai aplikasi dari tauhid ibadah. Tauhid Ibadah yang dimaksud adalah pemurnian hati untuk melakukan ibadah hanya untuk Allah yang tidak ada sekutu baginya. Hal ini sama dengan mengEsakan Allah. Keesaan Allah penting dikaji untuk mendapatkan definisi yang benar. Kata tauhid (Keesaan Allah) secara lafadz tidak tertulis dalam Al-Quran. Akan tetapi dalam hadist Rasulullah Saw disampaikan perintah berdakwah kepada Ahlul Kitab untuk bertauhid kepada Allah.[1] Dari Penjelasan diatas, dapat dipahami bahwasanya tauhid merupakan keyakinan seseorang atas apa yang bersumber dari Allah. Baik dari nama nama Allah, sifat sifat-Nya. Sehingga setelah memahami dan mengesakan Allah akan hadir dari orang tersebut sesuatu kebaikan berupa sikap, perbuatan dan tingkah laku yang baik. Mengesakan Allah atau meyakini Allah terbagi beberapa bagian jenis ketauhidan. Adapun klasifikasi tauhid sebagai berikut :
Â
Yang Pertama, Tauhid Uluhiyah, Ibnu Taimiyah mendefinisikan tauhid Uluhiyah dengan sangat eksplisit. Menurutnya "tauhid Uluhiyah yang diyakini manusia dan beberapa ulama tidak cukup menjadi jaminan kebenaran aqidah seseorang". Artinya, manusia akan beribadah kepada Allah SWT disebabkan karena mengesakan-Nya akan tetapi manusia tersebut tidak luput dari perbuatan syirik (menduakan Allah). Sehingga aqidahnya belumlah sempurna. Tauhid uluhiyyah atau yang bisa disebut sebagai "tauhid ibadah adalah pengakuan bahwa sesungguhnya Allah adalah Yang Maha Satu yang patut untuk disembah oleh seluruh makhluk dengan segala kepasrahan diri. Seperti sholat, puasa, zakat dan amalanamalan yang lainnya". Sehingga, jika manusia berkata "Laa Ilaha Illallah" berarti manusia tersebut telah mengakui, maka akan ditanyakan kemadanya "apakah kamu punya buktu?".
Â
Bukti tersebut adalah menjalankan perintah dan menjauhi larangan, bersabar menghadapi bencana dan menerima takdir. Menurut Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani bahwa ketauhidan sama dengan konsep Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Tauhid Uluhiyah terkandung di dalam tauhid Rububiyah karena siapa yang menyembah pasti terbetik dalam dirinya bahwa Tuhannya yang menciptakan dari ketiadaan. Dari penjelasan menurut Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani bahwa tauhid uluhiyah akan menggambarkan tauhid rububiyah. Hali ini didasari ketika seseorang memahami dan mengimani keesaan Allah dan menyembah hanya kepada-Nya maka secara otomatis bentuk tauhid rububiyah orang tersebut berupa bentuk perbuatan untuk melaksanakan keesaan Allah. Sehingga, manusia memliki kewajiban dalam menaati Allah dan patuh kepada-Nya.[2]
Â
Yang Kedua, Tauhid Rububiyyah, Tauhid Rububiyyah merupakan pengakuan atas kebesaran Allah SWT atas segala yang ada. Kepercayaan bahwasanya Allah SWT hanyalah satu-satunya Dzat yang maha pencipta yang menciptakan alam dan seisinya. Allah Maha kuasa dan yang mengatur atas alam beserta isinya. Alam semesta beserta isinya ini diciptakan oleh Allah SWT sendiri. Tidak ada Dzat lain yang dapat menciptakan selain-Nya kemudian mengaturnya. Artinya, segala sesuatu yang terjadi pada alam adalah dari kehendak Allah SWT. Maka, tauhid Rububiyah dapat diartikan sebagai konsep peng-Esaan Allah dalam tiga perkara yaitu penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan pengaturan-Nya. Mengesakan Tuhan adalah mempercayai Tuhan sebagai pencipta, raja dan pengatur. Dan segala yang ada dibumi adalah milik-Nya dan semua yang terjadi adalah kehendak-Nya. Apabila keyakinan ini disadari penuh dalam hati nurani, maka akan muncul kesadaran bahwa sebenarnya hukum, fakta dan ilmu pengetahuan, merupakan ketetapan dan kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa, yang tujuan diciptakan dan dianugerahkannya untuk kemaslahatan hidup makhluk-Nya.[3]
Â
Yang Ketiga, Tauhid Asma Wa sifah, Istilah asma wa sifat terdiri dari tiga kata bahasa Arab yaitu ( ) dan ( ). Kata ( ) adalah bentuk plural dari kata ism yang artinya nama. Sedangkan () artinya dan. Sedangkan ( ) adalah bentuk plural dari shifah yang artinya sifat Syekh Abdul Rahman bin Nasir menambahkan dalam bukunya:
Â
 , , .