[caption id="attachment_343720" align="alignnone" width="635" caption="cover kami tidak lupa Indonesiea"][/caption]
Judul : Kami Tidak Lupa Indonesia
Penulis : Kompasiana
Editor : Ryan Sugiarto
Penerbit : Penerbit Bentang Pustaka, Yogyakarta
Tahun Terbit : Pertama, Maret 2014
Jumlah Halaman : 242 halaman
ISBN : 978-602-291-004-6
Peresensi : Muhammad Rasyid Ridho, Pustakawan-Koordinator Klub Pecinta Buku Booklicious.
Saat ini jumlah penduduk Indonesia kurang lebih mencapai angka 250 juta. Hal ini menunjukkan Indonesia sebagai negara keempat yang berpenduduk terbanyak di dunia. Selain itu ada sekitar 5,3 juta penduduk Indonesia yang merantau ke luar negeri atau istilah sekarang disebut diaspora.
Dari 5 juta lebih tersebut, diaspora Indonesia tersebar kurang lebih di 32 negara. Persentase terbanyak tempat mereka bermukim sebagai berikut, 2,5 juta bermukim di Malaysia dan 1,5 bermukim di Arab Saudi. Jumlah sekitar 5 juta diaspora Indonesia tentu saja masih kalah dengan diaspora China yang mencapai 40 juta diaspora dan ini menjadi jumlah diaspora terbesar di dunia. Dan ternyata jumlah etnis China yang berdiaspora dengan jumlah terbesar terdapat di Indonesia.
Tentu saja ini tidak mengherankan, di kota-kota dunia mana yang tidak ada Pecinan atau China Town. Di kota-kota Indonesia saja banyak sekali tersebar etnis China dengan pecinannya. Dari semua itu, mayoritas mereka adalah orang-orang yang sukses terutama melalui perdagangan. Lalu, bagaimana dengan diaspora Indonesia? Apakah mereka sesukses dengan diaspora China?
Dalam pembukaan buku Kami Tidak Lupa Indonesia, menurut Pepih Nugraha ada tiga anggapan orang terhadap orang Indonesia maupun keturunannya yang berada di luar negeri dalam jangka waktu yang lama untuk berbagai kepentingan (kaum diaspora). Pertama, menganggap kaum diaspora adalah public relations atau humas Indonesia di luar negeri. Mereka adalah duta-duta bangsa dalam berbagai perspektif, bekerja, belajar, melakukan penelitian, sampai sengaja mencari kewarganegaraan asing atau berstatus dwikenegaraan. Oleh karena itu, keberadaan mereka di luar negeri akan menjadi cermin baik Indonesia secara keseluruhan.
Anggapan kedua, mereka tidak selayaknya berlama-lama di luar negeri. Asumsinya, kaum diaspora Indonesia adalah orang-orang yang terpilih-kalau tidak mau dikatakan “di atas rata-rata”-sebagai anak negeri. Oleh karena itu, tenaga dan pikiran mereka sangat diperlukan untuk membangun negeri ini. Anggapan yang sangat masuk akal karena para mahasiswa yang belajar di luar negeri cenderung mencari pekerjaan yang lebih baik di negara tempat mereka menimba ilmu. Ketika urusan mencari penghidupan dan kehidupan yang lebih baik menjadi alasan, cap yang diterakan kepada kaum diaspora ini sebagai tidak nasionalis, lupa kacang akan kulitnya, bahkan secara ekstrem disebut “pengkhianat” bangsa. Suatu anggapan yang terasa berlebihan.
Anggapan ketiga, kaum diaspora Indonesia biasa-biasa saja, nggak ngaruh, suatu kondisi yang tidak perlu dipikirkan secara serius. Mungkin bukan perkara kemalasan berpikir atau berargumen, mereka pikir ada atau tidaknya adanya diaspora Indonesia sama saja. Tidak pantas disebut sebagai nasionalis atau pengkhianat, juga citra Indonesia tidak akan lebih baik meskipun kaum diaspora berperan sebagai humas untuk Indonesia.
Maka hadirnya buku yang ditulis keroyokan oleh Kompasianer ini akan membuka mata kita. Sejatinya diaspora Indonesia telah menjadi diplomat Indonesia karena telah melaksanakan tugasnya untuk mengenalkan Indonesia kepada dunia Internasional. Seperti apa yang dilakukan Gaganawati di Jerman (halaman 97) dan Yana Hanim di Turki (halaman 228). Mereka berdua menikah dengan warga asli sana, kemudian mereka mengenalkan Indonesia kepada tetangga hidup mereka, anak-anak yang mereka lahirkan.
Buku ini terdiri dari 8 bagian. Bagian pertama berisi tentang definisi diaspora dan segala aspek yang menjadi pembahasannya secara teoritis. Kemudian 7 bagian berikutnya, berisi kisah-kisah nyata penulis di negara yang sama.
Bagian pertama, adalah Diaspora Kita. Dalam bagian ini penulis, Viraysmaut membahas para diaspora, tentang dwikewarganegaraan juga tentang rasa kebangsaan mereka terhadap Indonesia yang tak akan hilang sepanjang hayat (halaman 9).
Bagian kedua tentang, Anak Bangsa Penyumbang Devisa di Malaysia. Dalam tulisan pertamanya Anazkia menyatakan tidak pernah bercita-cita menjadi pembantu di Malaysia. Kalau bukan karena sulitnya keadaan dan tidak mendapatkan pekerjaaan di dalam negeri tentu dia tidak akan mencari kerja di Malaysia, menjadi pembantu rumah tangga lagi (halaman 19). Ternyata, Anazkia mendapatkan majikan yang baik. Bahkan Anazkia di kompasianer dan kalangan penulis cukup terkenal, walau menjadi PRT dia tetap bisa berkarya. Berkarya dengan menulis.
Bagian ketiga berjudul, Warga Bangsa di Negeri Terdepan Amerika (halaman 59-90). Bagian keempat tentang, Kekeluargaan Khas Indonesia di Ruang-Ruang Bersama Jerman (halaman 97-131). Bagian kelima tentang, Taiwan, Hongkong: Kampung Kedua (halaman 149-183). Bagian keenam berjudul, Jepang sebagai Persinggahan (halaman 191-207). Bagian ketujuh berjudul, Australia-Ocenia dan Diaspora Kita (halaman 211-224). Dan terakhir berjudul, Hidup di Antara Penghubung Eropa Barat-Timur (halaman 227-228).
Maka, buku 242 halaman halaman ini layak direkomendasikan kepada Anda semua. Guna membuka mata, bahwa diaspora Indonesia layak diapresiasi. Meski tidak sesukses diaspora China. Mereka tidak hanya menghasilkan secara ekonomi, namun juga menjadi pembawa nama baik Indonesia pada dunia. Ya, mereka membangun Indonesia dari luar. Menarik sekali untuk disimak. Selamat membaca!
[caption id="attachment_343723" align="aligncenter" width="700" caption="dokumentasi pemuatan resensi di koran jateng pos 21 Sept 2014"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H