Mohon tunggu...
Dr. M. Agung Rahmadi
Dr. M. Agung Rahmadi Mohon Tunggu... Psikolog - Dr. S.Sos. M.Si. Kons

Psikolog

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Secularism as a Bridge to Islamic Law fi al-Baldah al-Islamiyah Minhajin Nubuwwah (Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si.)

19 Juni 2024   07:05 Diperbarui: 3 Juli 2024   07:21 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jembatan Sekularisme menuju Hukum Islam (MAR 19 Juni 24)

Fiqh kaum Islam ortodoks itu selalu berakhir hilirnya mengkafirkan Salafi dan Syi'ah karena nalar hukumnya cuma nalar analisis  tapi tidak nalar dialektis. Mengkafirkan orang lain yang landasan kitab hadist dalam mengistimbatkan hukum sara'-nya berbeda pasti akan terjadi, dan selalu terjadi sebab itulah "pola" dari antropologi pikiran mereka selama ribuan tahun.

Kalaulah ada orang Syi'ah mengeluarkan hukum Islam yang filsafat hukumnya merujuk pada Kitab hadist al-Kahfi, ada lagi kalangan Salafi yang merujuk pada kitab hadist al-Bani. Bagi kaum ortodoks ini, yang syi'ah sudah kafir yang salafi juga kafir karena produk hukumnya dia dan mereka berbeda secara radikal, maka dakwahya harus dibelenggu, komunitasnya harus didiskriminasi hingga dipunahkan, sehingga semua orang harus melihat Islam dengan kaca mata kuda yang mereka pakai. Golongan ini bila diteruskan keangkuhannya, akan semakin menjadi kasar karena model kebangsaan yang mereka pakai adalah kebangsaan ningrat dimana Islam dalam kaca mata mereka mirip kelas-kelas sosial di Hindustan sana. Ada kalangan brahmananya, ada kalangan sudranya, kalangan brahmana akan selalu menurunkan brahmana dengan julukan-julukan feudalnya dan kalangan sudra sampai kapanpun tetaplah menjadi sudra.

Selain itu dalam ranah intelektual mereka ini memiliki fanatisme bahwa pendekatan terhadap Islam yang mereka dapatkan dari kitab kuning abad pertengahan itu. Kitab-kitab yang dituliskan pasca era keemasan Khilafah Abbasiyah, era dimana nalar dimatikan dan para bangsawan dengan angkuhnya menyatakan diri sebagai bayangan Tuhan, kitab yang mereka sanad-sanadkan dan diklaim bermula dari Nabi Muhammad Saw. Padahal tentulah kitab-kitab teosofis itu, berasal dari sinkritisme Islam dengan ajaran Arya bangsa-bangsa. Masa dimana Islam telah menakhlukkan kawasan inti dari India yang sekarang bernama Pakistan, kawasan dimana dogma feudalisme paling akut di Dunia berpusat. Lalu dengan pemahaman tauhid yang tercampur antara monoteisme dengan animisme, panteisme dst itu, dengan konsep-konsep kalam A la kaum budak dari India itu dimana orang-orang marhaen, orang lapar, orang melarat disuruh melupakan dunia yang menderitakan mereka untuk memfokuskan diri pada kebahagiaan akherat supanya nanti dikehidupan kekal mereka tidak kembali menjadi susah, menjadi lapar, menjadi menderita sebagaimana di dunia.

Sadarilah nikmat Tuhan paling besar adalah nikmat menjadi manusia yang berketuhanan, sedangkan akherat itu adalah ciptaan/makhluk dan sebaik-baik makhluk adalah manusia. Satu-satunya metafisika hanyalah Allah, sedangkan seluruh makhluk termasuk jin, malaikat, iblis dan akhirat itu adalah material, dan sebaik-baik material ciptaan Allah adalah manusia. Lalu kau tukarkan kemanusiaanmu dengan perbudakan; Kebebasanmu dengan dogma-dogma sesat tentang akhirat; Ketauhidanmu dengan berhala-hala kalangan ningrat yang mengklaim sebagai kelas istimewa, padahal para Nabi menyamaratakan "kelas" dirinya dengan para pelacur; Membiarkan hak persaudaraanmu dan kehidupan sosialmu hancur akibat dampak dari kerusakan-kerusakan imbas pertempuran antar mereka, Gerwani yang miskin itu diperkosa dan dibunuhi cuma karena dia terafiliasi komunis yang dimusuhi Amerika (Pahamilah ketika gajah dan gajah berkelahi korbannya selalu kancil); Kemudian membiarkan dirimu menjadi kacung-kacung yang bahkan tidak bisa bersuara, menjadi hamba-hamba yang terbelenggu sebagai individualisme berkat terhegemoni kekuasaan feudalis; Tidak memiliki harga diri karena lingkungan ekonomi dan sosialmu dimonopoli oleh para ningrat-ningrat dan borjuis itu, sehingga kau langsung terbanting tunduk pasrah menjadi budak pada seorang bayi borjuis yang baru lahir karena tidak ada keadilan persaingan dari penguasa feudal itu untuk mengatur persaingan hak milik rakyat dalam republik yang dibatasi.

  Merdekalah-merdekalah saudaraku, merdekalah pikiranmu, untuk kemudian dapat kau berdakwah menyebarkan kemerdekaan pada orang-orang, merdekakan pikiran orang-orang untuk kemudian kau bisa trias revolusi (aksi massa, gerilya, dan diplomasi yang berjalan berurutan) yaitu revolusi bergerak dalam aksi masa untuk kemerdekaan sebagaimana yang dilakukan Soekarno, berlanjut berperang secara grilya untuk kemerdekaan sebagaimana yang dilakukan Soedirman, hingga mendapatkan bergaining dalam diplomasi kemerdekaan kolektif bangsamu sebagaimana yang dilakukan Syahrir dan Hatta. Sebab tidak ada kemerdekaan utuh yang dicapai seorang diri. Hidup sendiri-sendiri dalam masyarakat feudal itu, pikiranmu mungkin bebas, tapi suaramu pasti di belenggu, ekonomimu pasti dimonopoli, sebab sistem feudal adalah sistem kolektif maka menumbangkannya juga harus secara kolektif nasional.  Namun kemerdekaan suatu kawasan, tidaklah harus bertumpahan darah, sebagaimana revolusi Saudi, revolusi Iran, dan revolusi Bolshevik. Bila dakwah (propaganda) berjalan dengan lancar, maka cukup aksi massa layaknya futuhat Makkiyah, sudahlah cukup untuk memenangkan suatu revolusi.

Selanjutnya kembali, feudalisme tauhid Islam ortodosks yang menjadi pijakan feudalisme sosial itu pastilah akan berakhir pada feudalisme politik dan ekonomi. Jangan harap ada yang membicarakan tentang kesetaraan, tentang kebebasan, tentang persaudaraan dalam kooperasi disana. Dalam liberté, égalité, fraternité itu, satu katapun tidak ada yang terkriteriakan pada diri mereka. Orang-orang Islam ortodoks itu tidak bebas berpikiran, orang-orang ortodoks itu tidak punya kesetaraan diri karena mereka hidup dalam kasta-kasta A la Hindustan, orang-orang itu juga tidak mengenal persaudaraan sebab feudalisme hanyalah seni primordial untuk menjebak kalangan proletar, kalangan budak, kalangan marhaen itu agar tidak membrontak, merasa senang walau dalam perbudakan, kemudian rela mati dan membusuk bersama anak-anak keturunannya selama-lamanya dalam perbudakan aristokrasi, hingga mengiklaskan jiwa dan raganya sampai anak-anak perempuannya digagahi dalam penjajahan bangsa-bangsa kafir. Sebab ningrat-ningrat aristokrasi agama itu, membuat Belanda datang ke Indonesia tidak perlu membawa ide-ide primordial untuk didakwahkan. Mereka hanya perlu datang, membayar para ningrat maka perbudakan primordial kuno A la Islam Hindustan mendapat Tuan barunya melalui jalur feudalisme ningrat dan intelektual/ cendikiawan Islam bayaran. Tapi kan mereka melawan, mereka melawan setelah VOC ditumbangkan oleh Napoleon sehingga uang yang disalurkan VOC pada mereka berhenti dan Daendels mencabut hak-hak istimewah mereka dalam demokrasi Napoleon. Sehingga mereka yang sudah terbiasa hidup enak diatas penderitaan rakyat, memberontak pada Belanda atas penjajahan di Nusantara yang sebenarnya sudahlah berlangsung selama beribu-ribu tahun sejak zaman raja-raja Hindu yang mereka puja-puja itu singgasananya, mereka puja-puja aliran darah birunya ketika masih bertahta.

Ingatlah ketika Hulagu Khan akan menghancurkan Baghdad, seorang utusan Khalifah datang dari kota yang dikenal di masa al-Ma'mun, kota yang merupakan pusat dari peradaban Dunia mengirimkan utusan dungu yang berkata "bila Khalifah mereka dibunuh maka Dunia berserta isinya akan binasa." Itukah ajaran Islam?. Kejumudan kronik itulah yang ketika itu berada di Baghdad, andai kitab-kitab di Bait al-Hikmah yang mayoritasnya pasti kitab-kitab sihir, syirik, dan doktrin-doktrin itu tidak binasa di sungai Tigris. Maka kini kitab-kitab itu akan dilabeli sebagai kitab kuning oleh kalangan Ortodks. Kita pun kini akan menemui mereka sebagai manusia-manusia yang mengaku mengikuti ajaran Nabi Muhammad Saw, sebagai makhluk paling terbelakang, paling tidak bernalar, dan paling sulit sembuh di muka bumi melebihi orang-orang Hindustan kini.

Nabi Muhammad itu, dia itu Nabi tapi dirinya tidak pernah memandang bahwa dirinya melebihi orang lain secara birokrasi, dia memanggil rakyatnya dengan sahabat (egaliter). Nabi Muhammad itu memandang perbedaan jabatan sebagai perbedaan fungsional yang berko-operasi membangun peradaban. Bila dia kehilangan jendralnya, bila dia kehilangan ahli pembuat senjatanya, bila kehilangan ahli diplomasinya, ahli perdagangannya, ahli perangnya. Hal tersebutlah yang akan membuat kerugian pada peradaban yang dirinya bangun itu. Sebab Nabi Muhammad Saw memandang bahwa antara dia dan tukang tenun tidak ada perbedaan kasta walaupun dialah pimpinan negara. Sebab tanpa tukang tenun maka rakyatnya tidak berpakaian, tanpa ahli senjata maka persenjataannya akan terbelakang. Nabi yang sangat rasional ini, hanya melihat ada perbedaan fungsi dalam peran bernegara, bukan perbedaan kasta. Maka mustahilah kalau mereka berkata ajaran feudalisme dalam kalam, feudalisme sosial dan ekonomi itu bersumberkan dari ajaran seorang Nabi yang merakyat, yang selalu memutuskan dengan musyawarah mufakat A la orang-orang desa, dimana antara dirinya dan Bilal tidak ada kelas saat bermusyawarah. Tidak ada dalam pikiran Nabi bahwa dirinya lebih tinggi drajatnya dari Bilal, bahwa dia itu manusia yang ada "ruh Muhammadnya" sehingga dia menjadi manusia setengah dewa, ruh Muhammadnya itulah substansi dari semua kehidupan di dunia. Ingatlah saudara, bahwa agama yang diajarkan Nabi Muhammad adalah ajaran pembebasan, ajaran yang menghargai kodrat perbedaan, ajaran yang menolak seluruh doktrin tentang darah biru, ajaran yang mengutamakan mutu dan ketakwaan sebagai kualifikasi seseorang dalam bekerja.

Setelah membongkar feudalisme dalam Islam ortodoks. Maka pahamilah kodifikasi hadist itu, yang membuat kitab hadistmu berbeda dengan kitab hadist sana dan sini adalah produk budaya, produk muamalah maka perbedaan kodifikasi sana dan sini adalah ja'iz. Apalagi kodifikasi itu memiliki alasan-alasan historis, alasan-alasan antropologi mengapa mereka melakukan kofikasi hadist sendiri. Misalnya lahirnya kitab al Kâfi, kitab Ma La Yahdluruhu al Faqih, kitab al-Tahzib, dan kitab al-Istibshar itu adalah keniscayaan historis. Oleh karena itu perbedaan sumber fiqh bagi ummat Islam hingga kini adalah keniscayaan yang tidak boleh menjadi bahan konflik apalagi takfiri. Hingga nanti, di depan kita memiliki kodifikasi hadist baru yang melakukan kritik pada hadist-hadist nabi dari seluruh sumber-sumber hadist berbagai aliran.

Hingga akhirnya nanti, ummat Islam memiliki sumber hadist yang satu, sebagaimana syahadat kita yang juga satu. Dalam rangka mencapai itu harus ada mufakat, (You can't force people to be like you, because your thinking has lots of logical errors, it could be that you are the group with the most short circuits). Maka untuk mencapai kesatuan Dunia Islam dalam landasan keilmuan, dibutuhkanlah intropeksi diri dari masing-masing faksi terutama faksi Islam ortodoks yang feudal, agar kemudian dekonstruksi doktrin-doktrin peninggalan Salahuddin al-Ayubi itu tentang aliran-aliran Islam, mazhab-mazhab fiqh, paham-paham lama itu dapat dikritisi, lalu terjadilah rekonstruksi the manual book of hadith kembali yang target besarnya adalah rekonstruksi seluruh tafsir-tafsir ajaran Islam yang disesuaikan dengan dialektika Dunia Modern. Inilah solusi radikal paling logis untuk masalah radikal bersatunya ummat Islam Dunia di masa depan dalam satu "hukum" pasca terpenggalnya "kepala Sayidina Husein" di Karbala sebagai lonceng awal perpecahan ummat Islam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun