Mohon tunggu...
Muhammad Alby MH
Muhammad Alby MH Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa UIN Sunan Ampel

tidak perlu menjadi yang terbaik, tapi berbuatlah baik kepada banyak orang tanpa memandang statusnya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Muhkam dan Mutasyabih dalam Al-Quran

20 Desember 2022   08:41 Diperbarui: 20 Desember 2022   08:48 2561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : http.//.Gambar background template ppt.com

        Al-Quran merupakan wahyu yang berasal dari Allah SWT yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril AS, yang disampaikan secara mutawatir, Dan orang yang membacanya dengan tujuan mencari Ridho AllahSWT akan mendapat pahala. Al-Quran diturunkan sebagai pedoman dan petujuk bagi umat manusia terkhusus umat muslim yang berstatus sebagai pemegang kitab Al-Quran dan pelaku syariat Islam, sehingga semua permasalahan dan problematika yang terjadi akan kembali ke Al-Quran sebagai solusinya untuk memecahkan masalah tersebut, mengingat Islam sebagai Agama Rahmatan lil Alamin dan ajaran yang sempurna dalam membenarkan ajaran sebelumnya yang sempat sesat dan menyeleweng dari syariat islam. Banyak dari manusia khsusnya umat muslim dari kalangan Ulama mufassirin yang menafsirkan Al-Quran dengan pengetahuanya yang faqih baik, sehingga Al-Quran berpotensi memiliki banyak macam penafsiran yang berbeda-beda, meski demikian, terdapat beberapa ayat yang sebagian mufassirin menafsiri sebagian tidak memilih untuk menafsirkan, sebagaimana yang terjadi antara Ulama Salaf dan Khalaf dalam menyikapi Muhkam dan Mutasyabih sebagai sarana memahami Tafsir Al-Quran.
         Muhkam dan Mutasyabih mempunyai makna yang berlawanan ketika dihadapkan dalam konteks Ulumul Quran sebagaimana yang telah dijelaskan pada surah ali-Imran ayat ke-7 bahwasanya muhkam yang jelas maknanya dan dijadikan sebagai pegangan hukum akan tetapi ada juga yang mutasyabbihat yang tidak bisa difahami maknanya, padahal Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia, sehingga dapat menyebabkan kontradiksi diantara orang islam yang minim Pengetahuan Agamanya dan orang non muslim yang berargumen mengenai ketidakjelasan makna Al-Quran, padahal adanya muhkam dan mutasyabih, karena memang Allah SWT telah menetapkan dan menghendakinya demikian. Oleh karenanya Allah SWT mengklasifikasikan ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih bertujuan untuk membedakan antara ayat -- ayat yang Muhkam sebagai landasan hukum dan Mutasyabih seperti ayat Fawatihus suwar yang mana kita cukup mengimaninya saja karena hanya Allah SWT yang mengetahuinya.  
         Muhkam merupakan Sighat isim maful yang mempunyai makna yang kokoh, sempurna, dan menetukan atau memutuskan. Maksudnya memutuskan secara sempurna antara berita yang benar dari yang salah, yang hak dari yang batil dan lurus dari yang sesat.  Pengertian ini sesuai dengan Firman Allah SWT pada surah Hud ayat 1

Artinya :  Alif Lm R. (Inilah) Kitab yang ayat-ayatnya telah disusun dengan rapi kemudian dijelaska secara terperinci (dan diturunkan) dari sisi (Allah) Yang Mahabijaksana lagi Mahateliti.
          Banyak dari kalangan Ulama yang mendefinisikan Muhkam. Berpijak pada ayat ini maka yang dimaksud adalah Kesempurnaan ayat yang mencakup semua aspek secara lengkap dan mutlak, sehingga tidak mungkin terjadi pertentangan dan perselisihan diantara Ayat-ayatnya. Secara umum muhkam merupakan pokok kitab yang dibuat pegangan atau landasan hukum. Ayat muhkam ini juga bisa disebut dengan Nasikh ( yang mengganti hukum ), kalau dalam istilah Ushul Fiqh dinamakan mubayyin atau dalil mubayyin yakni menjelaskan atau mengungkapkan suatu makna dari pembicaraan ( kalamullah ) serta menjelaskan secara terperinci tentang hal-hal yang tersembunyi di dalamnya.  
         Mutasyabih secara bahasa berasal dari masdar tasyabuh yang berarti serupa, tasyabuh mempunyai sinonim yakni iltibas dan tamatsul, keduanya memiliki arti yang hampir sama, kalau Iltibas berarti keadaan samar atau ketidakjelasan, sedangkan Tamasul berarti menjadi serupa atau identik. Jadi pengertian mutasyabih lebih condong ke tamasul sebagaimana potongan firman Allah SWT surah Hud Ayat 23

Artinya : Allah telah menurunkan perkataan yang terbaik, (yaitu) Kitab (Al-Qur'an) yang serupa (ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang.
          Ayat tersebut memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud mutasyabihat itu menjelaskan segi kesamaan ayat-ayat Al-Quran dalam kebenaran, kebaikan dan kemukjizatanya. Secara umum mutasyabih merupakan suatu lafazd atau ayat yang masih samar dan membutuhkan Takwil untuk mengetahui kandungan maknanya. Dalam hal ini para ulama' mengatakan bahwa penyebab adanya kesamaran dalam ayat Al-Quran karena beberapa hal diantaranya :
   1.   Kesamaran pada lafaz ayat. Mengingat Sebagian adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Quran itu disebabkan karena kesamaran pada lafal yakni lafadh atau ayat yang sama sekali tidak dapat diketahui hakekatnya , baik lafal yang masih mufrad ataupun yang sudah murakkab. Kesamaran pada lafal mufrad, maksudnya adalah ada lafal-lafal mufrad yang artinya tidak jelas, baik disebabkan lafalnya yang gharib (asing), atau musytarak (bermakna ganda). Contoh lafal mufrad seperti kata dalam ayat 31 surah Abasa : (dan buah-buahan serta rerumputan). Kata abban tersebut jarang terdapat dalam al-Quran, sehingga asing, Kalau tidak ada penjelasan dari ayat berikutnya yakni
 
         Maka menjadi jelas, dengan adanya ayat selanjutnya memberi makna bahwa yang dimaksud dari buah-buah dan rerumputan itu sebagai kesenanangan dan kenikmatan dan juga hewan ternakmu.
          Kesamaran pada lafal murakab ( susunan kalimat ) disebabkan karena lafal-lafal murakab itu terlalu ringkas atau terlalu luas, atau karena susunan kalimatnya kurang tertib.
Contoh kalimat yang terlalu ringkas ; Q.S. al-Nisa ( 4 ): 3;

          Pada ayat tersebut menjelaskan bahwa solusi terbaik bagi seseorang yang tidak bisa berlaku adil kepada seorang perempuan yatim yang hendak dikawininya adalah dengan mengawini perempuan lainya. Islam memperbolehkan poligami apabila memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, meski pada zaman poligami telah diberlakukan, dan pernah dilakukan oleh para nabi sebelumnya, akan tetapi ayat ini memberikan batasan hanya sampai empat saja, kemudian Syariat Islam memberikan pilihan untuk berbuat dengan apa yang dikehendakinya baik memilih menikahi budaknya jika mempunyai atau hanya menikahi satu perempuan saja kalau memang nantinya tidak bisa berlaku adil jika melakukan poligami. Penjelasan berlaku adil adalah perlakuan yang sepatutnya diberikan dengan baik kepada seorang istri dalam memeberikan pelayanan kepada isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
           Maksud dari ayat tersebut di atas kurang jelas dan sulit difahami, disebabkan kalimatnya yang terlalu ringkas, sehingga menimbukan kesamaran dalam maknanya sehingga berpotensi untuk menimbulkan kesalahpahaman dalam pemaknaanya. Tentunya sukar memahami terjemahan ayat tadi. Karena takut tidak dapat berlaku adil terhadap anak yatim, lalu mengapa disuruh kawin wanita yang baik-baik, dua, tiga, atau empat.  Oleh karena itu dibutuhkan Tafsiran yang nantinya terdapat pentaqdiran ( memperkirakan ) suatu lafadz, sehingga dapat menjelaskan makna yang dimaksud. Maka lafadznya menjadi :

"Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim ketika akan hendak menikahinya maka menikahlah dengan seorang perempuan yang lain."
Contoh kalimat yang terlalu luas Q.S. asy-Syuura ( 42 ): 11;

   Kesamaran lafadz pada ayat tersebut dapat dilihat dari adanya huruf kaf yang mengandung makna tasybih, padahal lafadz  setelahnya sudah cukup mewakili untuk menjelaskan makna yang di maksud, sehingga hal tersebut dapat menimbulkan kesamaran dalam arti, karena sulit dimengerti maksudnya. Seandainya huruf tersebut dibuang karena memang terlalu luas dan pemborosan kata, maka artinya akan jelas. Dalam tafsir al-Qurthubi bahwa kaf tersebut sebagai huruf tambahan sebagai Taukid atau pengukuhan suatu makna, yang bertujuan untuk meyakinkan, mengukuhkan, menekankan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang sama dengan Allah SWT. Dibalik sebuah kesamaran suatu lafadz dalam Al-Quran terdapat rahasia didalamnya, seperti halnya di atas yang bertujuan untuk menandingi dan mengalahkan argumen-argumen orang kafir yang tidak jelas dalam menentang dan mengganggu umat islam.
Contoh yang kurang tertib, Q.S. al-Kahfi ( 18 ): 1 ;
 
Kesamaran ayat tersebut dilihat dari Pengertian bahwa Allah tidak menjadikan kebengkokan dalam Al-Quran dan menjadikannya lurus, tentu merupakan hal yang sukar dipahami. Hal itu disebabkan karena dalam ayat tersebut susunan kalimatnya ada yang kurang tertib. Seandainya susunan kalimatnya dibalik dengan meletakkan kalimat awal dari ayat kedua surah al-Kahfi kepada setelah lafadz kitab, maka akan lebih untuk memahaminya.
    2.    Kesamaran dalam hal maknanya, maksudnya makna dari suatu ayat tidak akan bisa diketahui, karena makna dari lafal-lafalnya tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia. Contohnya seperti makna dari sifat-sifat Allah swt, makna ihwal hari kiamat, kenikmatan surga, siksa kubur dan siksa neraka. Manusia hanya diperintahkan untuk mengimaninya saja tanpa mencari kepastian kejadianya karena hikmah adanya Alam Ghaib untuk menguji keimanan seseorang dan menyadarkan bahwa  kehhidupan Dunia hanya sementara yang nantinya berlanjut pada kehidupan yang kekal yakni Akhirat.
   3.     Kesamaran pada lafaz sekaligus makna ayat itu sendiri. Dalam hal ini ayat-ayat Mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para Ulama tertentu melalui pemikiranya yang Faqih. Maksudnya adalah makna-makna dari ayat yang hanya diketahui oleh seseorang yang jernih hatinya dan jiwanya. Contoh pada potongan ayat Q.S. al-Baqarah ( 2 ): 189 ;
.        
          Ayat tersebut memang kalau dilihat dari segi aspek dan lafadznya terdapat kesamaran, karena ketika Orang yang tidak mengerti adat istiadat bangsa Arab pada masa jahiliah, tidak akan paham pada maksud ayat tersebut. Sebab kesamaran dalam ayat tersebut terjadi pada lafalnya, karena terlalu ringkas, juga terjadi pula pada maknanya, karena termasuk adat kebiadaan khusus orang Arab, yang tidak mudah diketahui dan dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Tapi seandainya pada ayat tersebut ditambah dengan ungkapan berikut ;
 
Maka ayat tersebut, akan lebih mudah dimengerti, apalagi bagi orang yang sudah mengetahui berbagai syarat dan rukun ihram dalam ibadah haji dan umrah.
         Para Ulama berbeda pendapat mengenai ayat Muhkam dan Mutasyabih dalam Al-Quran. Pendapat pertama mengatakan bahwa semua ayat Al-Quran itu muhkam, karena berdasarkan pada surah Hud ayat 1. Pendapat kedua mengatakan bahwa semua ayat Al-Quran itu mutasyabih, karena hal ini didasarkan pada surah az-Zumar ayat 23. Pendapat ketiga mengatakan bahwa ayat Al-Quran itu terbagi menjadi dua yakni ada yang muhkam dan juga mutasyabih. Meski demikian kebanyakan Ulama mengikuti pendapat yang ketiga, karena memang jika seluruh ayat Al-Qur'an hanya terdiri dari ayat-ayat muhkamat saja, maka akan menutup kemungkinan seseorang untuk berusaha dalam memahami Al-Quran, mengingat keseluruhan ayat Al-Quran yang telah jelas,  begitu juga sebaliknya Apabila seluruh ayat Al-Qur'an mutasyabihat, maka akan  menghilangkan kedudukannya sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia, karena kesamaran ayat Al-Quran yang memang sulit untuk difahami, mengakibatkan kesalahpahaman dan keraguan dalam memahami isi ayat Al-Quran.
         Untuk Muhkam-Mutasyabih dalam konteks penerapan  hukum islam hanya diperbolehkan pada ayat-ayat Muhkamat saja, karena berhubungan lansung dengan perbuatan manusia dan hukum yang berlaku di masyarakat. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat karang relevan untuk diaplikasikan, mengingat memiliki pengaruh besar terhadap kegiatan suatu masyarakat, sehingga ayat-ayat ini hanya diperbolehkan untuk dikaji dan diteliti saja, meskipun pada akhirnya memberi dampak besar dalam aspek teologis. ( Sumber : https.www.academia.edu. )
         Adanya Muhkam dan Mutasyabih memberikan pengaruh yang besar bagi umat Muslim di dunia terkhusus para pencari ilmu Agama, karena Al-Quran yang bersifat mujmal yang tidak semua orang bisa memahami secara tekstual, sehingga membutuhkan sarana untuk memahaminya dan juga mengkajinya. Beberapa teori ulumul Quran yang telah dipraktekan dalam mempelajari suatu ilmu memberikan perkembangan kajian dalam memahami Syariat Islam, yang nantinya orang muslim itu sendiri yang akan menjadi pelaku Syariat.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun