Salah seorang anggota Tim Penasehat Hukum Sitok Srengenge (TPH SS), Faris Haidar, SH, menyatakan dirinya sangat kaget ketika kliennya dijadikan Tersangka dan dikenai dua pasal tambahan. “Ini sangat aneh,” katanya. “Dua pasal tambahan itu sungguh tidak sesuai dan terasa dipaksakan.”
Sebagaimana diberitakan banyak media, sejak 6 Oktober 2014 Sitok Srengenge dijadikan tersangka oleh Penyidik Polda Metro Jaya. Selama hampir 11 bulan sebelumnya, sejak Sitok dilaporkan seorang perempuan berinisial RW akhir November 2013, sastrawan itu dikenai Pasal 335 KUHP dengan status sebagai Saksi.
Dua pejabat Polda Metro Jaya, Direskrimum Kombes Heru Pranoto dan Kabid Humas Kombes Rikwanto, bahkan pernah mengumumkan bahwa kasus Sitok Srengenge akan dihentikan dengan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Alasan yang dikemukakan sangat jelas: tidak ditemukan alat bukti, unsur-unsur pidananya tidak terpenuhi; sehingga tuduhannya lemah. Anehnya, tak lama setelah itu Sitok Srengenge justru dijadikan tersangka dan dikenai dua pasal tambahan, yaitu Pasal 286 dan Pasal 294 ayat 2 KUHP.
“Ibaratnya Anda dituduh mencuri ayam, setelah 11 bulan diselidiki tidak terbukti, tiba-tiba Anda dijadikan tersangka dengan tuduhan mencuri kerbau dan sapi,” jelas Faris Haidar. Pengacara yang juga mantan Ketua GRANAT Yogyakarta itu secara tegas menyatakan telah terjadi pemaksaan tafsir atas hukum positif. “Jelas sekali tafsir itu dipaksakan,” tambahnya.
Berikut ini adalah kutipan lengkap Pasal 286 KUHP: “Barang siap bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
“Di mana kesesuaian pasal itu dengan kasus klien kami? Maknapingsan atau tidak berdaya dalam pasal itu, sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal-Pasal KUHP, jelas bersifat fisik dan merupakan akibat dari perbuatan pelaku,” tutur Faris. “Apa bisa dikatakan pingsan atau tidak berdaya kalau hubungan mereka terjadi berkali-kali dan RW sendiri yang selalu datang ke kos klien kami? Dari locus delicty (tempat kejadian) dan tempus delicty (waktu kejadian) saja kita tahu bahwa tidak mungkin ada paksaan maupun ancaman kekerasan. Artinya, hubungan mereka dilakukan atas persetujuan kedua pihak.”
Faris juga menambahkan bahwa RW mencatat semua tanggal kedatangannya dan hubungan intimnya dengan Sitok. “RW mengaku datang sembilan kali. Kedatangan pertama tidak terjadi hubungan intim. Hubungan intim baru terjadi pada kedatangan kedua dan seterusnya, sebanyak delapan kali. RW mencatat semua tanggalnya. Artinya dia sangat sadar dan berdaya. Mungkin RW malah sangat terkesan, maka ia melakukannya lagi dan lagi, lalu mengabadikannya dengan catatan.”
Tentang penambahan Pasal 294 ayat 2 KUHP, Faris juga menganggap itu sangat mengada-ada. Pasal itu secara jelas mensyaratkan adanya relasi kuasa terkait dengan profesi atau jabatan pelaku. Seperti pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa, atau lembaga sosial yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimaksukkan ke dalam lembaga itu. “Jelas sekali, tidak ada relasi kuasa apa pun antara klien kami dengan RW,” tegas Faris.
Ditanya tentang rumor yang beredar bahwa Sitok adalah dosen yang sedang membimbing skripsi RW, Faris menjawab, “Itu fitnah yang sengaja disebarkan. Semua sarjana, siapa pun yang pernah menyusun skripsi, tahu benar bahwa pembimbing skripsi adalah dosen yang bersangkutan. Nah, klien kami bukan seorang dosen. Silakan dicek.” Faris menambahkan, “Logikanya di mana? RW itu mahasiswi Jurusan Sastra Jerman, bagaimana mungkin ia meminta bimbingan skripsi kepada klien kami yang bukan dosennya dan tidak bisa berbahasa Jerman?”
Sejak Sitok Srengenge dilaporkan RW ke polisi, kasusnya terus menjadi perhatian publik. Pengacara RW, Iwan Pangka, dalam sebuah wawancara pernah menyatakan bahwa ia sengaja memperbesar kasus itu dan menjadikannya panggung agar mendapat perhatian masyarakat luas.
“Selama proses kasus ini banyak sekali kejanggalan dan drama yang berlebihan. Termasuk perubahan status dan penambahan pasal-pasal itu. Kami menghormati langkah Polisi yang melempar bola panas ke kejaksaan, karena itu kewenangan mereka. Tapi alasan dan bukti-bukti yang digunakan harus benar-benar kuat. Dan ingat, kasus ini terlanjur menjadi perhatian publik di dalam dan luar negeri. Jangan sampai terjadi preseden buruk dalam penegakan hukum di Indonesia,” ujar Faris tenang.
Muhammad Akid Aunulhaq
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H