"Seni tertinggi adalah klasik, teori terkuat adalah teori yang berhasil menjadi "teori klasik" bukan jadul".Â
Bila Abu Malik dan Jenghis Khan saja, hingga kini kuburannya tidak dijumpai sebab takut dirusak seperti raja-raja dinasti Umayyah yang mayatnya digali dari kubur dan dicambuki oleh anak buah Abu Saffah Abbasiyah.Â
Ada-ada saja dosen sosiologi dengan ketenaran sekelas Ade Armando masih demo dan gagal memprediksi gejala psikologi massa. Namanya saja demo mahasiswa muda, jadi semua yang sudah pensiun jadi mahasiswa seharusnya dibalik layar.
 Di saat dosen-dosen lain mengkaderisasi mahasiswanya dengan doktrin-doktrin dia malah berprilaku regresi menjadi mahasiswa dengan segala atribut sosial didirinya. Inilah korban propaganda politik blusukan Jokowi sebuah fenomena media yang belum teruji keterandalannya namun banyak dipraktikan politikus populer. Kalau beruntung anda jadi Jokowi, tidak beruntung jadi Wiranto, bila naas jadi Kadafi, Mussolini dan Kennedy.Â
Teoritikus dan tokoh sosial terkemuka yang cerdas seperti Marx, Lenin, Hitler, Khomeini, Tan Malaka dst mustahil muncul ditengah ribut arus bawah, sebab mereka tahu tulisan-tulisan mereka pasti dibaca dan juga sadar banyak musuh politiknya yang berkeliaran, maka mereka berorasi dan menulis dengan sembunyi-sembunyi sebagai pemantik dinamika-dinamika sosial yang terjadi hingga memiliki "massa yang cukup",Â
lalu bergerak secara terbuka (itu juga yang dilakukan Nabi Muhammad) tetapi itu pun tetap dengan taktik "bergelap-gelap dalam terang dan berterang-terang dalam gelap".Â
Bila intelektual (general) mendapatkan ketenaran bukan dari kerumitan karya-karyanya tetapi dari komedi-komedi di sosial media, akhirnya tingkat "kepicikannya" (isi kepalanya) tidak seimbang dengan ketenarannya.Â
Para ilmuan yang tenar harus beralih dari kritik nalar yang sekedar aksioma masuk keranah analisis berdasarkan teorema yang empirik mau itu miliknya sendiri ataupun orang lain agar tidak hanya jadi komentator yang mengamati fenomena aktual, tanpa bekal kajian teoritik memadai (cuma modal mantik).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H