Mohon tunggu...
muhammad sa'rul lutfi
muhammad sa'rul lutfi Mohon Tunggu... -

mahasiswa SI Ilmu Komunikasi FISIP UB

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Tayangan TV Indonesia, Sudah Pantaskah?

13 Maret 2015   07:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:44 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14262132992074149246

[caption id="attachment_402446" align="aligncenter" width="600" caption="Televisi/Shutterstock-Kompas.com"][/caption]

Perkembangan dunia pertelevisian Indonesia sangat berkembang pesat. Setelah dimulainya era reformasi banyak stasiun televisi berlomba-lomba menarik minat pemirsa memalui tayangan yang sangat beragam. Bahkan dunia film layar lebar, infotainment, berita, sinetron dan FTV kian berkembang. Tidak hanya itu, seakan sudah mati kreativitasnya atau hanya sekedar memburu keuntungan finansial semata, banyak stasiun televisi mengadopsi acara luar negeri yang telah naik rating.

Meski tidak di tunjang dengan teknologi modern namun ternyata tingkat konsumtif masyarakat kian meningkat. Harus kita akui bersama tingkat penggunaan teknologi di dunia televisi di Indonesia masih kalah jauh dengan teknologi di Eropa maupun Amerika. Sayangnya lagi, menjamurnya tayangan televisi Indonesia tidak didukung oleh pesan yang memperbaiki moral anak-anak bangsa atau lebih mengedepankan budaya Indonesia sendiri. Dua momentum televisi yang penulis catat sebagai perubahan drastis dunia televisi. Pertama,  munculnya tayangan film hantu yang sangat kurang mendidik dan mengesampingkan adat ketimuran juga lebih banyak dibumbui seksualitas. Banyak serial pocong, kuntilanak, gendruwo bahkan suster ngesot yang menghiasi layar kaca (meskipun awalnya dimulai di bioskop).

Kedua, tayangan FTV yang lebih menonjolkan asmara para remaja yang tidak di sampaikan pesan untuk lebih meningkatkan kualitas pendidikan. Tayangan sinetron episode maupun film televisi dengan satu episode kini lebih senang mengangkat tema percintaan remaja dan ironinya kebanyakan mengambil setting sekolah dan kebanyakan setting SMA. Namun baru-baru ini muncul tayangan dengan setting SMP yang menurut saya tidak memiliki pesan moral yang baik. Dalam sinetron itu tidak menampilkan perilaku anak SMP yang paling prioritas.

Tayangan dengan setting SMA maupun SMP harusnya memberikan pesan yang jelas kepada pemirsanya, apa yang seharusnya dilakukan oleh anak pada usia SMP maupun SMA. Pesan yang dimaksud adalah pesan tentang betapa pentingnya menjaga pergaulan agar tidak salah arah, berbakti kepada orang tua juga pesan betapa pentingnya pendidikan. Bahkan ketiga faktor ini harusnya menjadi tolok ukur sebuah tayangan televisi remaja layak atau tidak untuk disiarkan kepada khalayak umum.

Berdasarkan Undang-undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 Bab IV Pasal 36 (ayat 1) menyatakan: “Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.” Sepertinya banyak tayangan televisi di media siar Indonesia yang telah melanggar pasal ini baik sebagian maupun keseluruhan. Faktor yang sangat terlihat adalah tangisan, konflik antar kelompok dalam satu sekolah, percintaan anak sekolah, persabatan dan konfliknya serta stratifikasi sosial antara kaya dan miskin. Jika kita hubungkan dengan pasal diatas, maka hanya sedikit sekali dari syarat dan juga tujuan pasal  yang terpenuhi. Sangat ironis sekali.

Dalam Bab V Pasal 9 ayat 1 Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia tentang Standar program Siaran No. 02/P/KPI/032012 juga disebutkan: “program siaran wajib memperhatikan norma kesopanan dan kesusilaan yang dijunjung oleh keberagaman khalayak baik terkait suku,  agama, budaya, usia dan atau latarbelakang ekonomi.” Hal ini telah menjelaskan bahwa setiap tanyangan haruslah memperhitungkan apakah tayangan itu menabrak aturan dan norma ataukah tidak.

Dalam Standar Program Siaran Bab XXX Sanksi dan Penanggungjawaban pasal 79 ayat 1 mengatakan: “Program siaran yang terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Standar Program Siaran dijatuhkan sanksi administratif oleh KPI.” Namun sejauh ini, apakah KPI telah memberikan sanksi atau telah melakukan pengawasan terhadap setiap tayangan dan dampak baik maupun negatif, masih belum nampak.

Ini menjadi sangat ironis sekali, ditengah bangsa dan orang tua yang sedang berusaha memperbaiki moralitas anaknya agar menjadi anak yang tumbuh sebagaimana mestinya, disaat itu pula tayangan televisi menjadi musuh besar bagi para orang tua. Pesan moral yang disampaikan oleh orang tua maupun guru di sekolah seakan mentah kembali dan bahkan terkesan sia-sia ketika sang anak lebih memilih televisi sebagai “guru alternatifnya”. Untuk itulah perlu kerjasama dari Lembaga Siaran dan juga KPI untuk memilah-milah program yang akan disiarkan. Dengan begitu, Lembaga Siaran akan menjadi partner para orang tua dan guru, bukan menjadi musuh.

Jika kita melihat kepada realita di lapangan, maka kita akan melihatbanyak penyimpangan  kelakuan remaja dan anak-anak. Jika kita melihat lebih detail, maka kita akan menemukan banyak sekali siswa-siswi SMA yag berpacaran bahkan sampai kelawat batas. Ironinya lagi, tidak hanya siswa SMA saja, namun siswa SMP bahkan juga anak SD sudah banyak yang pacaran. Memang bukan dari faktor kesalahan tayangan televisi saja, namun tayangan yang kurang mendidik dan tidak tepat jam tayangnya memberikan andil besar dalam perubahan pergaulan siswa-siswi sekolah sekarang ini. Hal ini butuh penanganan serius dari banyak pihak, terutama KPI dan pihak media sendiri.

Dampak lain dari tayangan sinetron sekarang adalah, tersebarnya aksen Jakarta centress yang menyebar keseluruh kaum muda di banyak daerah di Indonesia. Tidak ingin menyalahkan stasiun televisi swasta besar yang berada di Jakarta, namun kebudayaan Jakarta dengan segala pernak-perniknya telah diadobsi oleh sebagian banyak kaum remaja di daerah-daerah. Maka sekarang kita tidak aneh mendengar orang Batak, Jawa, Kalimantan dan daerah lain menggunakan kata-kata “lo” dan “gua”. Dua kata khas betawi yang sering kita dengar lewat bahasa sinetron atau FTV dengan genre remaja.

Tidak menutup kemungkinan, lama kelamaan banyak anak bangsa yang akan melupakan bahasa dan juga adat-istiadat serta norma dari budaya daerahnya masing-masing. Perlu kita ingat, bahwa Indonesia yang terdiri dari banyak pulau sangat di identikkan dengan ragam budyanya dan di perkuat dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun