Suatu pagi, sekitar bulan januari tahun yang lalu, seperti biasa saya mengajak anak lelaki saya yang berusia 3 tahun berjalan-jalan. Anak saya menggunakan sepeda roda tiga yang ada tungkai di belakangnya, tungkai untuk saya mendorong sepeda itu. Setelah sekitar satu jam keliling mengitari sebuah komplek pemukiman yang cukup tua di bilangan Pahoman Kota Bandarlampung, saya pun mulai menuju arah pulang. Saya mendorong sepeda menyusuri trotoar jalan. Ketika sampai di depan salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri di Jalan Gatot Subroto, sebuah mobil sedan kecil tiba-tiba naik ke atas trotoar tempat saya berjalan.
Sedan kecil itu berhenti tepat di hadapan saya. Sambil membuka kaca jendela, pengendara mobil tersebut mengeluarkan tangannya memberi aba-aba agar saya mundur karena dia hendak memarkir mobil di atas trotoar jalan. Saya sontak terkejut dan tak mau mundur. Pengendara mobil itu, seorang remaja perempuan berpakaian seragam SMA terlihat cemberut dan menyalakan klakson. Anak saya menangis. Seketika saya hampiri remaja itu dan memakinya. Seorang polisi yang berdiri tak jauh dari kami, tampak berpaling seakan enggan menengahi keributan yang terjadi. Saya hampiri polisi itu, dan dengan segera dia memerintahkan kepada si remaja untuk tidak parkir di trotoar tanpa bertanya perihal legalitasnya untuk mengendarai kendaraan bermotor.
Cerita di atas hanya sebagian contoh kecil dari perilaku warga kota yang menganggap ruang publik sebagai ruang privat, sehingga dengan semena-mena melanggar aturan yang ada dan tanpa sedikitpun memiliki perasaan bersalah. Trotoar jalan, sebagai ruang publik untuk para pejalan kaki, telah berubah fungsi menjadi tempat parkir, berdagang, dan berbagai aktivitas non-publik lainnya. Bila anda sempat berkeliling di Kota Bandarlampung, maka seketika anda akan melihat minimnya wahana bagi pejalan kaki.
Hotel, Restoran, Mall, Rumah Sakit mewah, sekolah-sekolah orang kaya, dan berbagai tempat komersil lainnya, dengan sekehendak hati mengubah trotoar jalan menjadi fasilitas parkir bagi kendaraan pengujungnya. Pemerintah Kota, yang dalam hal ini memiliki kewenangan untuk memelihara dan mengelola ruang publik, tampak tak berdaya. Jangankan untuk menambah ruang publik berupa taman, gedung pertunjukan, dan lainnya, menjaga agar ruang publik yang ada benar-benar terjaga fungsinya pun Pemerintah Kota tak sanggup.
Saya tak begitu tahu kondisi ruang publik di berbagai Kota di Indonesia, tetapi di Kota Bandarlampung yang saya tinggali, dapat dikatakan hampir sebagian besar ruang publik terkelola tidak sesuai dengan fungsinya. Bagi saya, selain tempat silaturahmi bagi warga kota, ruang publik juga mesti berfungsi sebagai tempat warga kota untuk mengekspresikan dirinya: baik secara kultural, sosial, maupun spiritual.
Ruang publik bagi saya tidak mesti melulu berbentuk arsitektural seperti taman ataupun gedung, tapi bisa juga berbentuk even-even kebudayaan dan kesenian yang berlangsung secara rutin dan terkelola dengan baik. Bila menjaga fungsi trotoar saja tidak mampu, maka saya pesimis Pemerintah Kota Bandarlampung dapat memiliki hasrat untuk membangun alun-alun kota, taman bermain anak, atau gedung-gedung pertunjukan sebagai ruang ekspresi bagi warga, apatah lagi Pemerintah mempunyai kehendak untuk membuat even-even kebudayaan yang bersifat rutin dan bermutu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H