Mohon tunggu...
Dr. M. Agung Rahmadi
Dr. M. Agung Rahmadi Mohon Tunggu... Psikolog - Dr. M.Si. Kons

Psikolog

Selanjutnya

Tutup

Politik

Persaingan dalam Republik: Dari Antar Sosialis Menuju Selebralis (Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si)

24 April 2024   23:27 Diperbarui: 8 Juni 2024   08:16 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sosialisme itu, buruh adalah golongan yang disuarakan hajat hidupnya oleh para sarjana seperti Lenin, Hitler, Mao, Khomeini, Soekarno dst untuk menentukan arah negara, bukan kelas buruh itu sendiri yang disuruh berpikir wong kelas buruh kok di suruh mikir. Aidit itu sarjana tidak ada yang meragukan Aidit itu jenius tapi ketika dia menyamaratakan semua orang tanpa ada apresiasi dirinya pada kaum terdidik yang berbeda bendera politik itulah awal petaka partainya (walau itu tidaklah suatu dosa yang membuat Harto layak menggenosida lebih dari 2 juta simpatisan PKI secara biadab). Itulah rusaknya otak pergerakan PKI, makanya mereka dikebiri oleh para sarjana. Wong Muhammadiyah dan Persis itu dakwah pembaharu ingin merangkul kaum-kaum proletar untuk bisa menjadi ulama' tanpa ada aristokrat agama dan sanad-sanad ga jelas, HMI pun sama ingin mengkaderisasi setiap muslim tanpa pandang kelas sosial (sebelum era Nurcholish Madjid), malah oleh PKI Aidit para sarjana-sarjana ini dihadap-hadapkan dalam konflik sosial dengan buruh kasar dari pabrik dan perkebunan yang tidak terlatih berpikir dan sumbu pendek. Sosialis sejati adalah seperti sosialisme Hitler, yang orientasinya mengeluarkan bangsa Jerman dari garis kemiskinan/keproletaran. Bukan mengeksploitasi dan mempolitisasi kaum proletar untuk memimpin bangsa. Bagaimana bisa anda suruh orang-orang yang instingnya tajam dan nalarnya tumpul, orang-orang yang masihlah setengah kebinatangan untuk dirangkul menjadi manusia sebagai pimpinan bangsa; Pastilah mereka menjadi korup.  Elit adalah elit, tidak ada proletar menjadi elit. Sosial republik, sosial demorat, sosial revolusi adalah perjuangan elit yang pro pada proletar. Muhammadi Saw pro pada fakir miskin, untuk disejahterakan terlepas dari kemiskinannya. Terlepas dari kelas buruhnya. Jadi perbedaan ideologi politik adalah perbedaan golongan apa yang diperjuangkan, dan sejauh apa mereka akan memperjuangkan golongan tersebut. Bukan golongan bawah, orang bodoh, orang bar-bar hanya sebab punya banyak masa, ikut organisasi kepemudaan sana dan sini lalu disuruh mimpin negara. Anda ingin membangun republik gengster?. Tragisnya kini siapa pimpinan MPR kita. Aku bicara tentang pembusukan yang sedang berjalan.

Perlu diketahui hampir seluruh organisasi masyarakat kita yang berdiri diawal-awal Indonesia merdeka adalah nasionalis sosialis, sebab merupakan cabang-cabang pemikiran Syarikat Islam Cokro. Bahkan Masyumi adalah sosialis sebelum kesurupan Ikhwanul Muslimin; Kalaulah mereka saat itu sama-sama sosialis yang memperjuangkan kaum proletar tapi kenapa tidak bersatu?, kalaulah mereka saat itu sama-sama komunis kenapa tidak bersatu, Hatta, Soekarno, Tan Malaka, Syahrir, Hamka dst, itulah ketamakan, keserakahan manusia. Para petinggi kita di masa itu tidak lagi memikirkan kemajuan bangsa, tapi kursi, kelompok, etnik, dan perutnya masing-masing. Pikirkan saja ide mereka sama, semua sama-sama sosialis, sama-sama anak syarikat Islam modern (Abduh). Tapi terpecah hanya karena yang disana Jawa yang disini Minang, yang disana berjabatan yang disini tidak kebagian jabatan, yang disana populer yang disini mulai meredup. Ketika orang-orang sudahlah hanya memikirkan eksistensi dari reputasi semata, melupakan bahwa mereka sudahlah memenangkan ide-ide kemerdekaan dari feodalisme Belanda, dengan sosialisme dan Islam revivalisme. Mulailah kaum kiri, menggadaikan kekiriannya dengan membawa ideologi khilafah. Pikirkan merekalah, anak-anak Muhammad bin Abdul Wahab, anak-anak Abduh, anak-anak Iqbal, anak dari Ahmad Dahlan dan Cokroaminoto yang menumbangkan hegemoni feodalisme Sunni Ottoman dengan nasionalisme dan modernisme.  Malah mau mendirikan kembali khilafah seperti Ottoman.

Efek dari kemunafikan masa lalu, menghancurkan kaum ide orde lama dan menaikan orang seperti Soeharto yang berpandangan tenda besar. Tenda besar artinya politik tidak lagi berideologi. Pasca reformasi semakin menjadi-jadi, karena reformasi tidaklah punya akar filosofis kenapa harus jadi demokrasi Amerika, kenapa presiden haruslah dicoblos langsung yang artinya mandat pemerintah bukan dari parlemen lagi. Sehingga parlemen kehilangan otoritas mandat rakyat mengkritik pemerintah. Jadi karena parlemen hanyalah badut dalam era reformasi. Maka isinya bukanlah orang-orang pintar yang bertugas mengkritisi pemerintah yang dipilihnya. Akhirnya kini, orang-orang ga jelas sudahlah banyak yang akan masuk ke parlemen. Mulai dari buruh-buruh yang baru pulang jadi TKI, pedagang sembako modal KUR, dan artis-artis (tak bermutu) sebab mereka memiliki dua variabel yaitu ada uang dan terkenal. Harusnya partai politik pemerintah wajib berbentuk partai tunggal layaknya partai komunis Cina dan partai tersebut tidaklah boleh ada di parlemen. Partai pemerintah fungsinya hanyalah melahirkan kandidat-kandidat putra mahkota bangsa untuk nantinya diserahkan pada parlemen siapa-siapa saja yang akan dipilih. Parlemen memiliki mekanisme parpolnya sendiri, persaingan fraksi hanya ada di parlemen. Sehingga parlemen dan pemerintah benar-benar menjadi kamar yang berbeda. Bukan parlemennya Golkar dan pemerintahnya Golkar seperti Orde Baru, ataupun Parlemennya PDI pemerintahnya PDI seperti era presiden ketujuh ini.

Saya menyarankan, setidak-tidaknya kedepan anggota tingkat DPR RI, presiden, menteri haruslah seorang terdidik minimal setingkat Doktor/S3 dari kampus bereputasi. Agar negara ini kedepannya tidaklah punah karena kursi pejabatnya di isi oleh kebanyakan orang-orang tolol. Pahamilah parlemen sejatinya adalah kumpulan para filsuf yang mewakili rakyatnya dari Sabang sampai Merauke. Jumlah Dapil DPR RI pun haruslah disetarakan antar provinsi. Sehingga Jawa tidaklah menjadi arogan sebab suara Jawa menjadi sama saja dengan suara parlemen NAD dan Parlemen Papua Barat.  

Menjadi pertanyaan, mengapa rakyat memilih orang-orang bodoh duduk di parlemen dan pemerintahan. Sebab partai tidaklah memasang barrier untuk siapapun bisa bergabung dengan partainya.  Namun memasang barrier, sebagai persyaratan menjadi pejabat/seorang caleg haruslah memiliki modal kampanye sekian dan sekian. Pemasangan threshold terhadap partai  yang bisa mencalonkan presiden dan wapresnya turut pula menjadi alasan besok kita akan sangat malu ketika melihat foto wapres di ruang kantor kita. Bangsa besar dengan nenek moyang Phitecantropus Erectus (Manusia Jawa) yang merupakan ras anak Adam Tertua yang masihlah eksis dimuka bumi ini, berjumlahkan 300 juta jiwa dipimpin oleh seorang badut.

Lihatlah parpol kita di isi orang-orang dungu, penipu, mafia yang hanya karena memiliki uang untuk menyuap rakyat partai mencalonkan mereka sebagai kandidat pejabat politik negara.  Kemana orang-orang baik?. Kemana para orang-orang ide. Mereka terdegradasi dari persaingan karena parpol yang lulus threshold tidak butuh calon beride tapi calon berduit. Maka siapapun yang menjadi pimpinan republik kedepan dipastikan secara nalar adalah para budak Caebol. Akar dari kolonialisme internal Yahudi di Eropa selama 500 tahun.

Siapa yang dapat mengkebiri sistem ini?. Tentulah orang-orang revolusioner seperti Napoleon dan Hitler. Dia masuk kedalam sel demokrasi dungu Prancis, menjadi salah satu direktur dalam pemerintahan Prancis. Untuk kemudian mengangkat dirinya sebagai kaisar Prancis, dan menghancurkan para invisible-hand seperti VOC, kaum santo-santo Ortodoks, feudalisme gereja, Freemasonry dst yang mengendalikan pimpinan Eropa sebagaimana kini Caebol menjadikan pimpinan Amerika, Indonesia dan Korea Selatan sebagai bonekanya.

Inikah kemerdekaan?. Kita melepaskan diri kita dari Belanda yang menjajah kita dengan pikiran dan ketakutan akan ancaman militer. Kedepan pikiran kita tidaklah lagi takut pada ningrat, tapi takut pada orang berduit. Sebab bila dulu para kapitalis bersembunyi dibelakang otoritas kacung-kacung para ningrat yang dijadikan tumenggung oleh VOC. Sekarang kapitalis langsung membentuk korea-korea keparat sebagai kaki tangannya. Tidaklah ada lagi ningrat sebagai penentu kelas sosial, yang ada hanyalah duit sebagai penentu kemenangan politik. Proletar terdiam, mereka bingung sudahlah tidak ada lagi kaum feodal di masyarakat Urban tapi mengapa mereka tidak juga merasa merdeka. Sebab sesungguhnya manusia itu sama saja. Ningrat dan proletar yang menjadi kacung kapitalis sama-sama tirani. Sebab ia mengabdikan dirinya pada setanisme.

Seorang republican belum tentu dia tidaklah tirani, seorang diktaktur seperti Hitler dan Soekarno belum tentu juga dia tirani karena tirani adalah pimpinan jahat yang sedang memimpin negara. Sedang seorang hebat seperti Alexander the Great, Suleyman al Qanuni, Napoleon Bonaparte walaupun mereka bukan "republikan" tapi mereka adalah pejuang kemerdekaan rakyatnya. Sebab mereka adalah orang baik, yang ingin kebaikan pada bangsanya. Melepaskan belenggu kemiskinan dan kebodohan atas bangsanya untuk selama -lamanya. Bandingkan dengan pimpinan kita kini, dia presiden dalam Republik, dia naik dalam pilih langsung, tapi dia menancapkan Neo kolonialisme dan imperialisme kapitalisme bangsa-bangsa imigran dan asing pada bangsanya sendiri. Hanya demi, mendapat cukong keuangan supaya bisa bertahta dia dan anak turunannya selama-lamanya dalam politik demokrasi Amerika dungu di republik kita ini.

Inikah demokrasi Plato?. Demokrasi sejatinya adalah kebebasan berpendapat, dan keputusan dalam mufakat; Itu saja. Menjadi pertanyaan apakah Inggris itu tidak lebih demokrasi dari negara ini hanya karena dia monarki?. Inggris adalah contoh dari demokrasi Yunani sejati. Kita butuh sosok yang dikultuskan agar dapat memimpin perang dalam negara seperti Raja ataupun Nabi/Imamah. Kita juga butuh pelaksana pemerintahan seperti presiden Iran dan Perdana Menteri Inggris, kita juga butuh parlemen yang murni parlemen sebab tidak ada partai diparlemen yang sama dengan partai pemerintahan. Parlemen yang sama dengan parlemen Athena.

 Orang-orang dungu akan bertanya, ini adalah suatu utopia karena terlalu filosofis. UUD adalah barang filsafat hukum, sebab dia barang filsafat hukum maka dia juga bisa dibatalkan dengan cara-cara legal. Itu sebabnya kita butuh strong leadership yang menyusup disistem rusak untuk kemudian memperbaikinya secara politis berbasiskan hak-hak prerogratif/istimewanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun