KUIS 14
Diskursus Korupsi Pajak: Antara Res Privata  Dengan Res PublicaÂ
Diskursus mengenai  korupsi pajak melibatkan dua konsep penting, yaitu Res Privata dan Res Publica, yang masing-masing memiliki makna dan implikasi berbeda dalam pengelolaan sumber daya publik.
Res Privata merujuk pada kepentingan pribadi atau harta milik individu. Dalam konteks pajak, ini berarti bahwa beberapa individu atau perusahaan mungkin lebih mengutamakan keuntungan pribadi daripada kewajiban membayar pajak. Mereka mungkin melakukan praktik penghindaran pajak atau bahkan korupsi untuk mengurangi beban pajak mereka. Hal ini menunjukkan kecenderungan untuk mengutamakan kepentingan pribadi daripada tanggung jawab sosial.
Res Publica merujuk pada kepentingan publik atau barang publik. Pajak seharusnya digunakan untuk membiayai layanan dan infrastruktur yang bermanfaat bagi masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Ketika korupsi pajak terjadi, dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik disalahgunakan atau hilang, yang akhirnya merugikan masyarakat luas.
sering kali muncul ketegangan antara kedua konsep tersebut. Ketika individu atau badan lebih berfokus pada Res Privata, mereka mengabaikan tanggung jawab mereka terhadap Res Publica, yang dapat mengakibatkan kerugian bagi masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk menciptakan sistem yang mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pajak, sehingga kepentingan publik dapat terjaga dan korupsi dapat diminimalkan.
Indonesia disebut Republik karena keputusan yang diambil dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945. Dalam sidang tersebut, para tokoh nasional, termasuk Dr. Radjiman Wedjodiningrat sebagai ketua BPUPKI, membahas dan memutuskan bentuk negara yang akan dibangun setelah kemerdekaan.
Alasan Pemilihan Bentuk Negara Republik
1. Non-Feodal dan Non-Kerajaan
Para anggota BPUPKI sepakat untuk menolak bentuk pemerintahan feodal atau kerajaan yang mengutamakan kekuasaan turun-temurun. Mereka ingin menciptakan sistem pemerintahan yang lebih egaliter, di mana semua warga negara memiliki hak yang sama tanpa memandang latar belakang mereka.
2. Demokrasi
Konsep republik yang dipilih mencerminkan prinsip demokrasi, di mana kekuasaan berada di tangan rakyat. Hal ini sejalan dengan pemikiran para tokoh seperti Moh Yamin, Moh Hatta, dan Sutan Syahrir, yang menekankan pentingnya partisipasi rakyat dalam pemerintahan.