Ketiga ideologi tersebut juga memberikan sumbangsih yang sangat berharga bagi kemerdekaan Indonesia. Menyingkirkan salah satu dari ketiganya akan membuat bangsa Indonesia berada di jurang perpecahan. Saling jegal, fitnah dan membunuh antar anak bangsa sangat dijaga oleh Soekarno agar tidak terjadi kembali. Lihatlah saat Soekarno menyampaikan pidatonya pada Rapat Umum Front Nasional di Istora Senayan Jakarta pada tanggal 13 Februari 1966.
Soekarno saat itu mengisahkan adanya 2000 pemimpin PKI yang dikirim ke Boven Digul oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Bahkan pernah pada suatu waktu,Soekarno menyaksikan bagaimana Belanda memenjarakan 10.000 pemimpin PKI. Mereka menderita, meringkuk di dalam penjara selama bertahun-tahun demi sebuah udara kemerdekaan yang kita nikmati sekarang ini. Bahkan Soekarno dengan cara rahasia menerima surat dari empat pimpinan PKI yang hendak dihukum gantung keesokan harinya oleh Belanda di Ciamis.
“Bung Karno, besok pagi kami akan dihukum mati di tiang penggantungan. Tapi kami akan jalani hukuman itu dengan ikhlas, oleh karena kami berjuang untuk kemerdekaan. Kami berpesan kepadamu, lanjutkan perjuangan kami ini,yaitu perjuangan mengejar kemerdekaan Indonesia (hal.387).
Demikianlah mengapa Soekarno hingga detik-detik akhir dari kepemimpinannya yang dikudeta secara merangkak tetap keukeuh mempertahankan ideologi Nasakom-nya. Yaitu demi persatuan dan kesatuan bangsa. Selain itu, buku ini juga memaparkan fakta tentang proses peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.
Kekacauan yang terjadi diberbagai wilayah pasca tragedi 1 Oktober, membuat Soekarno prihatin dengan banyaknya aksi anti PKI hingga disikapinya dengan mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret. Dengan tegas Soekarno mengatakan bahwa surat perintah tersebut bukanlah authority transfer. Transfer kekuasaan. Dan itu berulang-ulang ia katakan dalam setiap pidatonya diberbagai tempat.
“Para asing mengatakan bahwa perintah ini adalah a transfer of authority to General Soeharto. Tidak! It is not a transfer of authority kepada General Soeharto. Ini sekedar perintah kepada Jenderal Soeharto untuk menjamin jalannya pemerintahan untuk ini, untuk itu, untuk itu”(Hal.558)
Saat menyampaikan pidato pada hari ulang tahun ke-21 Republik Indonesia, hal itu kembali ditegaskan oleh Soekarno. “Dikiranya SP 11 Maret adalah satu penyerahan pemerintahan! Dikiranya SP 11Maret itu satu transfer of authority. Padahal tidak! SP 11 Maret adalah satu perintah pengamanan jalannya pemerintahan, pengamanan jalannya any pemerintahan(hal.576).
Soekarno dalam buku ini tampak begitu konsisten mempertahankan sikapnya, menyerukan pendapat dan gagasannya prihal persatuan bangsa dan sikap kerasnya menentang kolonialisme dan imperialisme. Berulang-ulang kali kekerasan sikapnya tersebut dapat ditemui dalam berbagai pidato yang disampaikannya. Tak urung saat membacanya terkadang ada kejenuhan karena pernyataan yang sama ditemui diberbagai tempat dari halaman-halaman pada buku ini.Selain juga adanya beberapa halaman yang melompat sangat jauh sehingga membuat proses membaca jadi terganggu. Semisal dari halaman 608 melompat jauh ke halaman 641. Ada beberapa lembar yang ketlisut di buku ini mengakibatkan putusnya alur cerita yang mengganggu pembaca.
Meski demikian, buku ini sangatlah menarik untuk dibaca sebagai buku panduan untuk mengetahui sejarah perjalanan bangsa ini di masa 60-an. Membacanya seakan-akan kita menyaksikan Soekarno sedang berpidato di atas podium dengan suaranya yang menggelegar bagai halilintar. Menyentak kesadaran para pendengarnya untuk. terus melanjutkan revolusi yang dipimpinnya.Karena bagi Soekarno, revolusi Indonesia belumlah selesai. Selamat Membaca.
Muhammad Shofa
*Aktivis Bengkel Menulis Bibliopolis Surabaya