Di sudut belahan dunia manapun saat ini, media sosial bukan lagi hal yang baru. Bukan teman baru yang membutuhkan sedikit spekulasi untuk sekedar mencairkan suasana demi mengakrabkan diri. Bukan makanan atau minuman yang hanya tersedia di tempat berlantai lima di kota-kota besar. Menjangkaunya pun harus bermodal, paling tidak bermodal nekat. Media sosial saat ini adalah keterwakilan dari bentuk siapa saja, kapan saja dan dimana saja.
Saya membayangkan, andai saja media sosial ini adalah sosok bapak berdasi yang tampan, yang menampung segala bentuk aspirasi, bisa jadi dunia dan seisinya tidak lagi ribut dan saling meributkan tentang siapa yang menjadi wakil untuk menyuarakan hak-haknya. Dekat, mudah di akses, menjadi teman curhat oleh siapa saja.
Tapi untung saja tidak, sebab jangan sampai kedekatan itulah sumber yang menjauhkan. Dekat dimata, jauh dihati.
Pameran dan pemeran dunia maya memang tak kalah menarik. Berbagai konten yang tersedia dengan beragam fitur pun lengkap adanya. Tak jarang, silaturahmi sampai ngakak online menjadi sempurna dalam genggaman. "Sebentar lagi lebaran, guys... "
Arus memuncaknya generasi Z tak dapat dipungkiri. Serba instan juga kian menjanjikan. Hidup yang dipenuhi beragam kebutuhan juga nampaknya akan terfasilitasi. Mulai dari hal yang besar sampai hal yang sekecil-kecilnya pun tak ada kompromi untuk berpaling dari kerja sama media sosial. Butuh ini dan butuh itu tak jadi soal. Semua dalam genggaman.
Kebutuhan yang dulunya hanya sebatas sandang, pangan, papan kini bertambah colokan. Yah, demi terjaganya gaway tetap on. Bahkan kegalauan acap kali muncul bukan karena tidak tidak adanya pencapaian dari target hidup yang sudah ditentukan, melainkan terlepas dari sentuhan si maya (dunia maya).
Diberitakan salah satu kabupaten di Sulawesi-Selatan yang jumlah penduduknya lebih dari 300 rb jiwa yang sebagian besar bahkan hampir sepenuhnya telah mengenal media sosial dan sebagian kecil lebih memilih si maya ketimbang nyata. Alhasil, bukan lagi pil pahit dalam bentuk obat yang menyembuhkan, tapi racun yang mematikan. Pasalnya dari tahun 2017 lalu sudah tercatat 700 pasangan yang bercerai dan sebagian besar oleh pengaruh media sosial. Dengan demikian, pergeseran manfaat kini mulai mengarah ke sisi yang membahayakan.
Mendadaknya pemutaran haluan generasi X ke Z mungkin saja ada. Sebab mau tak mau arus yang ada harus dihadapi. Hanyut atau melawan arus adalah opsi yang sama-sama menunjang untuk kemungkinan tenggelam. Kita lupa bahwa ada cara lain untuk tetap dalam arus tanpa harus melawan, tanpa harus tenggelam.
Sosial kah kita hari ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H