Mohon tunggu...
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Rasyid Ridho Mohon Tunggu... Guru - Mengabdi di Pondok Pesantren Al-Ishlah. Suka membaca dan menulis. Suka mengajak orang baca buku dan menulis. Suka jualan buku. Menulis banyak tulisan di media massa cetak ataupun online. Telah menulis belasan buku antologi dan satu buku solo kumpulan puisi "Kita Adalah Cinta."

Lahir di Bondowoso. Tepatnya 3 Januari 1991. Saat ini banyak menulis resensi buku, dan menerima permintaan menulis resensi/ review buku dari penerbit atau penulis. Email: penulispembelajar@gmail.com Blog Buku: ridhodanbukunya.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

IPPA; Menghapus Stigma Negatif Rawa Malang

16 Oktober 2014   06:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:49 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_347998" align="alignnone" width="623" caption="cover kick andy heroes"][/caption]

Judul                            : Kick Andy Heroes (Para Pahlawan Penembus Batas)

Penulis                          : Wisnu Prasetya Utomo dan Tim Kick Andy

Editor                          : Ikhdah Henny & Qha

Penerbit                       : Bentang Pustaka

Tahun Terbit                : Pertama, Februari 2014

Jumlah Halaman          : 174 halaman

ISBN                           :  978-602-291-010-7

Peresensi                     : Muhammad Rasyid Ridho, Pustakawan-Koordinator Klub Buku Booklicious, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jember.

“Saya ingin mengubah Rawa Malang menjadi nama yang baik di mata orang dengan adanya IPPA. Sebelumnya daerah kami disebut orang dengan sebutan yang tidak menyenangkan. Karena itu, saya ingin mengubah nama daerah saya menjadi yang baik.”

Kalimat di atas adalah perkataan Aris Djunaedi. Aris adalah anak muda kelahiran 2 Agustus 1991 di Rawa Malang. Juned begitu sapaan akrabnya. Dia sudah terbiasa dengan citra negatif yang orang lontarkan ketika mengetahui Juned berasal dari Rawa Malang.

Rawa Malang adalah daerah yang ada lokalisasi meski ilegal. Setelah lokalisasi yang resmi di Kramat Tunggak ditutup oleh Gubernur Sutiyoso, Rawa Malang semakin ramai saja. Bisa jadi pelanggan Kramat Tunggak pindah haluan ke Rawa Malang. Selain itu Rawa Malang, terkenal sebagai tempat yang kumuh, sangat bau, bahkan masker saja bisa tembus.

Karena citra negatif tersebut Juned berikhtiar agar bisa menghapus stigma yang telah melekat pada daerah tinggalnya. Meski hidup miskin, namun Juned tidak putus asa. Ayahnya yang tentara meninggal sejak dia berumur 2 tahun. Ibunya menikah lagi dengan seorang kapten kapal. Karena kapal yang dinakhodai oleh bapak tiri Juned, akhirnya tidak bisa bekerja lagi. Meski ibunya seorang buruh  cuci pakaian pekerja prostitusi, Juned tidak malu. Bahkan dia bangga karena ibunya, masih dalam kebaikan karena mencari kerja yang halal. Sejak itu Juned dan ibunya menjadi tulang punggung keluarga.

Sejak sekolah Juned sudah terbiasa berprestasi, dia pernah menjadi ketua Rohis, menjadi sekretaris OSIS, pembaca Al-Qur’an terbaik di sekolahnya dan juara pertama lomba nasyid tingkat  sekolah menengah se-DKI Jakarta. ‘Teladan adalah menjadi sosok yang berguna dan bermanfaat bagi orang lain di sekitar,” begitu kata Juned.

Karena anak-anak Rawa Malang banyak yang tidak diperhatikan oleh orang tuanya, tidak sekolah karena kekurangan ekonomi, dan hidup tanpa arah, Juned pun beraksi dengan membuat IPPA. Ikatan Peduli Pendidikan Anak pada tahun 2009. Penghasilan warganya rata-rata 20.000,00 perhari. Mereka dapat untuk makan saja udah untung, tidak mau repot-repot menyekolahkan anak-anak.

Bersama Wawan, Andi, Mul dan Sukma dan ditambah Betty Suryaningsih (aktivis peduli pendidikan anak jalanan) mendirikan IPPA. Juned sebagai koordinator dan Betty sebagai dewan penasihat. Maka dimulailah, pembelajaran yang ada di IPPA.

Anak-anak belajar agar bertambah wawasan, berkunjung ke museum, menekuni seni. Dalam hal seni ini banyak anak Rawa Malang yang berminat, seperti menari, menyanyi. Prestasi anak-anak IPPA pun tak jauh-jauh dari seni. Pernah anak IPPA bernyanyi duet bersama Vina Panduwinata.

Dengan bertambahnya prestasi yang mereka miliki, maka bertambah pula kepercayaan diri yang mereka miliki. Meski telah tercitra sebagai anak yang hidup di daerah kumuh, sekaligus tempat PSK mencari hidup. Tetapi mereka masih tetap ingin maju. Ingin sukses, mencapai apa yang dicitakan.

Setidaknya, ada beberapa ibrah yang bisa pembaca ambil dalam buku ini. Pertama, pembaca akan semakin bersyukur karena banyak orang yang masalahnya lebih besar dari dia. Dia masalahnya kecil saja, bisa dibesar-besarkan dan galau dan sulit move on. Akhirnya, dengan bersyukur itu, semoga bisa lebih santai, no galau dan move on.

Kedua, pembaca menjadi yakin bahwa keterbatasan itu tidak menjadi penghalang bagi orang yang ingin sukses. Keterbatasan harusnya dihantam dengan niat dan keinginan, sehingga apa yang dicitakan bisa dicapai.

Ketiga, manusia adalah makluk sosial. Tidak hanya memperturutkan hawa nafsu dan ego, namun juga harus memikirkan kemaslahatan orang lain. Tujuh orang dalam buku ini, adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain. Tanpa pamrih, demi kebaikan bersama.

Tak ayal buku ini menjadi buku layak dibaca oleh siapa saja. Terutama bagi yang yang galau dan nggak bisa move on. Bacalah buku ini, dan syukurilah hidupmu. Semoga menjadi kita semua lebih baik ke depannya. Selamat membaca!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun