Mohon tunggu...
Muhammad abdul Rolobessy
Muhammad abdul Rolobessy Mohon Tunggu... Jurnalis - Editor

Bahasa mati rasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nafkah Anak Kecil, Di Bawah Payung Kota Ambon

3 Oktober 2024   17:00 Diperbarui: 3 Oktober 2024   17:12 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


SOREH--- matahari membelai di penghujung tembok-tembok hijau, di pelosok kiri dan kanan ada beberapa organisasi berinteraksi antara dimensi kerjanya otak. Setahu beta --- Ada yang diskusi, ada yang bercerita bohong. ada juga yang menatap kami dengan tertawaan dan cemoohan bohong fiksi  belaka.

Di laman kampus --- Institut islam negeri Ambon, ada seseorang anak kecil yang cukup antusias dengan mencari lebih banyak sumber untuk mencukupi keluarganya yang begitu kerap dalam mencari berbagai sumber rejeki. Ia sudah pasti anak kecil dalam potretan handphone yang beta genggam.

 Anak yang berkediaman di wara stain, kecamatan sirimau, kota ambon. Dia ini tak lagi asing di mata mahasiswa yang sedang menggarap ilmu dikampus hijau belang itu.--- yah sudah pasti dia adalah lelaki yang kuat, tegar, dan juga berakhlak baik. Sebab, ia tak sungkan untuk membantu keluarga dalam mencari rejeki.

Dengan pelbagai barang dagangan yang di tenteng olehnya, ia dengan nada yang garing tegas membuahkan hasil itu. ia selalu berteriak, "Gorengan-gorengan".beli gorengan!  kenapa ia berteriak gorengan? yah; toh sudah pasti lelaki kecil mungil ini penjual gorengan.

Dia selalu berjualan sampai di laman kampus soreh hari. Sebab ia---berjualan dengan berjalan kaki, ia menempuh banyaknya lorong, jiku-kejiku, namun ia tetap tegar berjibaku dengan suara lantan agar terdengar di telinga warga.

Anak ini selain berjualan untuk mendapat keuntungan, dia pasti juga ingin punya planning terbesar yaitu, uang saku jajan ke sekolah. Apakah anak-anak di maluku kerap tidak malu dan canggung seperti anak imut dan mungil ini? Pasti mereka malu, kenapa dalam tulisan ini beta tuangkan kata " ia mereka malu". kedalamnya, Sebab anak-anak di maluku dari pelbagai kacamata bahwa mereka selalu hidup dengan keterikatan uang-uang di bawa ketiak orang tua tanpa ada kata berusaha. 

Setelah matahari terbenam dan kami beranjak pergi dari halaman taman baca kampus, dan potret itu di kenang bersama tulisan saat matahari tenggelam. Mari rehat sejenak.

Sumber penulis: M. Abdoel rolobessy

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun