Setelah aku mendengar cerita rakyat itu, aku tak menyangka mereka sekejam itu kepadaku. Bapakku menikah lagi dengan gadis luar. Sampai dua kali bertukar pasangan. Dan hingga ia akan menjadi bangkai di kemudian hari, di makan cacing tanah atas perbuatanya yang tidak masuk akal itu.
Aku dibesarkan di keluarga dengan cinta, ibuku berprofesi guru dan ayahku adalah tamatan pegawai kantor boepati. Pada tahun sembila tujuh silam itu.beliau mengurus kami dan hidupnya menjadi petani selatan yang keras wataknya. Hidup tanpa belas kasihan pada tubuhnya sendiri.
Ketika aku berusia delapan tahun, aku mengayomi sekolah dasar, setiap pagi ibuku selalu saja dengan dalil di tempat ternyaman itu.
El, bangun sekolah sudah pagi.
Ia, bu. Sedikit lagi.
Aku selalu menjawab dengan nada yang begitu ringan, kalau bapaku tidak. Ia selalu saja berjalan ke kamar tidurku lalu, berbujuk ditelinga ku dengan dalil.
El, pi sekolah. Mau bapak punya uang lima rima ribu ini mau ka seng.
Sontak nilai angka yang besar, aku terburu-buru ingin mandi dan kenakan pakaian seragam putih dan merah yang kebalik dari raya indonesia itu. Setelah aku mandi dan sarapan di atas meja. Aku mulai bergegas ingin ke sekolah. Dengan sepupuku namanya vigo. Siapa itu vigo dia adalah seseorang kelaki berkulit sawo matang, alis tebal dan juga rambut agak ke Jawa'an.
Vigo... Vigoooo. Woe, mari ke sekolah sudah kita hampir terlambat ini. Oke gas, kami berdua selalu ke sekolah dengan bersama-sama, makan sepiring, tidur sebantal, kerjain PR pun juga sama, dan juga duduk selalu bersebelahan. hingga suatu ketik kami terpisah kebersamaan alur waktu kita di bangku SMA. Aku bertahan pada porsi belajar jurusan IPS sementara vigo ke jurusan IPA. Â Tetapi kami selalu kok, pulang bersamaan.
Namun keluargaku di akhir masa. Kenapa bisa?
Setelah daun menguning, senja sore itu adalah tamu yang paling di nanti para penikmat senja. Atau matahari terbenam ke cakrawala. Bapaku meninggal dan hidupku di amuk masa oleh beberapa planet di dunia.