Mohon tunggu...
Muhammad Afif Effendi
Muhammad Afif Effendi Mohon Tunggu... -

Ingin selalu belajar, dan mulai menjadi penulis lepas. :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Gado-gado dan Kabar Berita

26 Februari 2016   21:21 Diperbarui: 26 Februari 2016   21:39 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pernah memakan atau paling tidak mendengar nama makanan gado-gado? Mungkin sebagian besar dari pembaca pernah atau bahkan sering memakannya. Gado-gado yang saya kenal, adalah makanan dengan irisan lontong sebagai bahan utama. Kemudian diberi campuran beragam jenis sayur, mulai dari kangkung, kecambah, kacang panjang, atau juga kubis. Semua jenis sayur yang telah dimasak ini lantas dibubuhkan di atas lontong. Tambahan bahan lainnya adalah irisan kentang rebus, irisan telur rebus. Ada juga yang diberi irisan tahu atau tempe goreng. Seporsi gado-gado akan lengkap dengan kerupuk disampingnya. Apakah sudah lengkap?

Ternyata belum. Harus ada bumbu yang disiramkan pada semua bahan tersebut. Bumbu ini adalah saus kacang yang sudah dihaluskan (untuk seterusnya saya menggunakan kata ‘bumbu’ dalam artkel ini). Beragam macam resep untuk membuat bumbu ini. Laku tidaknya dagangan seorang penjual gado-gado, bermula dari racikan bumbu yang dibikinnya. Lantas, apa hubungan antara gado-gado dan kabar berita? Sehingga saya memasangnya menjadi satu judul.
Dalam pandangan sementara saya, antara gado-gado dan kabar berita adalah sama. Lontong hanya akan menjadi lontong, tidak bernama gado-gado, jika tanpa bumbu. Demikian juga dengan kabar berita. Sebuah kabar atau berita akan hambar jika tidak berbumbu.  

Seorang Mak Comblang akan menambahkan bumbu-bumbu pada uraian tentang kepribadian kliennya agar laku dan mendapatkan jodoh. Seorang makelar tanah akan memuji nilai investasi secara berlebihan saat mendapati calon pembeli. Seorang sales promotion girl (baca: SPG) akan menurunkan derajat kecantikan dirinya demi memuji ibu-ibu pelirik barang yang dijajakan. Saat saya mengikuti seminar jurnalistik, pematerinya mengatakan bahwa berita yang disajikan oleh media dikemas se-bombastis mungkin agar menarik minat pemirsa. Pada akhirnya bumbu-bumbu digunakan untuk menambahkan ‘kedahsyatan’ kabar berita dan tujuan-tujuan tersebut.  

Saking “melasnya”, karena berkali disodori ‘kalimat tuduh’ akibat dari kabar berbumbu tentang diri dan pekerjaan, saya membuat status dalam BBM, bahwa saya sedang belajar memahami jika gado-gado itu tidak akan enak tanpa adanya bumbu. Begitu juga kabar berita. Tinggal kita harus mengetahui, bahwa bumbu itu punya kadar. Kalau terlalu banyak bumbu dalam sebuah kabar, ia akan berbelok menjadi hasut. Itu! [Afif E.]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun