Mendengar cerita tentang transportasi di Jakarta, pasti tidak akan lepas dari dua makhluk penghuni jalan raya Jakarta. Kopaja dan Metro Mini. Dua makhluk ini adalah kendaraan yang paling istiqomah hadir dalam hiruk-pikuk lalu lintas Jakarta.Â
Kenapa istiqomah? Bayangkan saja, sejak tahun 70an kendaraan itu sudah lahir, hidup dan mencari nafkah di Jakarta. Uniknya, dia istiqomah dengan bentuk, warna, pelayanan, kebisingan mesin dan pekat asap knalpotnya. Mereka mungkin bisa jadi saksi sejarah perubahan kota jakarta dan sekitarnya.
Dengan kapasitas duduk sekitar 20an kursi, dia bisa menampung hingga 2-3 kali lipat bahkan lebih. Melihat bus ini miring ke sebelah kiri memang sudah biasa. Kenek, sebuatan untuk asisten supir, akan terus memaksa menarik penumpang hingga lubang pintu masuk depan dan belakang penuh dijejali orang yang bergelayutan.Â
Bagi beberapa penumpang, berdiri bergelayutan di pintu itu mengasyikkan. Diterpa angin dan diombang-ambing kemudi sang supir. Adrenaline junkie. Namun tetap saja kedua kendaraan itu digandrungi masyarakat yang terpaksa membutuhkannya. Dahsyat! Semacam orang yang menggunakan susuk untuk daya tarik. Jelek tapi memikat. Busuk namun tertarik.
Kopaja dan Metro Mini sudah tidak menjadi ciri khas trasportasi Jakarta, sekarang sudah bergeser direbut  TransJakarta. Eh, tapi di sebagian hati masyarakat Jakarta, kendaraan ini masih menjadi primadona karena menjangkau sudut-sudut Jakarta seperti Bintaro yang dahulu dikenal sebagai tempat jin buang anak.Â
Tapi berbeda dengan sekarang, Bintaro sudah menjadi daerah padat penduduk dengan harga tanah/rumah yang sangat tidak ramah apalagi bersahabat. Harga tanah/rumah di sana seolah pongah dan kasar kepada pegawai kutu kupret seperti saya.Â
Orang-orang berinvestasi mencari rumah, sebagian dikontrakkan sebagian dibiarkan tak ditinggal menunggu hingga harga melambung. Orang-orang susah mencari rumah padahal banyak rumah yang kosong yang tidak ditempati, para developer terus membuka lahan untuk dijadikan perumahan, lalu dibeli oleh kaum yang merasa kelas menengah (agak) ke atas sebagai investasi, begitu seterusnya.Â
Kondisi yang kampret. Kok, jadi membicarakan harga tanah/rumah? Maaf, Saya memang suka terbawa emosi jika berbicara tentang harga/tanah yang setiap hari senin selalu berubah naik dan tak pernah turun. Bagi saya cuma haji saja yang boleh naik. Tidak ada turun haji, adanya naik haji #kriuk.
Balik lagi ke Kopaja dan MetroMini. Dalam dunia perbuskotaan di Jakarta, kita mengenal 2 raja jalanan. Kalau Ali Topan itu anak jalanan, ini raja jalanan. Raja pertama adalah supir bus dan raja kedua adalah keneknya. Jika kedua raja tersebut berseteru, muncullah perang. Jika raja pertama dan raja kedua bersinergi, matilah kita sebagai penumpang!
"Kau atur itu di depan, Lae!" Pinta supir pada keneknya untuk mempermudah bus lewat. Bagai voorijder, si kenek membuka jalan dan kadang berlagak seperti orang yang penuh inisiatif mengatur perempatan yang semrawut demi memudahkan bus melewatinya. Ini adalah kerjasama ciamik. Penumpang pun senang. Perjalanan bisa lancar.
Hal yang paling menyebalkan bagi penumpang adalah masalah ngetem. Ngetem adalah istilah menunggu penumpang datang menghampiri sampai terisi sebagian ataupun penuh. Kita bisa menunggu berpuluh-puluh menit untuk menunggu penumpang datang dan bus penuh bahkan saya pernah menunggu hingga 1 jam.Â