Zaman "post-truth" adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan era di mana fakta-fakta tidak lagi menjadi dasar utama dalam membentuk pandangan dan sikap seseorang. Pada era post-truth, opini dan perasaan individu sering kali diutamakan dan dianggap lebih penting daripada fakta yang sebenarnya. Post truth. Frasa yang dipopulerkan tahun 1992 oleh Steve Tesich dalam tulisan berjudul The Government of Lies. Dalam artikel yang dipublish di majalah The Nation tersebut, Tesich menulis bahwa "kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan ingin hidup di dunia post truth". Tulisan tersebut merupakan bentuk ungkapan kegelisahan Tesich atas propaganda negara-negara yang terlibat dalam Perang Teluk di awal dekade 90-an. Memang harus diakui propaganda negara-negara yang berseteru saat itu sangat membingungkan publik global. Kebenaran dan kepalsuan menjadi hal yang sulit untuk dibedakan.
Kemudian di tahun 2004, Ralph Keyes bersama komedian Stephen Colber mempopulerkan istilah yang kurang lebih sama: truthiness, yaitu sesuatu yang seolah-olah benar, padahal tidak benar sama sekali. Puncaknya adalah di tahun 2016 saat Donald Trump mengikuti pemilihan presiden di Amerika, dimana para voter di negara Paman Sam bahkan publik global terpolarisasi dan dibingungkan oleh berita-berita maupun opini-opini yang beredar. Metode propaganda firehouse of falsehood-nya Donald Trump menciptakan kondisi post truth yang menggemparkan. Sampai-sampai, kamus Oxford menobatkan post truth menjadi word of the year, dan mendefiniskan post truth sebagai kondisi dimana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan emosi dan keyakinan personal.
Sederhananya zaman post-truth adalah zaman yang dimana suatu kebohongan dapat menyamar menjadi suatu kebenaran dengan cara memainkan suatu hubungan emosional atau suatu perasaan.
Contohnya : Organisasi  A yang dimana memiliki anggota sedikit membuat suatu kebohongan agar organisasinya banyak anggota, dengan membungkus kebohongan itu seolah olah suatu kebenaran yaitu dengan membandingkan secara diskriminatif tanpa informasi yang valid.
Sepakat dengan pernyataannya Ali bin Abi Thalib"Kebenaran adalah pedang; tetapi pedang tanpa tangan yang mengayuninya tidak bisa memotong apa pun. Sebaliknya, tangan tanpa pedang adalah tidak berguna. Kebenaran tanpa strategi adalah kehilangan, dan strategi tanpa kebenaran adalah kecelakaan."
Melihat Indonesia yang sekarang sepertinya kita tinggal menunggu celakanya, dimana bukan kebenaran yang banyak di sebarkan tetapi kebohongan yang di bungkus dengan strategi agar terlihat benar semata mata untuk kepentingan individual, karena fenomena Post truth di indonesia sampai sekarang semakin menjadi jadi. Dimana orang menganggap suatu kebohongan adalah suatu kebenaran, yang padahal kebenaran yang mereka maksud belum mereka kaji secara mendalam apakah itu benar atau tidak atau benar dikarenakan ada hubungan emosional atau suatu perasaan. kebohongan sekarang sangat dibungkus sedemikian rupa agar menjadi suatu kebenaran, claim benar dan sesat terjadi dimana-mana seolah kebenaran itu kehilangan esensinya, dan kebenaran itu bersifat abu-abu, seolah suatu kebohongan menjadi pekerjaan sehari-hari. Â
Ketika kita melihat sedikit dalam kaca mata politik, khususnya di Indonesia antar lawan politik itu saling menjatuhkan, Â seperti menjatuhkan lawan politik dengan cara beradu kebohongan di media sosial yang di claimnya suatu kebenaran atau adanya buzzer yang menyebarluaskan kebohongan demi keuntungan partai atau keuntungan kelompok tertentu atau keuntungan pribadi. Kepentingan yang banyak di gemborkan sekarang bukan menjawab kepentingan kepentingan individu yang ada di masyarakat, tetapi kepentingan pribadi yang haus akan kekuasaan tanpa melihat dampak dari kepentingannya itu. membawa narasi solidaritas, padahal demi kepentingan individualitas.
Indonesia tidak akan maju kalo orang jujurnya semakin sedikit atau mungkin Indonesia akan hancur karena kebohongan sudah mendarah daging di tubuh bangsa ini, bohong kita mau bangsa ini maju, bohong kita pengen bangsa ini sejahtera, bohong pengen bangsa ini adil. mungkin kita bernegara sekarang ini hanya bohong bohongan, kayaknya itu yang mungkin harus dilabeli bangsa ini. Kita bisa melihat bahwa pemimpin di Indonesia hampir semuanya bisa di bilang tidak jujur, contohnya kita bisa melihat korupsi yang merajarela, bahkansemakin taun semakin banyak yang namanya koruptor. Bagaimana bangsa ini bisa maju, keinginan kita bangsa ini maju adalah suatu kebaikan tapi ketika keinginan itu tidak selaras dengan realita yang ada banyaknya kebohongan daripada pemimpin yang ini menyebabkan indonesia ini tidak maju dalam al-qur'an Allah nyebutkan bahwa yang haq itu tidak akan menyatu dengan yang bathil QS. Al-Baqarah 42 . Â
Adanya suatu kebohongan yang dilakukan oleh para pemimpin pemerintahan menyebabkan legitimasi masyarakat terhadap pemerintah berkurang dan juga kita melihat propaganda kebohongan yang dilakukan di media terus merajalela sehingga menyebabkan polarisasi antar masyarakat. Â Maka inilah yang disebut post-truth, informasi yang tidak akurat atau mengandung propaganda dapat dipercayai lebih banyak orang daripada fakta yang sudah terverifikasi.
Ada beberapa solusi mungkin yang bisa ditawarkan dalam zaman post-truth ini:
1. pemikiran kritis
 Dorong orang untuk berpikir kritis dan mengevaluasi informasi dari berbagai sumber sebelum membentuk opini atau mengambil keputusan.
2. Tingkatkan literasi media
Mendidik masyarakat tentang cara mengidentifikasi berita palsu dan disinformasi, serta mempromosikan literasi media di sekolah dan universitas.
3. Pengecekan fakta
Membentuk organisasi pemeriksa fakta dan mempromosikan pemeriksaan fakta di media untuk membantu orang membedakan antara fakta dan fiksi.
4. Transparansi
Dorong transparansi yang lebih besar dalam politik, media, dan institusi lain untuk mempromosikan kepercayaan dan akuntabilitas.
5. Dialog
Dorong dialog yang saling menghormati dan konstruktif antara individu dengan perspektif berbeda, untuk mempromosikan pemahaman dan menjembatani perbedaan.
6. Peraturan
Pemerintah dapat menerapkan peraturan untuk mencegah penyebaran informasi palsu dan melindungi warga negara dari informasi yang salah.
7. Empati: Mempromosikan empati dan kecerdasan emosional untuk membantu orang memahami perspektif orang lain dan menghindari hanya mengandalkan keyakinan dan emosi pribadi.
Solusi ini memerlukan upaya kolektif dari individu, institusi, dan pemerintah untuk mengatasi akar penyebab post-truth dan mempromosikan masyarakat yang lebih terinformasi dan rasional.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menjadi kritis dan cerdas dalam mengevaluasi informasi yang kita terima, terutama di era informasi digital yang serba cepat dan mudah. Kita harus berusaha untuk memperkuat literasi informasi dan kemampuan kritis dalam memproses informasi, sehingga kita dapat membedakan antara fakta dan opini, serta menghindari penyebaran informasi yang salah atau menyesatkan.
Terimakasih
semoga bermanfaat
Referensi
Keyes, Ralph. 2004. The Post Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life. St. Martin's Press: New York.