Mohon tunggu...
Muhammad Addin
Muhammad Addin Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Penuh dengan tantangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena Fatherless: Membangun Kemandirian di Tengah Kehilangan

29 Desember 2024   19:07 Diperbarui: 29 Desember 2024   19:07 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Keluarga (Sumber: BaktiNews)

Satu dari tiga anak di dunia tumbuh tanpa kehadiran ayah dirumah. Data United Nations Children's Fund (UNICEF), pada 2021 menunjukkan bahwa sebanyak 20,9 persen anak-anak di Indonesia mengalami kondisi fatherless akibat perceraian, kematian, atau ayah yang memilih absen secara emosional. Namun, apakah kehilangan sosok ayah berarti kehilangan harapan dalam menjalani kehidupan? Artikel ini mengulas pengalaman emosional, tantangan sosial, serta bagaimana anak-anak fatherless dapat membangun ketahanan diri yang kuat.

Dampak Emosional Kehilangan Ayah

            Kehilangan figur ayah dapat meninggalkan luka emosional yang mendalam, terutama bagi anak-anak yang masih dalam proses pencarian jati diri. Ketika ayah tak lagi ada, baik karena kematian atau alasan lainnya, sering kali yang muncul adalah perasaan hampa dan kesedihan yang sulit dijelaskan. Pengalaman tumbuh tanpa figur ayah bisa menimbulkan perasaan kehilangan yang abadi seperti kekosongan yang tak mudah diisi oleh peran lain. Bahkan, dalam banyak kasus, anak-anak yang tumbuh tanpa ayah kerap merasa kurang lengkap dibandingkan dengan teman-temannya yang memiliki keluarga utuh.

            Penelitian yang dilakukan oleh Sung (2010) menunjukkan bahwa anak-anak fatherless 2 kali lebih mungkin mengalami masalah emosional dan perilaku. Hal ini tentu saja tidak mengherankan, mengingat peran ayah dalam menyediakan bimbingan emosional dan moral. Ketidakhadiran ayah juga dapat memengaruhi rasa percaya diri anak, terutama ketika harus menghadapi tekanan sosial di lingkungan luar.

Dampak Sosial: Tantangan yang Dihadapi

            Stigma sosial terhadap anak-anak fatherless masih sering terdengar, baik secara halus maupun terbuka.  Stereotip bahwa anak yang tumbuh tanpa ayah lebih rentan mengahadapi kegagalan akademik atau sosial sering kali membuat mereka merasa berbeda dan terasingkan dari lingkungan mereka. Masyarakat yang masih mengagungkan konsep keluarga tradisional dua orang tua kerap tidak sadar bahwa anak-anak fatherless juga bisa berkembang dengan baik jika diberi dukungan yang cukup.

            Dalam lingkup keluarga, ketiadaan ayah sering kali memaksa ibu untuk mengambil peran ganda sebagai pencari nafkah dan pengasuh utama. Tantangan ini bisa menjadi beban berat bagi ibu, tetapi juga memberikan kesempatan bagi anak untuk belajar nilai-nilai ketangguhan dan kemandirian. Anak-anak fatherless belajar dengan cepat bagaimana mengatasi kesulitan tanpa bimbingan ayah, terutama jika mereka harus mendukung ibu, kakak, atau adik nya dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

            Dukungan dari lingkungan luar, seperti teman dekat, keluarga besar, dan komunitas, menjadi elemen penting dalam membentuk ketahanan anak-anak fatherless. Dalam banyak kasus, kehadiran figur laki-laki lain, seperti kakek, paman, atau guru, bisa menjadi sumber bimbingan yang berharga. Mereka membantu mengisi kekosongan yang ditinggalkan ayah dan memberikan contoh perilaku yang bisa dicontoh.

Membangun Ketahanan Diri

            Meski kehilangan ayah adalah pengalaman yang berat, banyak anak-anak fatherless yang justru tumbuh menjadi individu yang tangguh dan mandiri. Ketidakberadaan ayah memaksa mereka untuk mencari sumber bimbingan lain, baik dari ibu, saudara kandung, maupun figur role model di luar keluarga. Mereka belajar pentingnya kerja keras, tanggung jawab, dan kemandirian sejak usia dini.

            Salah satu cara yang sering dilakukan oleh anak-anak fatherless adalah mencari role model alternatif, baik itu tokoh terkenal, guru, maupun mentor. Hal ini sangat penting karena setiap anak butuh sosok panutan yang bisa membantu mereka membangun karakter. Penelitian oleh Timpe dan Lunkenheimer (2015)  menunjukkan bahwa anak-anak fatherless yang memiliki mentor atau role model dalam hidupnya, 60 persen lebih mungkin sukses secara akademis dan sosial dibandingkan yang tidak memiliki.

            Selain itu, pengalaman hidup tanpa ayah juga membantu membentuk resiliensi atau daya tahan emosional. Dalam proses menghadapi kehidupan yang penuh tantangan, anak-anak fatherless belajar untuk tidak bergantung pada orang lain, melainkan pada kekuatan diri mereka sendiri. Ini bukan berarti mereka tidak membutuhkan bantuan, tetapi mereka lebih siap untuk menghadapi ketidakpastian dan rintangan yang muncul di masa depan.

Penutup

            Kehilangan sosok ayah memang memberikan tantangan yang besar bagi setiap anak. Namun, menjadi fatherless bukan berarti kehilangan harapan. Anak-anak yang tumbuh tanpa ayah dapat belajar banyak tentang kemandirian, ketahanan, dan kemampuan mengatasi rintangan. Dukungan dari lingkungan sekitar dan pencarian figur role model yang tepat bisa menjadi kunci untuk menjalani kehidupan yang penuh makna dan pencapaian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun