Mohon tunggu...
muhammadakhsanulakhlaq
muhammadakhsanulakhlaq Mohon Tunggu... Guru - Guru di SMK Digital Darul Uchwah Jakarta

Sedang berkhidmat di Pesantren Ekonomi Darul Uchwah

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Review Buku Kemanusiaan dan Pembaruan Masyarakat Muslim Indonesia

29 November 2024   00:26 Diperbarui: 29 November 2024   00:26 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buku Kemanusiaan Dan Pembaruan Masyarakat Muslim Indonesia merupakan bentuk
pertanggungjawaban penulis sebagai intelektual publik selama 25 tahun (1998--2023). Penulis buku ini
adalah Neng Dara Afifah. Tulisan-tulisan dalam buku ini tentang sebuah pemikiran utuh tentang
spiritualitas, kemanusiaan, Islam, penyegaran ajaran, serta keindonesiaan dan kemajemukan. Dalam buku
ini terdiri dari III (tiga) bab.


Bab I
Spiritualitas Kemanusiaan Dan Kesemestaan


Pada bab pertama membahas Spiritualitas Kemanusiaan Dan Kesemestaan, dengan salah satu topiknya
Manusia Unggul mengangkat pemikiran Allama Muhammad Iqbal, seorang filsuf Muslim asal Pakistan.
Dalam bukunya ia banyak mengutip para filosof Barat seperti descartes, Williamjams, Enest Renan,
Nietzshe, Emmanuel Kant. Iqbal menekankan pentingnya manusia meraih pencapaian tertinggi dalam
hidup, yang ia gambarkan seperti burung rajawali, kontras dengan manusia kerdil yang lemah seperti
semut. Iqbal juga memuji kerja keras sebagai kunci kesuksesan, mengkritik kemalasan yang menyebabkan
seseorang tertinggal.
Selain itu, bab pertama juga membahas erbgai topik. Menyoal faham teologi tulang rusuk sebagai hal
yang mengenai konsep penciptaan manusia yang berjenis kelamin perempuan yang dipercaya dari tulang
rusuk laki-laki, dan bengkok, sebuah pandangan yang sejak dalam kesadaran dan pikiran, perempuan
direndahkan keberadaannya melalui sistem makna yang dibangun oleh masyarakat. pandangan kritis
terhadap mitos penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki, yang kerap digunakan untuk
mendiskriminasi perempuan. Dengan mengacu pada teori Pierre Bourdieu tentang kekerasan simbolik,
penulis menunjukkan bagaimana sistem makna yang patriarkal telah merugikan perempuan secara sosial
dan psikologis.
keluhuran manusia dan kekuatan cinta. Hal ini dipertimangkan teori Erich Fromm dalam bukunya The
Art of Loving. Fromm menyoroti berbagai konsep cinta, namun penekanan utamanya adalah cinta kepada
sesama manusia sebagai bentuk tertinggi. Menurut Fromm, ada beberapa kategori tentang teori cinta
yaitu pertama, cinta orangtua kepada anak. Kedua, cinta etoris, cinta ini bersifat personal, cinta jenis ini
menurut Shakespeare cenderung buta, karena bnayak pencinta yang tidak menyadari tindakan bodoh
yang sering dilakukannya. Ketiga, cinta kepada tuhan. Dan keempat, cinta kepada sesama.
Spiritual agama-agama dalam kearifan Jalaludin Rumi. Jalaludin Rumi adalah seorang sufi yang dikenal
di Timur maupun di Barat. Puisi-puisi dengan pesan cinta yang universal telah mengulas puisi cintanya
sebagai ekspersi kecintaannya kepada tuhan dan kepada apapaun yang diciptakannya serta kecintaannya
yang kuat kepada Nabi Muhammad. Tulisan pandangan Rumi dalam puisi cintanya memfokuskan tentang
spiritual agama-agama. Dalam kitab Fihi Ma Fihi, pandangan Rumi tentang agama-agama sebagai berikut:
"Sekalipun jalan itu banyak, tujuannya hanyalah satu. Tidakkah engkau lihat banyak jalan menuju
Ka'bah? Untuk sebagian, jalan itu dari negeri Rum, untuk sebagian dari Suriah, untuk sebagian
dari Persia, untuk sebagian dari Cina, untuk sebagian melalui laut dari India dan Yaman. Begitulah
jika engkau memperhatikan jalan. Perbedaan sangat besar dan pertentangan tak ada batasnya.
Tetapi jika engkau memperhatikan tujuan, mereka semua sepakat dan satu. Hati mereka bersatu
di atas Ka'bah."
Kota tuhan dan kota manusia: kesaksian dan perjanlanan. The City of God menurut Santo Agustinus
adalah kota spiritual yang para penghuninya terikat pada nilai-nilai Ketuhanan dan cinta kasih,
mengutamakan kedamaian dan keadilan sebagai tujuan utama. Konflik atau peperangan hanya
dibenarkan jika bertujuan melindungi dan mencapai perdamaian, serta dilakukan dengan sikap penuh
cinta kasih. Kota Tuhan, seperti Kota Yerusalem Baru dalam pandangan Agustinus atau Kota Madinah
dalam Islam, adalah simbol masyarakat ideal yang menjunjung tinggi keadaban, toleransi, dan hukum
demi kebaikan bersama. Sebaliknya, Kota Manusia mencerminkan keserakahan, egoisme, dan kekerasan
yang sering terlihat di kota-kota modern, seperti Jakarta yang diwarnai persaingan politik penuh
kebencian. Pada fenomena penceraian setelah lebih dari 20tahun pernikahan dan selamat dari gempa
bumi dasyat di Palu ada 28 September 2018. Peristiwa tersebut menjadi inspirasi tulisan berjudul
Melewati Lubang Maut: Mengalami Gempa Bumi di Palu, Sulawesi Tengah. Selain itu, penderitaan
perempuan melalui karya-karya Nawal El-Sadawi, seperti Women at Point Zero, Memoar Seorang Dokter
Perempuan, dan Jatuhnya Sang Imam. Tulisan ini dipresentasikan saat mengenang wafatnya Nawal ElSadawi pada 21 Maret 2021, mengangkat isu perjuangan perempuan melawan penindasan dan
ketidakadilan. Refleksi dari novel-novel ini memperkuat pesan tentang pentingnya keberanian dan
solidaritas di tengah berbagai ujian hidup.


Bab II
Islam Dan Ikhtiar Pembaruan Ajarannya


Bab ini membahas fenomena puritanisme dan radikalisme Islam di Indonesia pasca-Reformasi, termasuk
menguatnya radikalisme di pesantren dan peristiwa demonstrasi 212 yang menuduh Basuki Tjahaja
Purnama sebagai penista agama. Radikalisme islam di lembaga pendidikan pesantren dalam pesantren di
indonesia dari masa ke masa Ketika agama Hindu dan Islam datang ke Nusantara masing-masing pada
abad ke-4 dan ke-15, keduanya mengambil peran penting dalam sosialisasi dan pewarisan budaya
tradisional, serta memadukannya ke dalam tradisi keagamaan masing-masing. Pada masa penjajahan
Belanda, pesantren menjadi pusat pembelajaran agama sekaligus benteng perlawanan terhadap
kolonialisme. Para santri diajarkan nasionalisme dengan jargon seperti hubbul wathan minal iman, dan
segala yang berbau Barat, seperti memakai jas atau dasi, dilarang. Akibat sikap anti-Belanda ini, pesantren
diawasi ketat oleh pemerintah kolonial. Pada periode 1959-1965, pesantren dipandang sebagai "alat
revolusi," dan di era Orde Baru, pesantren dianggap "potensi pembangunan." Di masa ini, pesantren tidak
hanya mengajarkan ilmu agama tetapi juga keterampilan praktis yang mendukung program pembangunan
nasional. Contohnya, Pesantren al-Falah di Bogor yang fokus pada teknologi pertanian dan bekerja sama
dengan lembaga pemerintah dan internasional. Pesantren-pesantren lain juga mulai mengadopsi
pengajaran serupa, menjadikan mereka lebih relevan dengan kebutuhan zaman. akar radikalisme dan
kekerasan dalam sejarah umat Islam, menekankan pentingnya berpikir kritis dalam memahami ajaran
Islam dan sejarahnya. Ia juga menyoroti organisasi-organisasi yang berusaha menjadikan Indonesia
sebagai negara Islam.
Mengacu pada pemikiran Bung Karno, Ialam Berorientasi Kemajuan, Sistem Khalifah adalah
kemunduran. Pemikiran Bung Karno disandingkan dengan gagasan Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang
menyerukan integrasi keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan. Bung Karno menegaskan bahwa
seorang muslim harus berorientasi pada kemajuan, seperti memproduksi ilmu pengetahuan dan
menciptakan teknologi modern, bukan hanya terfokus pada ritual keagamaan semata. Ia menilai bahwa
sistem pemerintahan khilafah adalah langkah mundur, karena hanya berupaya menghidupkan kejayaan
masa lalu yang tidak relevan dengan tantangan zaman sekarang. Penyebab kemudnduran umat islam
yaitu 1). Takdil buta ( sikap tunduk tanpa reserve pada guru). 2). Mengutamakan formalistas, bukan
substansi islam (terlalu mengutamakan fikih tidak merujuk langsung kepada al-Quran dan Sunnah yang
merupakan 'api' Islam, 3). Mempercayai hadis-hadis lemah sebagai rujukan ber-Islam serta menentang
Diskriminasi terhadap perempuan.
Menurut Cak Nur, Islam harus menjadi landasan etika untuk membangun bangsa, karena nilai-nilai
Pancasila sejalan dengan etika Islam. Namun, ia mengkritik kecenderungan umat Islam Indonesia yang
terjebak pada simbolisme agama, tanpa memahami nilai substansialnya. Pada 29 Agustus 2013, diadakan
Sewindu Haul Nurcholish Madjid (Cak Nur) untuk mengenang dan mengkaji ulang pemikirannya, bukan
untuk mengultuskan pribadinya. Pemikiran Cak Nur berfokus pada integrasi Islam, keindonesiaan, dan
kemoderenan.
a) Keislaman
Cak Nur menekankan Islam berbasis etika dan moral. Ia mengkritik praktik keagamaan di
Indonesia yang sering mengutamakan ritual dan simbolisme, sehingga mengabaikan nilai-nilai
moral. Ia mengusulkan desakralisasi, yaitu tidak menyucikan simbol-simbol yang bukan inti
agama.
b) Keindonesiaan
Pancasila dianggapnya sebagai landasan etis yang sejalan dengan nilai Islam, seperti
ketuhanan, keadilan, musyawarah, keadaban, dan persatuan. Cak Nur memandang Pancasila
sebagai kalimat-un sawa, titik temu bagi berbagai agama di Indonesia.
c) Kemoderenan
Pemikiran Cak Nur menyoroti pentingnya sikap kritis terhadap simbol dan perlunya
masyarakat untuk memprioritaskan moralitas sebagai nilai fundamental dalam kehidupan
berbangsa.
Esoterisme Islam, yang dijelaskan Annemarie Schimmel sebagai kesadaran terhadap Kenyataan
Tunggal, juga dikenal sebagai tasawuf atau sufistik. Tradisi ini mengacu pada kearifan, cahaya, cinta, serta
kedekatan dengan sumber spiritual tertinggi. Tasawuf telah membentuk peradaban Islam dalam berbagai
aspek seperti ilmu pengetahuan, politik, seni, dan agama, yang turut berkontribusi pada kemajuan umat
manusia. Di Nusantara, Islam menyebar melalui pendekatan esoterik yang mengedepankan harmoni
budaya lokal. Di Jawa, misalnya, Wali Songo menggunakan seni wayang dan lagu untuk menyampaikan
ajaran Islam tanpa kekerasan. Pendekatan ini membuat Islam diterima dengan indah dan menyentuh hati
masyarakat setempat. Ciri-ciri utama sufisme adalah cinta tuhan, keterlibatan dalam sebuah pekerjaan,
menghindari kemalasan dan pengangguran, pelayanan kepada sesama dan mencintai umat manusia,
toleransi beragama da sikap baik kepada binatang.


Bab III
Keindonesiaan Dan Kemajemukan


Gerakan Renaissance (Pencerahan) di Eropa dan Kontribusinya terhadap kemerdekaan. Gerakan
Pencerahan atau Aufklarung adalah reaksi terhadap kekuasaan gereja yang despotik di Eropa Abad
Pertengahan, menentang hierarki berdasarkan garis keturunan, dan menyerukan penghapusan hak
istimewa serta kebangsawanan. Gerakan ini mengedepankan prinsip liberte (kemerdekaan), egalite
(kesetaraan), dan fraternite (persaudaraan). Semangat pencerahan Eropa abad ke-17, yang menolak
hierarki manusia berdasarkan garis keturunan dan menyerukan kesetaraan serta kebebasan, turut
menginspirasi cita-cita Indonesia: bersatu, berdaulat, adil, makmur, melindungi rakyat, mencerdaskan
kehidupan bangsa, serta mendukung perdamaian dunia.
Salah satu tokoh utama, Charles-Louis de Secondat Montesquieu (1689-1755), memperkenalkan nilainilai hak dasar manusia, kemerdekaan, dan teori Trias Politica, yakni pembagian kekuasaan menjadi
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ide-idenya menginspirasi Revolusi Prancis (1789--1799). Secara umum,
para pemikir Pencerahan mendukung toleransi beragama, kebebasan berpikir, potensi individu untuk
maju, serta pembaruan masyarakat. Mereka juga mendukung nasionalisme sebagai bagian dari
perjuangan kemerdekaan individu dari kekuasaan asing.
Pluralisme agama di Indonesia. Konsep pluralisme, menurut Furnivall (dalam Nasikun, 1984),
menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa kolonial Belanda sebagai masyarakat yang terdiri dari
berbagai elemen yang hidup berdampingan tanpa adanya pembauran. Terdapat tiga kelompok utama:
1). Orang-orang Belanda, yang datang demi kepentingan ekonomi dan hanya peduli pada isu sosial-politik
dalam konteks kapitalisme atau hubungan buruh-majikan. 2). Masyarakat Tionghoa, yang juga berfokus
pada kepentingan ekonomiseperti orang Belanda. 3). Masyarakat pribumi, mayoritas penduduk asli yang
berada di bawah kendali minoritas penguasa kolonial Belanda.
Konsep mengenal, Berdialog, memahami dan bekerja sama, terdapat empat pendekatan dalam
mengelola keragaman agama:
1) Pendekatan eksklusif, yang menutup dialog dengan agama lain dan cenderung berprasangka
terhadap kelompok berbeda. Pendekatan toleransi, yang menekankan prinsip "tidak saling
mengganggu," seperti dalam pandangan teologis "Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Di
Indonesia, pendekatan toleransi ini diterapkan pada masa Orde Baru, tetapi dianggap gagal
membangun kesepahaman antarumat beragama. Menurut Diana Eck (2002), kelemahan
pendekatan ini adalah fokus pada menghindari konflik tanpa mendorong dialog, saling
pengertian, dan kerja sama di antara kelompok agama.
2) Membangkitkan kerja sama diantara sesama anak bangsa untuk bersama-sama mewujudkan
impian bersama tentang kemajuan sebuah bangsa.
3) Pluralisme membuka ruang dialog antar umat beragama yang bisa memperkecil kecurigaan antar
kelompok agama.
4) Pluralisme agama adalah pilar mendasar dalam demokrasi.
Di era Reformasi yang dimulai pada 1998, Indonesia mengalami perubahan signifikan, termasuk
pemilu bebas pertama setelah 44 tahun dan amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali. Amandemen
ini mencakup pembatasan masa jabatan presiden menjadi dua periode lima tahun (1999), perluasan
otonomi daerah dan pengadopsian kovenan hak asasi manusia (2000), perubahan arsitektur kelembagaan
dengan pemilihan langsung presiden oleh rakyat (2001), serta penataan ulang MPR yang kini terdiri dari
DPR dan DPD tanpa penunjukan anggota militer atau kelompok tertentu (2002). Perubahan ini menandai
tonggak penting Reformasi dalam memperkuat demokrasi dan kebhinekaan di Indonesia.
Diantara berbagai daerah yang menerbitkan kebijakan-kebijakan yang berbuansa syriat islam adalah
negara Aceh. Provinsi Aceh dijadikan sebagai rujukan, Provinsi ini menjadi satu-satunya di Indonesia yang
menerapkan Syariat Islam, termasuk larangan khalwat dan hukuman cambuk yang tidak dikenal dalam
hukum nasional. Aturan-aturan tersebut muncul karena pemimpin daerahnya, seperti gubernur, bupati,
atau wali kota, umumnya berafiliasi dengan partai Islam, memiliki latar belakang di organisasi Islam, atau
karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Daerah-daerah yang paling banyak menerbitkan
kebijakan-kebijakan yang bernuansa agama tersebut antara lain: 1). Jawa Barat, 2). Sumatra Barat, 3).
Kalimatan Selatan, 4). Sulawesi Selatan, 5). Nusa Tenggara Barat 6). Jawa Timur.
Sejumlah provinsi seperti Banten, Yogyakarta, Lampung, Bengkulu, Sumatra Selatan, Sumatra Utara,
Riau, Gorontalo, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan NTT menerbitkan kebijakan
bernuansa Syariat Islam. Kebijakan-kebijakan ini menimbulkan berbagai masalah, terutama karena
bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menetapkan bahwa
urusan agama menjadi kewenangan pemerintah pusat, bukan daerah. Selain itu, kebijakan ini sering kali
kurang melibatkan masyarakat, khususnya perempuan dan kelompok minoritas, sehingg beberapa aturan
yang serupa di berbagai daerah mencakup kewajiban berjilbab, kemampuan baca tulis Al-Qur'an,
pengelolaan zakat, larangan prostitusi, minuman keras, dan perjudian, pemisahan ruang publik,
penggunaan huruf Arab, hingga pembatasan terhadap ajaran tertentu seperti Ahmadiyah. Aturan-aturan
ini dinilai melanggar prinsip nondiskriminasi yang dijamin dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, yang
menyatakan setiap warga negara berhak bebas dari perlakuan diskriminatif. Oleh karena itu, kebijakan
yang bersifat diskriminatif tersebut seharusnya dicabut melalui intervensi Presiden melalui Menteri Dalam
Negeri.
Aturan kewajiban berjilbab di sekolah negeri menimbulkan dampak negatif bagi sebagian perempuan
dan anak perempuan, terutama dalam bentuk tekanan psikologis, kehilangan akses pendidikan, dan
pekerjaan. Kebijakan ini bertentangan dengan prinsip keadilan dan nondiskriminasi yang diamanatkan UU
Sistem Pendidikan Nasional. Meskipun upaya untuk menghapus aturan tersebut telah dilakukan melalui
kebijakan yang memberikan kebebasan memilih, Mahkamah Agung membatalkannya, sehingga
diskriminasi tetap berlanjut. Keputusan untuk mencabut aturan ini berada di tangan Presiden, namun
hingga kini langkah tegas belum diambil, kemungkinan karena pertimbangan politik terkait mayoritas
pemilih Muslim. Hal ini menunjukkan tantangan dalam mewujudkan kebijakan yang inklusif dan adil di
tengah sensitivitas politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun